Bab [2]
Keluarga buta seperti ini, Lintang sama sekali tidak butuh. Jika bisa memilih, ia berharap bisa mengembalikan setiap tetes darah mereka yang mengalir di tubuhnya.
Di kehidupan sebelumnya, ia ditinggal oleh kakak kelimanya di depan gerbang taman hiburan, lalu tersesat dan nyaris diculik. Beruntung ia bertemu dengan seorang guru yang baik hati, barulah ia selamat dari bahaya itu.
Orang-orang di ruang keluarga itu tertegun sejenak, melihat Lintang tampaknya benar-benar berniat untuk pergi. Mereka saling berpandangan.
Mereka tidak percaya Lintang akan sungguh-sungguh memutuskan hubungan. Bagaimanapun, kehidupannya yang dulu tidak ada separuh dari kemewahan keluarga Lestari. Bahkan kamar yang ia tinggali tidak semewah kamar asisten rumah tangga di villa ini.
Melihat Lintang benar-benar akan melangkah pergi, Luna Lestari akhirnya bangkit dari sofa. Ia berpura-pura berlari kecil ke arah pintu dan meraih lengan Lintang.
"Kak, jangan begini. Aku tidak bermaksud merebut jatah acara itu darimu. Asal Kakak tidak pergi, aku akan menuruti apa pun maumu. Jangan berselisih dengan kakak-kakak, nanti Ayah dan Ibu bisa sedih."
Lintang menghentikan langkahnya. Ia berbalik, mengerutkan kening menatap tangan yang mendarat di lengannya, lalu mengalihkan pandangannya ke wajah Luna Lestari.
Ia bisa dengan jelas melihat sorot mata Luna yang penuh provokasi.
Luna membelakangi semua orang di sofa, jadi tidak ada yang bisa melihat ekspresi puas di wajahnya saat ini. Jelas sekali ia sengaja. Di permukaan, ia berlagak pengertian, padahal semua keuntungan sudah ia sikat habis.
Jika ini adalah Lintang yang dulu, ia pasti akan langsung membongkar topeng Luna di tempat. Tapi tidak lagi sekarang. Percuma saja, orang-orang ini toh akan selalu percaya pada apa pun yang dikatakan Luna.
"Luna Lestari, bukankah ini yang kamu inginkan? Untuk apa berpura-pura jadi serigala berbulu domba di sini?"
Lintang tertawa sinis, melirik orang-orang di belakang Luna, lalu melanjutkan dengan nada dingin, "Katanya kamu akan menuruti apa pun? Kalau begitu, ceritakan semua perbuatanmu satu per satu. Berani?"
Wajah Luna langsung memucat. Tubuhnya tiba-tiba melemah, seolah akan jatuh. Untungnya, Yoga Lestari sigap menghampiri dan menopangnya.
"Kak, apa Kakak salah paham? Aku tidak pernah melakukan apa pun yang merugikanmu. Kenapa kamu begitu membenciku? Kalau aku ada salah, katakan saja, aku akan memperbaikinya."
Luna bersandar di bahu Yoga, air matanya menggenang di pelupuk mata, aktingnya begitu buruk hingga memuakkan. Namun, melihat pemandangan itu, seluruh anggota keluarga Lestari justru menatap tajam ke arah Lintang.
"Tidak perlu, aku tidak sanggup menerimanya. Kamu bicara seperti ini hanya untuk memancing simpati dan benar-benar mengusirku dari keluarga Lestari, kan? Tidak perlu repot-repot, aku akan pergi sendiri."
Lintang malas meladeni omong kosong Luna. Drama murahan seperti ini membuatnya mual.
"Kak Yoga, tolong bujuk Kak Lintang. Kalau dia memang tidak menyukaiku, aku saja yang pergi. Bagaimanapun, dia putri kandung keluarga Lestari, sedangkan aku hanyalah pengganti," isak Luna lagi, mulai menyeka air matanya.
Nyonya Lestari tidak tahan lagi. Ia langsung menghampiri Luna, memeluknya, dan menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut.
"Luna, jangan sedih. Selama Ibu di sini, tidak ada yang bisa mengusirmu. Ibu bilang kamu adalah putri keluarga Lestari, maka kamulah putrinya."
"Benar, Luna. Jangan dengarkan Lintang. Dia itu cuma sok suci tapi munafik," sahut Denny Lestari.
Luna tidak berkata apa-apa, hanya bersandar di bahu Nyonya Lestari sambil tersenyum tipis tanpa ada yang melihat.
Memangnya kenapa kalau Lintang anak kandung? Bukankah seluruh keluarga Lestari tetap berpihak padanya? Siapa pun jangan harap bisa merebut apa pun darinya, bahkan barang yang sudah ia buang sekalipun, orang lain tidak berhak memungutnya.
"Aku tidak punya banyak waktu untuk menonton drama ibu dan anak di depanku. Aku sungguh terharu. Kalau sudah selesai, jangan lupa tanda tangani surat pemutusan hubungan keluarga ini." Lintang menatap Nyonya Lestari dengan tidak sabar, kedua tangannya terlipat di dada. Dulu saat ia baru ditemukan, keluarga Lestari begitu mendesaknya untuk memindahkan data kependudukannya ke kartu keluarga mereka. Sekarang mau pergi, malah jadi merepotkan.
"Lintang Lestari, jangan sok suci di sini! Selama bertahun-tahun ini Luna yang menemani dan berbakti pada kami, membawa banyak kebahagiaan. Kamu? Di mana kamu saat itu?" Nyonya Lestari menatap Lintang dengan geram, lalu melanjutkan, "Luna sudah menggantikan posisimu berbakti selama ini, dan dia hanya minta kompensasi sebuah acara realitas darimu, tapi kamu malah membuat keributan seperti ini. Kamu egois sekali!"
"Dia berutang padamu, bukan padaku. Kalau mau memberinya kompensasi, berikan saja sendiri. Jangan coba-coba memanipulasiku dengan rasa bersalah. Lagipula, semua ajaran moral kalian selama ini sudah kalian berikan pada Luna Lestari. Aku tidak pernah mempelajarinya."
Kata-kata Lintang berhasil membuat Nyonya Lestari bungkam, tak bisa berkata-kata. Ia juga tidak bisa berbuat banyak, karena keluarga Lestari memang berutang pada Lintang.
Tuan Lestari, yang sedari tadi diam, mendengar ucapan itu dan raut wajahnya menjadi sangat buruk. Alisnya bertaut tajam, dan ia bertanya dengan suara dingin, "Maksudmu, kamu membenci kami?"
"Saat kamu hilang dulu, kami sangat sedih. Kalau tidak, kami tidak akan mengadopsi Luna, dan tidak akan mencarimu selama bertahun-tahun. Jadi menurutmu, apa yang kami lakukan itu salah?"
Mendengar kata "mengadopsi", Luna tanpa sadar menggertakkan giginya. Kebenciannya pada Lintang semakin dalam. Setelah jeda sejenak, ia berkata, "Kak, jangan begitu. Ayah dan Ibu sangat peduli padamu. Aku juga sadar aku hanyalah penggantimu. Sekarang Kakak sudah kembali, aku tidak punya alasan lagi untuk tinggal di rumah ini. Aku akan mengembalikan Ayah, Ibu, dan kakak-kakak kepadamu."
Melihat Luna kembali berpura-pura menyeka air mata, Lintang merasa jijik. Ia buru-buru mengangkat tangan untuk menghentikan aksinya. "Bisa berhenti akting tidak? Aku takut benar-benar muntah."
Setelah itu, ia menoleh ke Tuan Lestari dan menunjuk kartu ATM di atas meja. "Di dalam sini ada semua uang yang kalian berikan padaku selama setahun lebih ini. Aku juga sudah menambahkan sejumlah uang, anggap saja sebagai biaya sewa dan hidupku selama di sini."
"Lintang Lestari, Ayah dan Ibu sudah memohon padamu seperti ini. Luna juga sudah merelakan acara itu. Kenapa kamu masih membuat masalah?"
Yunanda Lestari, kakak kelima yang duduk paling ujung, ikut angkat bicara setelah ragu sejenak. Nada bicaranya terdengar lebih lembut dibanding yang lain.
Selama setahun lebih ini, Yunanda adalah yang paling baik pada Lintang, bicaranya pun paling lembut. Tapi semua itu hanya didasari rasa bersalah karena telah membuatnya hilang dulu. Jauh di lubuk hatinya, ia tetap lebih memihak Luna.
Dulu, Lintang berpikir setidaknya di hati kakak kelimanya ada tempat untuknya. Setelah hidup kembali, ia sudah melihat segalanya dengan jelas.
"Kalau kamu tidak bicara, aku hampir lupa padamu. Dulu, hanya karena ingin main game lebih lama dengan temanmu, kamu meninggalkanku sendirian di depan gerbang taman hiburan. Pada akhirnya, semua ini terjadi karenamu. Beraninya kamu masih bicara di depanku?"
Lintang menatap tajam ke arah Yunanda. Jika di keluarga ini yang lain terang-terangan membencinya, maka si bungsu inilah yang paling munafik. Jelas-jelas hatinya sudah muak, tapi di permukaan ia masih berpura-pura peduli. Hanya jika menyangkut Luna Lestari, barulah ia tidak repot-repot berpura-pura lagi.
Tatapan Lintang membuat Yunanda merasa sangat tidak nyaman. Ia mengalihkan pandangannya dan bergumam, "Itu kan sudah lama sekali. Aku sudah tahu aku salah, dan aku sedang berusaha menebusnya, kan?"
