Bab 9
Saat perjalanan pulang, Anna melihat sebuah taman yang menarik perhatiannya. Anna meminta Sean untuk mampir terlebih dulu ke sana. Sean pun mengiyakan keinginan Anna.
Anna tak bisa menyembunyikan rasa senangnya begitu kakinya berdiri di taman komplek perumahan mereka. Taman ini didesain khusus untuk memanjakkan para penghuni. Terdapat hamparan padang rumput hijau, di atasnya dihiasi tanaman bunga yang beragam, lalu sepasang ayunan dan beberapa alat bermain anak-anak pun ikut meramaikan isi taman. Lalu di beberapa sudut sudah tertaman berbagai macam pohon besar sebagai pelindung dari sinar matahari.
Tanpa basa basi, Anna langsung berlari layaknya anak kecil, tak memedulikan Sean yang menatapnya sambil terkekeh.
“Hati-hati Anna, jangan lari, nanti jatuh!” Sean memperingatkan ketika gadis itu hampir tersandung.
Sean buru-buru menghampiri Anna. Gadis itu hanya bisa menyengir, bingung harus menjawab apa. Pasalnya Anna begitu senang datang ke tempat itu. Kaki kecil Anna berhenti ketika dahinya menubruk sesuatu yang keras, kepalanya mendongak mendapati Sean tengah memotong jalannya dengan bediri tiba-tiba di hadapannya.
“Disini panas, pakai ini dulu.”
Sean memakaikan topinya pada Anna. Kemudian pria itu menggenggam tangan Anna agar istrinya tidak berlari lagi. Bukannya karena Sean malu, tapi Sean takut nanti Anna terjatuh, melihat situasi taman sore ini masih terlihat becek akibat hujan semalam.
Dalam hati, Anna benar-benar bersyukur karena Tuhan telah mengirimkan Sean sebagai pemberi warna baru dalam hidupnya. Kini hidup Anna benar-benar terasa manis karena kehadiran Sean sebagai suaminya.
Langit sore hari terlihat sangat indah, seakan menggambarkan apa yang kini Anna rasakan. Dari tadi senyumnya tak pudar, mengingat betapa baiknya Sean hari ini yang mau menuruti semua keinginannya. Gadis itu sampai tidak peduli dengan sinar matahari yang menerpa kulitnya.
Kini Anna tengah duduk menunggu Sean datang. Gadis itu berlindung di bawah pohon untuk sedikit menghindari sinar matahari. Tak lama, Sean pun muncul sambil memegang dua cone es krim di tangannya.
“Sudah puas bermain disini?”
Tanya Sean yang tengah berdiri di hadapan Anna, guna menghalau sinar matahari agar tidak mengenai istrinya. Anna terlihat tersenyum lebar, ia mengangguk sebagai jawaban. Kemudian tangannya bergerak mengambil satu cone es krim rasa strowberry favoritnya.
“Terima kasih, Kak.”
Mata Anna berbinar saat mengucapkannya. Sean mengangguk seraya tersenyum. Masih di posisi yang sama, Sean memakan es krim coklatnya berhadapan dengan Anna.
“Kenapa tidak duduk, Kak?
“Tidak apa, aku di sini saja.”
“Kenapa?”
“Kalau aku duduk nanti kau kepanasan. Lihatlah wajahmu saja sudah berkeringat karena terkena sinar matahari.”
Belum sempat Sean melanjutkan ucapannya, Anna lebih dulu menarik tangan Sean agar duduk di sampingnya. “Tidak apa-apa, Kak. Asal berdua denganmu, mau sepanas apapun tidak akan terasa.” Ucap Anna sambil tersenyum lebar.
“Gembel. Eh gombal maksudnya hehe.”
“Emang kenapa? gombal dengan suami sendiri boleh saja kan? tidak ada yang melarang.”
“Sudah pintar menjawab ya.” Sean mengusap pucuk kepala Anna.
Sore hari di taman, menambah daftar saksi perjalanan rumah tangga Sean dan Anna. Sepasang suami istri itu tengah mecoba menyelami kehidupan antara pasangannya. meneliti dan memahami bagaimana sikap dari masing-masing individu, alasannya adalah agar kehidupan pernikahan dapat bertahan meskipun Sean masih belum bisa mencintai Anna.
“Oh iya kak, tadi saat aku memasak di dapur, aku melihat halaman belakang rumah. Ternyata di sana ada taman dan kolam yang cukup luas. Tapi sepertinya tidak terurus, memang Kak Sean tidak merawatnya ya?”
“Dulu taman di belakang rumah lebih indah dari ini. Sangat terawat, bahkan setiap hari aku pun selalu ke sana. Tapi semenjak….” Sean menjeda ucapannya. “Eumm aku tidak sempat untuk mengurusnya. Aku terlalu sibuk.”
Dahi Anna mengerut firasatnya mengatakan jika Sean sedang menyembunyikan sesuatu. Sepertinya Sean yang tidak ingin mengingat kembali masa lalunya. Anna dapat melihat itu semua dari raut wajah Sean yang berubah. Di wajah Sean seperti terlihat menahan amarah dan juga kesedihan. Dan Anna tidak akan bertanya lebih mengenai masa lalu Sean, sebelum pria itu sendiri yang mengatakan langsung pada dirinya. Anna masih menghargai privasi Sean. Karena Anna sadar, jika seseorang pasti pernah memiliki masa kelam. Pilhannya ada dua, ia ingin membagi masa lalu nya atau justru menyimpannya dengan rapat. Semua orang berhak memiliki hak itu.
“Kalau begitu bolehkah aku merawat taman itu, Kak?”
“Kenapa harus meminta ijin? itu kan juga rumahmu, Anna. Jadi lakukan apapun yang kau mau. Aku tidak akan melarangmu.”
“Terima kasih, Kak. Ah, aku sudah tidak sabar ingin segera merombak taman itu, Kak.” Matanya berbinar tatkala ia memikirkan beberapa ide yang sudah ada di dalam kepalanya untuk merombak taman belakang.
“Ini untukmu, ambilah.”
“Black Card? ini untuk apa, Kak?”
“Sekarang kau adalah istriku, Anna. Jadi pakailah untuk membeli segala kebutuhanmu dan juga rumah. Kalau kurang, jangan sungkan untuk memintanya lagi padaku.”
“Apa ini tidak terlalu berlebihan Kak? mana mungkin aku menghabiskan ini? aku tidak bisa menerimanya, Kak. Ini terlalu besar untukku.”
Anna mengembalikan kartu itu kepada Sean. Namun pria itu menahannya tetap berada di tangan Anna. “Aku sedang tidak bernegosiasi, Anna. Ambil itu atau aku tidak akan menafkahimu!” ancamnya dengan wajah yang terlampau serius.
“Ancaman macam apa itu? masa tidak mau menafkahiku.” Gumamnya.
“Maka nya terima saja.”
“Hmm, baiklah aku akan menerimanya. Terima kasih ya, Kak.”
Mulai sekarang Anna harus terbiasa dengan kehidupannya sekarang. Menjadi seorang istri miliarder tentu bukanlah mimpi Anna. Keinginan Anna hanya ingin menikah dengan seseorang yang bisa menyayanginya dengan tulus dan selalu mencintainya. Nyatanya takdir telah memiliki jalannya sendiri. Kini Anna harus menerima itu semua. Menjalani pernikahan dengan seseorang yang bahkan masih menutup rapat hatinya. Meskipun begitu, Anna tetap bersyukur karena Sean selalu berusaha untuk membuatnya bahagia.
“Sudah sore, kita pulang yuk.” Ajak Sean
“Ayo Kak.”
Keduanya pun beranjak pergi. Matahari sudah membenamkan sinarnya, Sean dan Anna masih berjalan menuju mobil yang mereka parkir. Namun langkah Anna terhenti saat ia melihat ada sepasang kakek dan nenek yang berusia kurang lebih sekitar 70 tahunan tengah duduk berdua di area taman. Sang nenek menyender di pundak kakek tua itu. Sedangkan sang kakek tengah menggenggam erat tangan yang diyakini oleh Anna merupakan istrinya. Mereka berdua terlihat bahagia terbukti dengan senyuman yang terukir diwajah keduanya. Anna ingin pernikahannya dengan Sean akan seperti mereka.
“Kenapa?”
Anna masih menatap nanar pemandangan di hadapannya. “Apa pernikahan kita bisa bertahan seperti mereka ya, Kak?” Sean menatap arah yang ditunjuk Anna.
Sekarang Sean tau penyebab perubahan wajah Anna yang tiba-tiba terlihat sendu. Sean sadar bahwa pernikahan ini berbeda. Belum ada rasa cinta yang ia berikan kepada Anna. Sedangkan Anna, pria itu tahu jelas bahwa sang istri sangat mencintainya dan ia berharap kelak pernikahannya bisa dibumbui cinta dari Sean.
Tangan Sean terulur lalu menyelipkan helaian rambut ditelinga Anna. Membawa tubuh Anna agar lebih dekat untuk menghadapnya. Dan kini posisi mereka tengah menatap satu sama lain. “Anna, aku tidak bisa berjanji apapun padamu. Sejak awal aku sudah mengatakan semua, bahwa pernikahan ini akan membuatmu sakit karena aku belum bisa mencintaimu. Terlepas dari itu semua, aku akan berusaha agar pernikahan ini tetap bertahan. Aku juga akan berusaha untuk selalu membuatmu bahagia.”
“Sekarang jangan memikirkan sesuatu yang akan membuatmu sakit. Lebih baik jalani kehidupan ini. Nikmati waktu dan momen yang menghampiri kita saat ini. Itu akan jauh lebih baik, daripada harus memikirkan sesuatu yang kita belum bisa capai, masa depan itu abu-abu Anna, kita tidak bisa melihatnya dengan pasti.” Tambah Sean.
Pengertian yang diberikan Sean dapat diterima oleh Anna. Apa yang dikatakan Sean benar, untuk apa Anna memikirkan hal yang justru membuatnya sakit. Lebih baik menikmati setiap momen bersama Sean aka jauh lebih menyenangkan.
