Bab 10
Jarum jam antik besar yang menghiasi dinding putih bersih itu berputar tepat pada pukul sepuluh. Seolah diberi isyarat, pintu megah yang terbuat dari kaca halus terbuka. Para karyawan berhamburan untuk berdiri di pos mereka masing-masing sebelum tamu pertama yang mengenakan sutra halus dan tuksedo mahal tiba.
Berdiri di dekat pintu, aku mengucapkan ‘selamat pagi’ kepada pasangan muda yang baru saja datang. Mereka berdua menatapku.
Biasanya, para tamu kaya raya akan menghina pelayan, tetapi pasangan itu sangat berbeda. Mereka justru melihatku dan tersenyum. Mereka menyapaku kembali dengan wajah yang ramah dan riang.
'Sebuah permata,' pikirku dalam hati. Begitulah caraku melabeli tamu yang sopan seperti mereka karena mereka jarang datang dan berharga. Aku memiliki rasa hormat tertinggi untuk para tamu seperti ini karena mereka paham cara menghargai orang yang lebih rendah dari mereka..
“Bolehkah saya bertanya sebelumnya? Apakah Anda sudah melakukan reservasi?” aku bertanya dengan sopan.
"Ya, kami sudah melakukan reservasi," jawab wanita itu. Dia mengamati saya dengan mata kuningnya yang penuh perhatian.
Aku dengan sadar menyentuh wajahku dengan heran apakah ada kotoran yang mengganggu pandangannya. Para tamu biasanya akan menatapku untuk waktu yang lama. Tapi wanita ini berlebihan. Apakah dia terkejut melihat mataku yang aneh?
Aku menelan ludah untuk membersihkan tenggorokanku, kemudian aku menanyakan nama keluarga mereka.
"Blaze." Pria itu menjawab. Dia memiliki ekspresi bingung yang sama di wajahnya seperti wanita itu.
Aku memeriksa catatan di tanganku dan aku menemukan nama mereka. "Tuan dan Nyonya Blaze, tolong ikuti saya,” ucapku ramah. Aku mengantar pasangan itu ke meja di dekat jendela dari lantai itu mereka bisa melihat langit ditambah pemandangan taman mawar yang indah di luar.
Pria tersebut menarik kursi untuk wanita itu. Mau tak mau aku merasakan sedikit rasa iri saat aku melihat mereka, bertukar pandangan manis. Bagi seorang wanita yang pernikahannya di atas batu sepertiku, pemandangan itu tidak enak dipandang. Wanita itu duduk di kursi dengan keanggunan seorang ratu. Setelah pria itu duduk, aku mencatat semua pesanan mereka.
“Dia benar-benar terlihat seperti wanita dalam lukisan itu. Apakah itu dia?" tanya wanita itu pada pria di hadapannya. Nada bingung wanita itu masih mencapai telingaku meskipun aku sudah berbalik badan untuk menyerahkan daftar pesanan mereka ke konter. Aku tidak memiliki kesempatan untuk mendengar jawaban pria itu karena jarak sudah memisahkan kami dan suara sepatu hak tinggi yang menampar lantai menenggelamkan suaranya.
Aku mencapai konter dan menyerahkan catatan itu kepada kasir. Dia kemudian menyerahkannya kepada staf dapur.
Seseorang memanggil dan aku mengeluarkan senyum cerah dari bibirku. Aku berbalik untuk menyambut tamu baru. Aku berhenti sebelum sebuah kata keluar dari bibirku. Rasa dingin tiba-tiba menjalari tulang punggungku saat bertemu dengan sepasang mata kucing smokey.
Wanita yang berdiri di depanku tidak lain adalah Natalia Romani, model cantik yang merebut hati salah satu miliarder paling terkenal di kota, Evan Atmadja. Menggambarkannya sebagai wanita cantik adalah pernyataan yang meremehkan karena pesona wajahnya sudah dikalahkan oleh kebusukan hatinya.
Rambut ikal merah menyala milik Natalia berjatuhan melewati bahunya yang anggun, memantul secara misterius setiap kali kepalanya bergerak. Mata yang dalam yang dibingkai oleh bulu mata panjang yang indah tanpa berkedip menatapku. Dia adalah ciptaan yang sangat indah, sepertinya Tuhan mengukirnya dengan sangat sempurna. Hidungnya yang mancung, kulitnya yang mulus, dan tinggi badannya yang pas. Semua itu memberinya aura ratu dan sangat memabukkan bagi mata yang melihatnya.
Sutra mahal yang melilit tubuhnya seperti kulit kedua, menunjukkan lekuk tubuhnya yang indah. Tidak ada pria yang bisa menolak wanita itu.
Alis yang elegan naik satu inci saat matanya mengamatiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sudut bibirnya tertarik membentuk seringai. "Senang bertemu dengan Anda, Nyonya Atmadja." Dia mengucapkan kata-kata itu dengan lembut sehingga tidak ada yang akan mendengarnya kecuali aku. "Atau haruskah saya memanggil Anda sekarang, Nona Miselia?" Dia menambahkan dengan penuh arti sebelum berjalan melewatiku.
Jari-jariku berkumpul dan berubah menjadi bola di sampingku. Tidak, aku tidak akan membiarkan emosi yang tidak berguna ini menguasai diriku. Aku menarik napas dan kemudian mengembuskannya sampai aku merasa diriku rileks. Aku masih mengepalkan tangan saat aku mengikutinya.
“Apakah Anda sudah melakukan reservasi, Nona?” Aku bertanya dengan cara yang sama. Selalu sopan kepada setiap tamu.
"Tidak, tapi aku sedang menunggu seseorang." Natalia menjawab, bahkan dia tidak mau repot-repot melihat ke arahku. Tak kuduga, dia duduk di kursi VIP padahal dia belum melakukan reservasi. Ujung gaunnya diikat, memperlihatkan sepasang kaki putih tanpa cacat.
Natalia menatapku, memamerkan senyum terbaiknya. “Aku sedang menunggu suamimu,” ucapnya tanpa memiliki rasa bersalah sedikit pun.
