Bab 2
Aku menelan gumpalan di tenggorokanku dan melihat Evan sambil menahan air mata. Sepasang mata abu-abu yang indah membalas tatapanku. Dulu kedua mata itu dipenuhi dengan kehangatan dan tawa setiap kali mereka melihat aku, tetapi sekarang mereka tidak menunjukkan apa-apa kecuali kesopanan yang dingin.
"Aku nggak bisa terus seperti ini, Selia,” ucap Evan. Suaranya pelan nyaris tak terdengar. "Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah berpisah," tambahnya lagi.
“Please, Van. Aku bersedia memberikan semua yang kamu inginkan tapi aku nggak mau bercerai. Tolong beri pernikahan ini kesempatan,” Aku terus memohon. Aku meraih tangan suamiku tetapi ketika tanganku menyentuhnya, dengan cepat Evan menarik diri.
“Pikiranku sudah bulat. Nggak ada yang bisa kamu lakukan untuk mengubah keputusanku,” ucapnya. Keputusan terakhir dan tegas terdengar dalam nada suara Evan saat dia berbicara.
"Tapi-"
"Nggak ada kata tapi, Sel. Keputusanku sudah final,” balas Evan. Dia segera memotong kata-kataku.
Dengan alis berkerut, Evan bangkit dari tempat duduknya. “Aku telah menyia-nyiakan empat tahun hidupku bersamamu. Saatnya aku move on dan melepaskan pernikahan ini. Suka atau nggak, aku akan bercerai dari kamu.”
Kata-kata menyakitkan bergema di telingaku. Untuk sesaat, aku memejamkan mata untuk mengumpulkan keberanian diriku sebelum aku menyerah dan berurai air mata di hadapannya. Ketika kedua mataku akhirnya terbuka, emosiku pun terkendali. Aku mengumpulkan semua keberanian yang bisa aku kumpulkan dan kedua mataku bertemu dengan tatapannya. Rasa mengasihani diri sendiri telah hilang. Perasaan benci telah mengambil alih rasa cinta di hatiku.
Aku meninggalkan kursiku dengan rahmat seorang Ratu kemudian aku melihat Evan. “Aku telah melakukan yang terbaik untuk menjadi istri yang sempurna bagi kamu dan aku membuat banyak pengorbanan untuk menjaga kita tetap bersama, tapi akhirnya aku gagal juga. Mungkin kamu benar, kita berdua membutuhkan ruang dalam hubungan ini. Jika kamu menginginkan sebuah perceraian maka aku akan memberikannya,” ucapku. Aku sudah tidak ragu lagi. Semua pengorbananku sia-sia lalu untuk apa aku harus mengemis di depannya?
Evan menatapku dengan mulut terbuka. Jika dia mengira aku akan terus memohon cintanya, dia salah! Tanpa berkata-kata lagi, aku menarik cincin pernikahan kami dari jariku dan meletakkan benda bulat itu di atas meja. Ini adalah isyarat bahwa aku telah selesai memenuhi sumpah yang aku buat di depan altar, dan aku melepaskan suamiku dari ikatan pernikahan kami. Tanpa menunda lagi, aku berjalan ke pintu dan aku sama sekali tidak berpaling melihat dia meski untuk terakhir kalinya.
Cinta yang aku miliki untuk Evan menghilang dalam sekejap dan digantikan oleh kebencian. Aku berjalan ke area parkir tempat mobilku menunggu. Segera aku membuka pintu dan naik ke kursi pengemudi. Jantungku masih berdebar di dalam tulang rusukku, bahkan setelah aku duduk di jok berbahan kulit tersebut. Percakapan kami yang menyakitkan masih bergema di pikiranku seolah-olah dia ingin merebut semua kebahagiaanku. Aku harus memejamkan mata untuk menenangkan diri sebelum aku menangis tersedu-sedu. Ketika mataku terbuka, gejolak di dalam diriku mulai mereda meski belum sempurna.
Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diriku. Kemudian aku menyalakan mesin sebelum mengarahkan mobil keluar dari area parkir.
Di bawah langit tanpa bintang mobilku melintasi jalan raya. Aku sudah meninggalkan restoran, tetapi pikiranku masih ada di sana. Aku tidak percaya Evan dengan cepat dan sangat mudah mengakhiri apa yang telah aku coba selamatkan selama bertahun-tahun. Evan bisa memilih hari lain untuk meminta cerai, tetapi dia sengaja melakukannya pada ulang tahun pernikahan kami yang keempat. Evan sangat kejam!
Aku menghela napas. Emosiku kembali mengamuk di dalam diriku. Aku menarik napas dalam-dalam dan menenangkan diriku sekali lagi. Aku seharusnya tidak membiarkan emosi menguasai diriku saat aku sedang mengemudi tetapi tetap saja aku tidak bisa mengendalikan gejolak di hati dan pikiranku.
Beberapa menit kemudian, mobil yang dikemudikan oleh ku melaju cepat dan berhenti tepat di depan sebuah gedung sederhana berlantai dua tempat mamaku tinggal. Setelah keluar dari mobil, aku bergegas ke pintu dan membukanya menggunakan kunci duplikat yang aku miliki.
Novi, perawat yang menjaga mama, sudah menunggu di ruang tamu. Saat Novi melihatku masuk melalui pintu, dia bangkit dari sofa bergaya Victoria.
“Gimana kabar mama?” Aku bertanya padanya, ketakutan menumpuk di dalam diriku saat aku menunggu jawabannya.
“Kondisinya nggak baik,” jawab Novi. Wanita itu berusaha sekuat tenaga untuk menahan air mata namun cairan bening yang menumpuk di bola mata membuat tatapannya berkilau karena pertemuan air mata dan cahaya.
Novi telah menjadi perawat pribadi mamaku selama bertahun-tahun. Sekarang mereka begitu dekat sehingga dia memperlakukan mama seperti ibunya sendiri. Dia sangat peduli pada mama. Kami seperti saudara satu sama lain.
Aku menelan ludah dengan susah payah. "Apa mama akan baik-baik saja?" tanyaku, suaraku bergetar.
“Aku nggak bisa memberitahumu tentang hal itu. Hanya waktu yang akan menjawabnya,” lirihnya. Novi membuang muka untuk menghapus cairan bening yang menetes dari matanya.
Jawaban Novi seperti paku yang menusuk jauh ke dalam hatiku. “Aku akan ke atas untuk memeriksanya. Terima kasih telah menjaga mama padahal ini adalah hari libur untukmu,” ucapku pada Novi.
"Aku sudah bilang, kan? aku akan tetap menjaga mama kamu bahkan kalau kamu nggak membayarku."
“Terima kasih banyak, Novi. Kamu benar-benar malaikat yang dikirim untukku. Hati-hati dalam perjalanan pulang. Jangan lupa pakai sabuk pengaman sebelum mengemudi,” aku memberi nasihat pada Novi. Aku bersyukur karena setidaknya aku masih memiliki Novi yang begitu peduli padaku.
“Sampai jumpa besok lagi,” balas Novi. Dia berjalan ke pintu dan menutupnya dengan lembut di belakangnya. Setelah Novi pergi, aku menaiki tangga dan pergi ke kamar tidur mamaku.
