Bab 6
Aroma makanan yang menggoda meresap ke lubang hidungku, membuat air liurku meleleh. Aku tiba-tiba menyadari kalau aku sedang kelaparan. Makanan yang disajikan di atas meja sulit untuk ditolak.
"Ini adalah ide mama kamu,” ucap Novi sementara pandanganku mengamati makanan yang disajikan di piring dan menyadari bahwa itu semua adalah santapan kesukaanku.
"Tapi kamulah yang menghabiskan waktu berjam-jam memasak hidangan ini untuk ulang tahun Miselia.” Mama menyahut ucapan Novi.
“Tapi Ibu bersamaku saat aku memasak ini. Itu resepmu.” Novi menjawab sambil tertawa. Dia menarik kursi di hadapanku dan duduk di atasnya.
Geli, aku tidak bisa menahan tawa juga. “Kalian berdua melakukannya dengan luar biasa. Aku pasti akan menikmati sarapan ini,” ucapku. Aku menarik kursi di samping Mama dan duduk di atasnya. Kedua wanita itu tersenyum padaku sebagai tanggapan.
“Bisakah kita berdoa agar kita bisa makan? Perutku keroncongan,” tanyaku membuat mereka tertawa lagi.
Novi memimpin doa. Ketika dia selesai, aku menyajikan sebagian kecil makanan untuk Mama sebelum aku beralih ke piring porselen putih yang ada di depanku. Aku mengisinya dengan makanan, dan kami bertiga mulai makan.
“Bagaimana perayaan ulang tahun pernikahanmu tadi malam?” Novi bertanya sambil mengunyah makanannya. Perhatiannya terfokus pada piringnya, dan dia tidak melihat ekspresi terkejut di wajahku.
“Tadi malam aku terburu-buru karena keponakanku demam dan aku lupa bertanya. Aku sangat ingin mendengar-”
Novi akhirnya mengangkat kepalanya dan berhenti di tengah kalimatnya saat melihat wajahku yang pucat dan tak ada tanggapan dari mulutku.
“Maafkan aku, Selia. Seharusnya aku nggak bertanya,” ucap Novi dengan perasaan tak enak. Penyesalan menari-nari di mata birunya yang dalam.
"Nggak apa-apa, Novi." Aku membalas permintaan maaf darinya. Aku menurunkan pandanganku ke piringku, berpura-pura menyukai makanan itu meskipun nafsu makanku hilang dalam sekejap. Tetapi bahkan dengan mata tertunduk, aku masih bisa melihat Mama menatapku dari sudut mataku.
"Semua nggak berjalan dengan baik, Novi," ucapku kemudian. “Ceritanya panjang.” Aku menambahkan dan menggigit steak di depanku.
Entah bagaimana, Novi merasa aku belum siap untuk berbagi detailnya dengan siapa pun. Dia tidak mengajukan pertanyaan lebih lanjut dan membiarkan perhatiannya mengembara ke makanan di depannya. Mama melakukan hal yang sama. Keheningan memeluk kami sampai akhirnya kami menghabiskan sarapan.
“Aku akan mencuci piring,” aku menawarkan diri setelah kami menghabiskan sepiring kue black forest untuk hidangan penutup kami, tetapi dengan cepat Novi menghentikanku.
"Giliranku yang mencuci piring, Sel." Novi sudah mengumpulkan piring-piring kosong sebelum aku sempat menolak dan membawanya ke wastafel.
Aku menggigit bibir bawahku, merasa tak enak hati atas kebaikan perawat mamaku. "Tapi itu nggak termasuk dalam tanggung jawabmu, Novi." Aku memprotes, memindahkan sisa piring dari meja ke wastafel.
"Konyol. Makanan yang aku makan juga bukan tanggung jawabmu, tapi kamu selalu menyertakan aku dalam menyiapkan sarapan dan makan siang. Aku hanya membalas budi, Selia.” Novi menyahut. Dia menolak bantahan dariku.
“Kamu masih harus bersiap untuk bekerja. Kamu akan terlambat kalau kamu harus mencuci piring,” ucap Novi lagi.
Dengan menghela napas, aku menyerah. "Kamu menang kalau begitu," ucapku pada Novi.
Aku menyalakan televisi, jadi Mama bisa menonton acara bincang-bincang favoritnya di sofa panjang sebelum aku meluncur ke lantai atas, ke kamarku.
Aku meraih handuk mandi di dinding kemudian aku segera berjalan ke kamar mandi. Langkahku berhenti di tengah jalan karena suara ponsel yang berdering. Aku mengambil ponselku yang terletak di atas tempat tidur dan melirik layarnya. Aku melihat serangkaian nomor yang tak terdaftar berkedip di layar ponselku.
Ragu-ragu, aku menjawab tetapi berusaha menganggap itu panggilan penting. "Halo." Aku menyapa, membuat suaraku terdengar ceria. Namun tidak ada tanggapan yang terdengar di telingaku.
“Ini dengan saya Selia. Ada yang bisa saya bantu?” Aku bertanya namun orang yang meneleponku tetap diam.
Pada akhirnya aku mengakhiri panggilan tak jelas tersebut. Pasti penelepon adalah remaja yang sedang memainkan lelucon pada nomor acak untuk hiburan mereka. Aku berpikir dalam hati kemudian mengembalikan ponselku ke tempat semula.
ding!
Bunyi bip keras terdengar lagi tetapi kali ini adalah pesan teks. Itu tidak mengejutkanku setelah melihat bahwa pesan itu datang dari nomor yang sama. Namun, ketika aku membaca pesan itu, aku terkejut, hampir saja ponsel terlepas dari genggamanku.
Selamat ulang tahun, Selia. Pelipisku mengerut kebingungan saat aku membaca pesan teks itu. Karena pengirimnya tidak menyebutkan nama, aku tidak tahu siapa pengirimnya.
Aku mengangkat bahu dan tak mau ambil pusing. Mungkin dia salah satu rekan kerjaku di restoran. Tanpa penundaan lebih lanjut, aku pergi ke kamar mandi untuk bersiap-siap bekerja sebelum aku kehabisan waktu.
