Bab 7
Bab 7 BISA KITA BICARA
Tiga puluh menit kemudian, aku berjalan ke bawah dengan seragamku. Lengan panjang putih dengan rompi hitam di atasnya dan rok pensil di atas lututku. Pita hitam mengikat rambutku, menjadi sanggul di tengkukku. Aku tidak memakai aksesori lain kecuali jam tangan, hadiah dari ulang tahunku yang ke dua puluh tiga.
Mama melihatku menuruni anak tangga sambil bibirnya tersenyum. "Kamu terlihat cantik, sayang," ucap Mamaku.
Pipiku terbakar karena pujian Mamaku, Shinta.. Aku pun memberikan senyuman padanya. “Kamu mengatakan itu setiap hari, Mama. Sulit untukku mempercayaimu sekarang.” Aku menyangkal padahal dalam hati aku menyukai pujian Mama.
Mama tertawa. "Sayang, kamu memang terlihat cantik dan hebat.”
Novi muncul dari pintu dapur sambil memegang selusin mawar merah muda segar di tangannya. Novi mengambilnya dari kebun mini milik Mama. Saat dia melihatku, bibirnya melengkung, membentuk senyuman. Dia mengganti mawar layu di vas dengan yang baru dipetik sebelum dia datang padaku.
"Aku menyiapkan bekal makan siang untukmu,” ucap Novi. Dia berhenti di meja dapur dan memberiku tas makan siang yang berisi makanan yang sengaja dia bungkus untukku.
"Kamu seharusnya nggak perlu repot melakukan ini," kataku padanya. Pipiku memerah saat aku mengambil tas makan siang dari tangannya.
"Aku nggak keberatan melakukannya. Masih ada cukup makanan untuk kami jadi kamu nggak perlu mencemaskannya.” Novi meyakinkan aku.
“Kamu akan terlambat bekerja, sayang. Kamu harus bergegas.” ucap Mama, menyela percakapan di antara aku dan Novi.
Sepatu hak tinggiku berjejer di lantai berkarpet. Aku menempelkan bibirku ke kening Mama. “Jangan lupa minum obat, Mama. Dan jangan terlalu lama berada di depan televisi. Itu nggak baik untuk kesehatanmu.” Aku mengingatkan Mama. “Aku akan pergi bekerja sekarang. Jaga dirimu baik-baik,” tambahku sambil menatap Mama untuk terakhir kalinya.
Aku mengarahkan pandanganku ke Novi, aku menangkapnya sedang menatapku. "Aku akan merawatnya dengan baik, jadi jangan khawatir," ucap Novi dengan senyumnya penuh keyakinan.
"Silakan lakukan, Novi. Aku percaya padaku." Aku membalas perkataan perawat pribadi Mamaku.
Aku terlalu khawatir tentang Mama. Apakah dia akan baik-baik saja? Jika ada orang yang paling aku percaya untuk menjaga Mama, dia adalah Novi. Dia adalah sahabatku sejak SMP.
"Hubungi aku jika ada sesuatu yang penting," ucapku. Aku masih menatap Novi lalu dia menganggukkan kepalanya. Novi melambaikan tangannya sebelum aku pergi meninggalkan rumah.
"Hati-hati, sayang. Jangan melewatkan waktu makanmu,” ucap Mama saat aku dalam perjalanan ke pintu.
“Tidak akan, Ma. Sayang sekali membuang makanan lezat ini. Novi sudah bersusah payah membuatnya. ” Aku menjawab dengan cepat sebelum dengan lembut menutup pintu di belakangku.
Langit cerah membentang di cakrawala seperti lukisan yang menakjubkan di atas kanvas. Awan putih dan langit biru paling jernih yang pernah kulihat dalam hidupku seakan menjanjikan hari yang indah di depan.
Aku mengalihkan pandanganku dari langit, dan naik ke dalam taksi sebelum aku terlambat bekerja. Dengan punggungku bersandar pada jok kulit di belakangku, pandanganku kembali ke tempat kejadian. Kebiasaan lama sulit dihilangkan, pikirku dalam hati. Aku melihat burung-burung melebarkan sayapnya dan menyelam ke angkasa. Dalam hati aku berharap bisa sebebas mereka.
Taksi meluncur di jalan. Aku menghabiskan perjalanan singkat melihat ke luar jendela taksi. Tak lama, taksi berhenti di depan La Paraiso, sebuah bangunan kolosal di jantung Kota. Keluarga Atmadja adalah pemilik hotel luas itu.
La Paraiso, artinya surga. Nama hotel itu berasal dari suami saya. Dia membuat nama itu untuk mengenang wanita yang akan menjadi mantan ibu mertuaku, yakni ibu dari Evan.
Aku membayar sopir dan keluar dari taksi dengan tas makan siang di tanganku.
Hotel La Paraiso berdiri dengan bangga dan tinggi di bawah langit biru kristal. Hotel itu adalah yang terbesar di negara ini. Strukturnya yang modern menarik perhatian dengan desainnya yang unik seperti istana yang berlatar era modern. Hotel ini melayani selebriti, politisi, kalangan elit, dan bangsawan. Memang, itu adalah surga bagi orang kaya.
Aku langsung menuju pintu masuk karyawan. Aku menunjukkan Kartu Identitas yang aku miliki kepada satpam yang bertugas. Aku mengucapkan ‘selamat pagi’ kepada rekan kerjaku yang ada di meja makan sebelum aku memasuki Ruang Staf untuk mencatat waktu di biometrik. Tak lama kemudian aku bergabung dengan rekan kerja sambil membawa alat pembersih di tanganku. Aku akan membantu mereka mempersiapkan segala sesuatu sebelum restoran dibuka.
Sekilas aku melihat penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tanganku. Masih ada sisa satu jam sebelum restoran dibuka. Aku membersihkan kursi dan meja, seperti biasa aku menggosoknya dengan gerakan melingkar menggunakan kanebo yang ada di tanganku. Aku meninggalkan meja dan kursi yang bersih dan berkilau. Kemudian aku mengambil kain pel untuk membersihkan jejak samar di lantai.
Perhatianku jatuh pada lantai yang sedang aku bersihkan. Aku tidak melihat langkah kaki yang mendekat dari belakangku. Aku terus fokus mengepel tanpa menyadari sosok tersebut berhenti di belakangku. Orang itu memperhatikanku dengan mata abu-abu yang serius.
Selang beberapa menit, akhirnya aku merasakan sepasang mata mengawasiku. Aku menegakkan tubuh, tetapi sebelum berbalik dia berbicara padaku..
"Selia, bisakah kita bicara?"
Aku berbalik dan terkesiap. Ternyata aku berdiri di depan laki-laki yang adalah suamiku. Lebih tepatnya sebentar lagi akan menjadi mantan suami.
