Bab 2


"Sudah kamu tanda tangani perjanjiannya?" tanya Tristan, ia melihat Paramitha yang masih memakai kebaya pernikahan.

"Ternyata Mas sudah mempersiapkan semuanya dengan matang, sungguh mengejutkan," sindir Paramitha.

Tristan tersenyum sinis saat Paramitha menyindirnya. Jelas ia sudah mempersiapkan zurat perjanjian kontrak nikah yang sudah dsiapkan jauh-jauh hari. "Aku harus menyiapkannya agar kamu sadar bahwa kamu bukanlah gadis yang aku inginkan. Kamu hanya pengacau yang membuat hidupku berantakan," balasnya.

Paramitha merasa dirinya hina saat suaminya itu mengatakan hal yang menyakitkan seperti itu, ia langsung merobek surat perjanjian itu dan melemparkannya ke hadapan Tristan. “Mas pikir aku mau menandatangani surat konyol ini? Aku tidak akan pernah mau, Mas. Aku bukan barang dan juga pernikahan adalah sesuatu hal yang sakral. Aku tidak mau menodai kesucian pernikahan dengan menandatangi surat yang kamu berikan padaku!”

Tristan tertawa, benar ternyata yang ada dipikirannya tentang perempuan itu. Paramitha adalah perempuan yang penuh kepalsuan, wajah sendu dan polos itu berhasil menipu banyak orang termasuk ibunya. “Kamu memang tidak pantas untuk dinikahi oleh lelaki mana pun! Kamu penuh kepura-puraan, munafik! Aku ternyata salah menilaimu, dulu aku pikir kamu adalah gadis yang baik hati dan polos. Ternyata, kamu mempunyai dua wajah agar mendapatkan banyak simpati dari orang-orang. Yah… kamu sukses dengan sandiwaramu itu, kamu sukses membuat ibuku terjerat oleh kepalsuanmu! Dan kamu berhasil merenggut kebahagiaanku dan juga Karina!” geram Tristan, saat ini hatinya diliputi kebencian yang mendalam pada Paramitha.

Paramitha terkejut mendengar Tristan menyebut nama perempuan lain dihadapannya. Apa perempuan yang bernama Karina itu adalah kekasih Tristan? Apa benar hadirnya di kehidupan Tristan membuat kisah cinta keduanya berakhir kelam?

“Kamu harus bersandiwara denganku di depan ibu maupun orang yang tahu pernikahan kita. Kita harus pura-pura mesra di hadapan mereka. Jika kamu tidak ingin aku menyakiti orang-orang yang selama ini ada di dekatmu, kamu harus mengikuti apa yang aku katakan,” perintan Tristan. “Dan ingat, jangan pernah menanggapku sebagai suamimu karena aku tidak akan pernah mau mengakuimu sebagai istriku di depan teman-temanku. Jika kita saling bertemu, aku ingin kita tidak saling menyapa dan jangan pernah melirikku sedikit pun jika tak sengaja kita bertemu,” tambahnya.

Tristan membawa tas ransel dan bersiap untuk pergi ke luar malam ini. Baru saja kakinya melangkah, Paramitha langsung memanggilnya. "Kamu mau ke mana, Mas?"

"Aku mau ke luar, aku tak sudi tidur satu ranjang denganmu!"

"Ini malam pertama, Mas. Jika ibu dan yang lainnya tahu Mas pergi, apa yang harus kukatakan?"

"Mereka tidak akan tahu kalau aku pergi jika kamu tidak mengadu. Sebelum subuh aku sudah kembali ke rumah," balas Tristan geram.

Setelah Tristan ke luar, tubuh Paramitha ambruk ke lantai. Ia akhirnya menangis lagi. Pernikahan impiannya ternyata adalah awal dari petaka kesedihannya. Pernikahan yang mulanya ia anggap adalah lembaran baru untuk menulis cerita bahagia, nyatanya adalah lembaran berikutnya untuk ceritanya yang kelam. Haruskah ia melepaskan Tristan? Haruskah ia mengecewakan Santy – Ibu mertuanya yang sudah menganggapnya sebagai anak sendiri? Paramitha bimbang dengan langkah yang ingin ia tempuh. Haruskah menyudahi jalan yang belum ia mulai? Atau terus melangkah, meski ia tahu ada duri yang siap melukai langkahnya? Benarkah bahagia tidak ditakdirkan untuknya?


Esok paginya Paramitha bangun pagi dengan lunglai di kamar pengantin sendirian. Ia tak melihat sosok Tristan sama sekali, lelaki itu belum pulang. Harusnya kemarin malam adalah malam pertama yang menggairahkan baginya, tapi malam kemarin adalah malam pertama untuk cerita luka baginya, perempuan yang tak diharapkan sama sekali oleh lelaki yang bergelar suaminya, Tristan. Tristan pergi begitu saja di malam pertama pernikahan mereka. Sungguh menyedihkan kisahnya kali ini. Jika orang lain tahu mungkin ia akan ditertawakan ataupun dikasihani. Paramitha turun ke bawah, ia berniat membantu ibu mertuanya sepagi ini. Lebih baik ia menghirup udara pagi agar pikirannya kembali tenang.

Paramitha melihat banyak piring kotor menumpuk, ia mulai membersihkannya. Saat piring terakhir selesai dibilas ada tangan seseorang yang memegang bahunya. Paramitha terkejut saat Santy sedang tersenyum padanya.

“Masa pengantin baru malah sudah bangun sepagi ini? Apa kamu tidak lelah?” tanya Santy.

“Enggak lelah sama sekali, Bu. Malahan Mitha enggak enak kalau hanya berdiam diri di kamar. Badan terasa pegal kalau diam saja,” jawab Paramitha dengan sopan.

“Namanya pengantin baru yah wajar di kamar saja toh, Nduk. Lagian si Tristan masa dia enggak bisa bikin kamu capek. Apa dia semalam malah tidur ngorok?” tanya Santy curiga.

Paramitha tersenyum. “Mas Tristan pasti capek, Bu. Kan seharian harus bersalaman dengan tamu undangan.”

“Dia itu laki-laki, masa kalah sama kamu energinya. Lagipula kan kalian menikah hanya dihadiri oleh keluarga besar saja, enggak pakai resepsi segala. Masa dia gitu saja capek,” ketus Santy, ia kecewa dengan anak bungsunya itu. “Nduk, kamu mau nanti Ibu adain resepsi besar-besaran? Tristan kemarin bilang katanya kamu ingin pernikahan kalian digelar sederharna saja. Kenapa enggak mau hajat besar-besaran?” tanya Santy penasaran.

Hati Paramitha bagai tersambar petir, bagaimana bisa Tristan berbohong pada Santy? Padahal Tristan tidak pernah mengatakan apa-apa padanya. “Enggak apa-apa, Bu. Mitha hanya ingin pernikahan kita sederhana agar sakral, enggak mau terlalu banyak dihadiri orang,” balas Paramitha berbohong.

“Kamu itu memang menantu Ibu yang sangat Ibu sayangi. Enggak salah Ibu milih istri buat Tristan,” puji Santy dengan bahagia. “Ibu sudah siapkan paket honeymoon untuk kalian berdua. Kalian nikmati hadiah dari Ibu. Dan nanti malam kalian akan berangkat ke sana,” seru Santy penuh semangat.

“Memangnya Ibu kasih hadiah kita honeymoon ke mana?’ tanya Paramitha, ia tak menyangka kalau ibu mertuanya sudah merencanakan bulan madu untuk nya dan Tristan.

“Rahasia dong, Nduk,” jawab Santy. “Ya sudah, bangunkan suamimu. Pagi ini kita harus berfoto bersama, mumpung keluarga besar pada datang ke Jakarta.”

“Sekarang, Bu?” tanya Paramitha kaget.

“Ya iya sekarang. Apa Tristan sulit untuk bangun pagi? Anak itu kebiasaan!” kesal Santy. “Biar Ibu bangunkan anak bandel itu! Sudah jadi suami kok tetap sulit bangun pagi,” gerutunya.

Paramitha panik, ia tidak mau Santy mengetahui bahwa Tristan pergi di malam pertama mereka. “Enggak perlu, Bu. Biar Mitha yang bangunin Mas Tristan,” cegahnya sambil tersenyum.

“Nah, iya harus kamu yang bangunin Tristan. Nanti dia semangat kalau lihat wajah cantik istrinya di pagi hari,” seru Santy.

Paramitha tersenyum samar, ia bingung harus mencari Tristan ke mana. Lelaki itu pergi tanpa pamit padanya. ‘Mas… kamu di mana? Cepat pulang!’ batinnya dengan risau.


Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya