Bab 9
"Kalian sedang apa?"
Paramitha dan Grey langsung melihat ke arah sumber suara dan terkejut karena melihat Jonathan sedang menatap ke arah mereka.
Grey langsung menghampiri Jonathan dan melingkarkan tangannya di pinggang Jonathan. "Sayang, tadi guru itu tambah kurang ajar. Masa dia bilang kalau aku itu bukan siapa-siapa dan juga dia tidak sopan denganku. Mungkin dia ngelunjak karena kemarin kamu mengantarnya pulang," adunya manja.
Jonathan menghela napasnya pendek. "Apa benar yang kamu katakan?" tanyanya.
"Benar. Kalau kamu tidak percaya tanyakan saja sama Bu Nancy. Bu Nancy yang jadi saksinya," balas Grey. "Benar kan, Bu?" tanyanya menatap dengan memberi sebuah kode.
"Benar, Pak," jawab Nancy. "Atas nama sekolah ini, saya minta maaf karena salah satu guru di sini membuat kegaduhan dan membuat keluarga Pak Jonathan tidak nyaman. Saya akan menegur langsung Bu Mitha agar ke depannya tidak lagi ikut campur dengan urusan keluarga dari para murid," ungkapnya menjelaskan. "Bu Mitha, minta maaf sama Pak Jonathan dan Bu Grey," pintanya sambil melirik ke arah Paramitha.
Paramitha menghela napas, sungguh drama orang-orang yang mempunyai banyak uang hanya berpaku pada kekuasaan dan bisa menekan orang lain seenaknya. Paramitha tidak mau menggubrisnya terlalu dalam, ia pun malas bertemu dengan tipe orang seperti Grey.
"Tadi saya sudah minta maaf sama Bu Grey, meski saya tidak tahu letak kesalahan saya di mana. Tapi maaf, selama murid saya berada di lingkungan sekolah yang berarti saya adalah orang tua mereka di sekolah, saya berhak melindungi mereka dan mendidik mereka. Saya tidak mungkin bisa diam kalau ada hal yang membuat anak didik saya tidak nyaman atau merasa ketakutan. Sekali lagi saya minta maaf pada Bu Grey maupun Pak Jonathan. Saya tidak ada niat untuk ikut campur masalah keluarga siapapun," ucap Paramitha. "Semuanya sudah selesai kan Bu Nancy?" tanyanya.
"Iya, sudah selesai," jawab Nancy.
"Kalau begitu saya undur diri dulu karena masih ada kelas," pamit Paramitha. "Saya pamit, Pak... Bu..." pamitnya pada Jonathan dan Grey.
Paramitha terkejut saat melihat surat peringatan dari sekolah di atas mejanya, ia menghela napas dan terlebih lagi dirimya dibebaskan tugas sementara dan di-nonaktifkan mengajar selama sebulan. Harus kah kecemburuan perempuan itu membuat kehidupan orang lain menderita? Paramitha menghela napas panjang, jika selama sebulan ia tidak mengajar apa yang harus ia lakukan seorang diri di kota ini? Paramitha tidak mempunyai teman banyak, kenalannya hanya sebatas rekan guru saja.
"Bu Mitha kenapa kamu kena SP? Dan kenapa di-nonaktifkan mengajar selama sebulan? Memangnya kesalahan Bu Mitha sangat fatal?" tanya Asih terkejut.
"Gimana lagi, Bu. Kalau kita berurusan dengan orang yang punya power ya susah. Meski kita tidak salah, kalau mereka tak suka ya kita harus kena imbasnya," balas Paramitha.
"Maksudnya Bu Mitha itu Pak Jonathan?" tanya Asih.
Paramitha menggelengkan kepalanya. "Kalau beliau orang baik saya rasa. Saya hanya berurusan dengan calon istrinya pak Jonathan, mungkin dia tidak suka saat kemarin saya diantar pulang sama calon suaminya itu."
"Bu Mitha diantar pulang sama Pak Jonathan?" pekik Asih terkejut.
"Lebih tepatnya sama Summer. Saya diantar pulang karena sudah menemani Summer saat menunggu dijemput. Mungkin Bu Grey cemburu. Padahal kenapa dia harus cemburu dengan saya ya? Saya bukan perempuan high class seperti dia dan saya juga jauh berbeda dengannya. Dia cemburu pada perempuan yang salah," balas Paramitha.
"Kata siapa Bu Mitha enggak cantik! Kalau Bu Mitha pakai barang branded seperti dia, pasti dia kalah telak. Perempuan itu hanya cantik karena riasan dan barang-barang mewah yang melekat di tubuhnya, sedangkan Bu Mitha cantik alami dan punya senyum yang menawan. Siapapun pasti merasa bahagia kalau lihat Bu Mitha senyum, saya yang perempuan aja kok suka lihat Bu Mitha senyum. Sangat cantik," puji Asih.
Paramitha tertawa. "Kok saya jadi geer gini sih, Bu. Nanti hidung saya terbang lho."
"Memang kenyataanya Bu Mitha cantik kok, siapapun yang lihat Bu Mitha tersenyum pasti jatuh hati," tukas Asih.
'Jika memang benar, kenapa Tristan tak pernah melihatku? Dia malah membenciku,' lirih Paramitha dalam hati.
"Lalu rencana Bu Mitha mau bagaimana selama off mengajar sebulan?"
"Hmm... Saya belum tahu sih, Bu. Saya belum ada rencana apa-apa. Mungkin mau jalan-jalan mengelilingi Bandung karena saya masih asing di sini," jawab Paramitha.
"Kalau ngajar calistung, Ibu mau enggak? Tapi.... "
"Tapi kenapa, Bu?"
"Enggak usah, kasihan juga sama Bu Mitha," jawab Asih.
"Eh, kenapa harus kasihan sama saya? Saya mau kok ngajar calistung, saya pingin tetap ngajar soalnya," balas Paramitha.
"Tapi ini enggak dibayar, Bu."
"Enggak apa-apa, Bu. Di mana tempatnya?"
"Komunitas yang sedang saya ikuti ada program anak mengajar. Nah komunitas kita itu mengajar untuk anak-anak jalanan dan suka ada program calistung tiap akhir pekan di salah satu panti asuhan. Memang kita tidak dibayar, tapi melihat senyum anak-anak membuat kami merasa sudah lebih dari cukup. Kalau Bu Mitha mau nanti pulang dari sekolah saya kenalkan sama ketua dan anak-anak komunitas. Bagaimana?"
"Mau, Bu. Saya pasti ikut. Saya senang karena Bu Asih mau mengajak saya untuk ikut andil mengajar anak-anak jalanan dan anak-anak di panti asuhan," jawab Paramitha dengan antusias.
"Oke, nanti kita akan bertemu mereka," ucap Asih tersenyum.
Mas saya pulang telat karena ada urusan dengan rekan guru.
Tristan membaca pesan yang dikirim Paramitha padanya. Ia mengembuskan napasnya kesal karena perempuan itu sepertinya lupa kalau ia tak peduli dengan apa yang Paramitha lakukan di luar sana. Mau tidak pulang berminggu-minggu pun ia tak peduli! Tristan tak mengerti dengan jalan pikiran Paramitha, kenapa perempuan itu tahan dengan sikapnya yang kasar?
"Sayang... "
Tristan langsung menghapus pesan dari Paramitha dan menyimpan ponselnya. "Kenapa malah kamu yang datang ke kantor?"
"Enggak apa-apa. Sekali-kali aku yang jemput kamu," balas Karina. "Malam ini bisa tidur di apartemenku?" tanyanya.
"Kenapa kamu makin manja begini? Hmm... Curiga," ucap Tristan.
Karina menghampiri Tristan dan duduk di atas pangkuan lelaki itu. "Karena aku takut hatimu goyah karena satu atap dengan perempuan lain," balasnya.
Tristan tertawa. "Sayang, meski satu atap kita tak pernah menyapa satu sama lainnya, tidak pernah sering berinteraksi. Jadi tidak mungkin kalau aku bisa jatuh cinta pada perempuan lain. Di mataku hanya kamu satu-satunya perempuan yang kulihat. Jangan cemburu sama perempuan yang salah, dia selamanya tidak akan pernah ada di hatiku."
"Kita tidak akan tahu jika kelak kamu bisa saja jatuh cinta padanya. Hati manusia siapa yang bisa menebaknya," tukas Karina.
"Kamu kenapa sih cemburu sama Mitha? Dia dan kamu jauh berbeda. Lebih baik kita jangan membahas dia lagi! Bahas dia buat aku jadi kesal."
"Karena dia cantik. Istrimu itu sangat cantik. Aku tahu dia tak sengaja melihat fotonya sama saudara sepupumu. Makanya aku was-was karena Mitha ternyata mempunyai kecantikan yang bisa buat lelaki mana pun jatuh cinta padanya."
"Aku tidak mungkin jatuh cinta padanya, kamu jauh lebih cantik beribu-ribu kali lipat. Jangan bandingkan seorang dewi sepertimu dengannya! Dia pasti kalah telak."
Karina tersipu malu mendengar pujian manis dari Tristan. Ia merangkul leher Tristan dan menatapnya dengan mesra. "Ya! Hanya aku satu-satunya perempuan tercantik di matamu, sayang. I love you... " Karina mengecup bibir Tristan lembut.
