Bab 2
Seorang pria turun dari kereta sambil membawa beberapa paper bag di tangannya, raut wajah tampannya terlihat di tekuk. Dia merasa dongkol karena habis mengantar ibunya belanja, apa lagi sampai naik kereta dan berdesakan dengan orang lain. Itu hal yang paling membuatnya mual.
Andre menghela nafas panjang dan berjalan membuntut di belakang ibunya, wajah ibunya begitu bahagia. Tidak sedikitpun menghiraukan hati anaknya.
"Mamah ini keterlaluan sih, ngapain belanja segini banyak sampai jauh-jauh naik kereta." Ucapnya sambil mengerucutkan bibir.
"Andre sudahlah, kita kan jarang naik kereta. Lagian Mamah tuh bosen naik mobil terus." Ibunya begitu santai dan sibuk dengan ponselnya.
Langkah kaki ibunya terhenti di sebuah cafe dekat stasiun, dia langsung mencari tempat untuk duduk.
"Mah mau apaan lagi sih?" Tanya Andre seraya menghampiri ibunya yang sudah duduk di depan cafe.
"Makan dulu Ndre, Mamah laper." Sahutnya dengan santai seraya memanggil pelayan cafe untuk memesan makanan.
Andre hanya bisa geleng-geleng kepala dan menuruti apa kemauan ibunya.
"Ndre coba lihat." Ibunya menunjukkan foto wanita di layar ponselnya, "cantik kan? Kamu mau di kenalin sama dia nggak?" Tanya ibunya yang sudah berniat untuk menjodohkan anak pertamanya itu.
Andre hanya lihat sekilas dan diam tanpa kata, tepatnya dia malas kalau membahas perihal jodoh.
Setelah selesai makan siang mereka berjalan keluar stasiun. Karena sopir Andre juga sudah standby menjemputnya.
"Nih! Taruh di bagasi." Perintah Andre dengan ketus pada sang sopir.
"Baik, Pak." Sopir itu segera mengambil paper bag dari tangan Andre dan membuka bagasi mobil.
Bella sang Mamah masuk ke dalam mobil dan menaruh tasnya di atas kedua pahanya, namun resleting tasnya terbuka. Dia langsung memeriksa barang-barang di dalam tas.
"Ndre... Dompet Mamah kok nggak ada?"
Andre masuk ke dalam mobilnya dan duduk di belakang, di sebelah sang Mamah. "Nggak ada bagaimana Mah?" Tanya Andre.
Sang sopir sudah melajukan mobilnya.
"Sepertinya hilang."
"Hilang bagaimana sih? Memang Mamah taruh di mana?" Tanya Andre seraya mengaruk rambutnya yang tidak gatal itu.
"Mamah nggak tahu. Tapi pas Mamah lihat tasnya sudah kebuka, bagaimana ini Ndre? Apa di curi orang?" Ibunya tampak panik tak tenang.
"Ya sudah ikhlaskan saja Mah." Ucap Andre santai, dia benar-benar malas karena seharian ini capek mengantar ibunya berbelanja.
"Kamu ini bagaimana sih? Di sana ada ktp, beberapa black card Mamah, dan surat penting di dalam dompet." Bella merasa kesal atas jawaban dari anaknya itu.
"Pak berhenti." Perintahnya pada sang sopir, sopir itu memberhentikan mobilnya di pimggir perjalanan.
"Ndre sana kau balik lagi ke stasiun. Cari dompet Mamah!" Bella menarik lengan Andre untuk keluar dari mobil.
"Lho kok Andre sih?" Dia menunjuk dirinya sendiri.
"Kamu kan anak Mamah! Masa tidak mau bantu ibunya kesusahan." Bella menarik paksa tangan Andre sampai dia keluar dari mobil.
"Kau cari dompetnya sampai ketemu!"
"Ciri-cirinya bagaimana?"
"Masa kau tidak tahu dompet ibumu sendiri!" Lagi-lagi Bella merasa kesal.
"Dompet Mamah kan banyak."
"Dompetnya panjang dan berlapis emas." Tutur ibunya yang langsung menutup pintu mobil, dia meninggalkan anaknya di tengah jalan.
'Mamah ini merepotkan! Dompet segala ilang! Benar-benar menyebalkan!'
Gerutu Andre seraya menyetop taksi yang lewat, dia balik lagi ke stasiun untuk mencari dompet ibunya itu.
Sambil menunggu kereta berangkat, Dinda mengajak Ririn makan siang. Karena perutnya pun sudah mulai keroncongan.
"Rin... makan dulu yuk!" Ajak nya pada Ririn yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya.
Dia mengangguk dan berjalan mengikuti Dinda. Mereka duduk dan memesan makanan di cafe di dalam stasiun.
"Silahkan Mbak, pesan apa?" Tanya sang pelayan wanita seraya menyodorkan buku menu di atas meja.
Dinda mencari menu makan yang murah, karena uangnya pas-pasan. Yang dia bawa hanya uang dari hasil tabungannya, Leo setiap Minggu memberikan uang jajan pada Dinda dan Mira. Tapi Dinda tidak pernah memakainya, dia lebih suka menyimpannya. Takut suatu hari dia membutuhkan uang.
Uang tabungannya pun hanya sedikit, karena Dinda selalu merasa kehilangan uang di dalam dompetnya, Dinda juga tahu. Mungkin Mira yang mengambilnya, karena dia juga sering sekali nyelonong masuk ke kamarnya seenaknya, bahkan Dinda sering memergokinya, tapi tidak apalah. Dinda tidak mempermasalahkan, Lagian uang yang dia ambil adalah uang Papahnya juga.
"Aku pesan mie instan sama es teh manis, Mbak." Ucap Dinda
"Rin kau mau apa?" Dinda melihat Ririn yang masih sibuk dengan ponselnya tanpa menjawab apa lagi menoleh. Dinda mencubit kecil lengannya.
"Aaww... Sakit." Dia baru sadar, dan mengusap-usap bekas cubitan Dinda.
"Kau pesan apa?" Tanya Dinda lagi.
"Samakan saja Din, dengan punya mu." Tuturnya. Pelayan itu mencatat dan pergi untuk membuatkan pesanan.
Ting.... Bunyi notifikasi pesan masuk. Dinda mengambil ponselnya lalu membuka isi pesan, ternyata itu dari Yuda. Dia memberitahukan alamat kossan untuk Dinda.
Sekitar beberapa menit, pelayan itu membawa pesanan mereka dan menaruhnya di atas meja. Mereka berdua langsung menyantapnya, di sesi makan. Pandangan Dinda teralihkan pada sebuah dompet panjang dengan Kilauan emas, tepat di bawah meja.
Dia meraihnya di bawah dan memperhatikannya, sambil bergumam dalam hati.
'Dompet punya siapa ini?' batin Dinda
Seseorang dari belakang langsung merampas dari tangannya, Dinda terkejut dan menoleh ke belakang.
"Kembalikan dompet itu." Ucapnya pada seorang pria tampan yang tengah berdiri di belakang mejanya.
"Kau mencuri dompet Ibuku!" Pekiknya menuduh, tatapan matanya begitu tajam.
Dinda berdiri dan menghadap kearahnya, "Apa maksudmu? Aku menemukan dompet itu di bawah meja."
Pria itu tersenyum miring, "Pembohong!" Serunya lagi.
"Kau ya, aku mencari dompet ini sampai kepalaku mau pecah! Seenaknya kau mencurinya, aku akan bawa kau ke kantor polisi!" Pria itu menarik tangan Dinda dengan paksa dan mengajaknya pergi dari cafe itu.
"Tidak Pak aku tidak mencuri, aku....."
"Diam!!!" Bentaknya, jantung Dinda di buat gemetar tak karuan. Pria ini begitu kasar.
"Pak tunggu...." Ririn berlari mengejar Dinda yang masih di tarik oleh pria itu secara paksa. "Dia bukan pencuri, dia teman saya. Kami berdua sedang makan di cafe Pak. Tolong lepaskan teman saya." Tutur Ririn membela, dia merasa kasihan pada temannya itu.
"Pak saya bukan pencuri." Ucap Dinda dengan nada memelas, dia merasa ketakutan.
Tiba-tiba datanglah seorang pria dengan mendorong koper, dia tidak kalah tampannya dari pria tadi.
"Andre....." Panggil pria itu.
Andre langsung melepaskan tangan Dinda dan memeluk pria yang baru datang itu.
"Heri... Kau sudah kembali, aku merindukanmu Her." Ucap Andre dengan hangatnya.
"Benarkah kau rindu padaku Ndre?" Tanya Heri dengan nada manja, mereka seperti layaknya sepasang kekasih.
