Bab 4

Pria itu mengangkat bokongnya, "oke, kamu ikut saya. Kita ke kantor bos ku." Ajak pria itu dan berjalan keluar.

"Din... Kamu nggak apa-apa emang jadi pembantu?" Tanya Ririn seraya memegang tangan Dinda, padahal mereka sudah berniat ingin kerja bareng. Tapi justru hanya dia yang di terima.

"Tidak masalah Rin. Yang penting halal." Dinda bangun dari duduknya, "ya sudah. Aku pergi dulu, kamu semangat kerjanya ya, Rin." Dinda mengusap lembut pundak temannya itu.

Ririn mengangguk dengan senyuman yang tergambar jelas di wajahnya, "kamu juga semangat Din." Dinda melambaikan tangan dan keluar dari ruangan itu.


Sampainya Dinda di sebuah gedung pencakar langit, gedung yang sangat besar. Namun dia merasa heran. Hampir semua karyawan yang dia lihat, semuanya berjenis kelamin laki-laki. Mungkin hanya dia satu-satunya wanita yang berada di situ

Para karyawan juga menatap Dinda dengan heran. Tapi Dinda tidak menghiraukannya, Dia membuntut mengikuti langkah kaki manager itu sampai masuk ke sebuah ruangan CEO.

Tok... Tok... Tok.

"Pak saya Deri." Ucapnya di depan pintu.

"Masuk." Sahut bosnya dari dalam.

"Pak, saya sudah mendapatkan asisten buat Bapak." Ucap manager itu dengan sopan dan sedikit membungkuk.

Dinda yang sedari tadi menunduk, perlahan mengangkat kepala. Matanya terbelalak pria tampan di depannya adalah pria yang sama dengan di stasiun, yang dia pikir adalah pria gay.

"Kau pencuri itu!" Seru Andre menunjuk wajah Dinda.

Andre masih tetap saja menuduh kalau Dinda mencuri dompet ibunya, padahal ibunya sendiri yang menjatuhkan dompetnya di cafe saat makan. Tapi tidak menyadarinya.

"Pak, saya bukan pencuri." Dinda memasang wajah dengan melas.

Andre menghela nafas, "kau pergilah!" Usir nya pada manager cafe yang berada di samping Dinda.

Pria itu pun menghilang dari ruangannya.

"Duduk!" Perintah Andre dengan ketusnya seraya menatap kursi di depan meja.

Tanpa jawaban Dinda duduk di kursi itu. "Siapa namamu?" Tanya Andre.

"Dinda, Pa-pak." Ucapnya gugup.

"Aih... Tidak usah gugup, biasa saja. Aku akan memaafkan kejadian dompet itu. Asal kau harus menerima tawaran ku."

"Tawaran apa Pak?"

"Kau mau jadi asisten pribadi ku?" Tanya Andre sambil mengangkat punggungnya yang sedari tadi menyender di kursi putar miliknya.

"Asisten rumah tangga. Maksudnya, kan Pak?" Tanya Dinda dengan wajah binggung.

"Jelas aku bilang asisten pribadi! Bukan asisten rumah tangga! Kau tuli!" Pekik Andre, suaranya sungguh menggelegar. Hingga membuat gendang telinga Dinda sakit.

"Asisten pribadi? Lalu tugas saya apa Pak?" Dinda masih terlihat binggung.

"Kau cukup selalu berada di sampingku, dan turuti semua apa kemauanku!"

Deg.....

"Kemauan yang bagaimana Pak? Bapak tidak akan......" Dinda menjeda ucapannya, dalam hatinya merasa curiga. Dia takut pria di depannya memperkerjakan dia sebagai wanita murahan.

"Kau tenang saja Din, kau hanya jadi asisten ku. Tidak lebih dari itu!" Tegasnya.

Tak lama Heri datang ke ruangan Andre dia langsung kaget melihat Dinda yang berada di sana. "Kamu gadis yang di stasiun itu kan?" Tanya Heri sambil memberikan berkas pada Andre.

Dinda hanya tersenyum dan mengangguk.

"Mau apa dia Ndre? Mau melamar kerja?" Tanya Heri.

Andre menanda tangani berkas yang Heri berikan. "Iya, Her. Dia akan jadi asisten pribadi ku."

"Asisten pribadi? Kenapa kau harus pakai asisten? Memang kerjaan ku padamu kurang bagus?" Heri seperti tengah cemburu. Dia juga sebenarnya bukan hanya sekedar sekretaris. Tapi lebih tepatnya seorang kekasih yang sering menghabiskan waktunya berdua dengan Andre.

"Tidak, Her. Nanti aku beritahu." Andre berdiri dan membenarkan jas yang ia pakai. "Dinda kau ikut aku sekarang!" Perintah Andre seraya berjalan.

Dinda langsung bangun dan ikut membuntutinya, sedangkan Heri di tinggal sendiri di dalam ruangan Andre.

Langkah kaki Andre benar-benar cepat dan panjang, tidak bisa di pungkiri kalau dia juga laki-laki yang gagah dan amat sempurna. Dinda bahkan berlari kecil supaya tidak terlalu ketinggalan oleh Andre.

Mobil sport Lamborghini sudah standby di depan kantor, sang sopir pun membuka pintu untuk Andre.

"Silahkan, Pak." Andre langsung masuk tanpa menjawab.

Namun tidak dengan Dinda yang diam mematung. Andre menurunkan kaca mobilnya, "Din... Mau sampai kapan kau berdiri. Cepat masuk!" Seru Andre.

Dinda langsung masuk dan duduk di sebelahnya, "Pak, kita mau kemana?" Tanya Dinda.

"Salon."

"Apa saya akan kerja di salon Pak?"

"Tidak."

"Lalu mengapa Bapak mengajakku ke salon?" Begitu banyak pertanyaan dalam benak Dinda, dia sendiri tidak mengerti apa saja tugasnya sebagai asisten.

Andre mengusap wajahnya, "kau bodoh sekali! Aku kan bilang kau harus turuti kemauanku. Sudah jangan banyak protes!" Pekik nya.

Dinda mengangguk paham. Tak lama suara ponselnya berdering, tertulis nama Om Leo di layar ponsel.

"Pak Andre, boleh saya angkat telepon sebentar?" Tanya Dinda.

"Ya."

Dinda langsung menekan tombol jawab dan menempelkan ponselnya di telinga kirinya.

"Halo Om."

"Dinda kau kemana? Dari kemaren kenapa tidak pulang ke rumah?" Tanya Leo begitu cemas, sepertinya dia tidak tahu kalau istrinya yang telah mengusir Dinda.

"Aku sudah kerja Om. Kemaren aku berangkat ke Jakarta."

"Kerja? Kenapa kau tidak bilang dulu sama Om. Kan bisa Om mengantarmu."

"Tidak apa-apa Om, lagian Om kan sibuk kerja. Aku tidak mau merepotkan."

"Kamu kerja apa di sana Din?"

"Jadi....." Belum sempat Dinda meneruskan, ponsel miliknya langsung di ambil oleh Andre.

"Sudah teleponnya, di lanjut nanti. Kita sudah sampai." Ucap Andre keluar dari mobil dan melempar ponsel Dinda padanya, dengan cepat Dinda menangkapnya.

Masuklah mereka di sebuah salon kecantikan, bisa di bilang salonnya para artis. Fasilitasnya begitu memadai, sangat bagus dan tempatnya begitu nyaman.

"Selamat siang. Pak Andre." Sapa karyawan salon yang bertulang lunak itu, seraya bergelayut di pundak Andre.

Mata Dinda terbelalak, lagi-lagi dia melihat pemandangan yang tidak sehat itu. Dia nyengir karena merasa aneh.

'Apa Pak Andre benar-benar pria belok?' batin Dinda.

Andre segera menepis lengan pria itu, dia merasa malu karena Dinda menatap aneh padanya, "lepas! Kau tidak sopan!" Ucapnya galak.

Pria tulang lunak itu malah mengusap dagu Andre dengan nakalnya, "ah, Pak Andre. Sekarang sombong sekali." Dia berkata dengan genitnya.

"Bencong! Pergi kau! Aku mau cari Tante Santi." Andre mendorong tubuh pria itu sampai dia terjatuh di bawah.

"Aaww... Kasar sekali kamu Pak Andre." Pria bertulang lunak itu langsung berdiri sendiri dan meninggalkan Andre dan Dinda.

"Andre...." Panggil seorang wanita cantik yang sudah berumur dengan rambut panjang berwarna kekuningan itu, hasil dari cat rambut.

Andre menoleh dan Santi langsung memeluknya, "tampan kenapa kau kesini? Kau tidak akan meminta Tante untuk merubah mu jadi wanita kan?" Tanya Santi dengan nyeleneh, dia juga sudah tahu bagaimana keponakannya itu.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya