Bab 6

(POV Dinda)

"Uhuk.... Uhuk.... Uhuk." Pertanyaan Mamah Pak Andre membuatku tersendak, tapi dengan cepat dia menuangkan air minum untukku.

"Pelan-pelan, nggak usah buru-buru makannya," ucap Mamah Pak Andre.

Aku hanya bisa mengangguk. Aku binggung harus jawab apa. Aku menatap wajah Pak Andre yang duduk di depanku. Aku ingin dia saja yang katakan pada ibunya, aku takut salah bicara, nanti yang ada dia marah-marah.

"Jadi siapa namamu sayang?" Tanya Mamah Pak Andre.

"Dinda, Ta-tante." Rasanya aku benar-benar gugup, jelas sekali aku tidak kenal dengan Tante ini dan juga anaknya. Tapi anaknya sudah menyuruhku menjadi pacar pura-puranya.

"Kamu jangan gugup gitu, santai saja. Tante namanya Bella." Dia mengusap punggungku, kenapa dia terlihat begitu baik. Padahal kita baru saja bertemu.

"Iya, Tante." Kami pun meneruskan makan sampai selesai.

"Tante..." Ucap seorang wanita yang sejak tadi makan di samping Pak Andre, ngomong-ngomong dia siapa?

"Ya Sell, kenapa?"

Dia berdiri dan menghampiri Tante Bella. "Kita bisa ngobrol sebentar Tante, tapi berdua saja." Dia berbicara dengan pelan, tapi aku bisa mendengarnya. Sepertinya ada hal yang begitu rahasia dengan apa yang akan dia katakan. Tapi itu bukan urusanku juga.

Tante Bella bangun dan menaiki tangga bersama wanita itu, sekarang tinggal aku dan Pak Andre berdua. Dia juga sudah selesai makan dan memainkan ponselnya.

"Pak... Maaf, sekarang apa yang harus aku lakukan lagi?" Tanyanya ku.

"Tidak ada." Dia menggelengkan kepalanya, tanpa melihat kearah ku.

Aku bangun dan membereskan piring dan menumpuknya menjadi satu. "Apa yang kau lakukan?"

Pak Andre terlihat begitu kaget, memang dia tidak melihat aku sedang membereskan piring?

"Itu kerjaan pembantu, kau tidak boleh melakukannya," dia bangun dan menarik lenganku menuju ruang tamu.

Seorang wanita paruh baya berjalan ke meja makan, dia membereskan piring-piring yang sudah aku tumpuk tadi, mungkin dia pembantu di rumah Tante Bella.

"Duduklah." Pak Andre menyuruhku duduk di sofa, tepat di sampingnya.

Dia masih menatap layar ponselnya dan senyum-senyum sendiri, aku binggung harus melakukan apa lagi. Masa aku harus diam saja begini? Rasanya bosan.

Tiba-tiba suara deringan dari ponselku, aku menatap pada layar ponsel yang bertuliskan nama Kak Yuda. Kekasihku yang menelepon, rasanya senang sekali.

"Pak Andre boleh saya angkat telepon sebentar?" Tanyaku.

"Ya." Sahutnya, aku segera mengangkat telepon.


Yuda berjalan masuk menuju cafe, cafe yang sama dengan yang Dinda beritahu kalau dia berniat ingin melamar kerja di situ. Niat Yuda juga ingin makan siang dan sekalian bertemu dengan kekasihnya itu.

Dia langsung duduk dan memanggil pelayan cafe. "Silahkan Mas, mau pesan apa?" Tanya sang pelayan wanita seraya menyodorkan buku menu.

Yuda melihat-lihat daftar menu. "Saya pesan chicken steak satu sama es lemon tea satu, Mbak." Pelayan itu mengangguk dan mencatat pesanan.

"Silahkan tunggu sebentar, Mas." Ucap sang pelayan seraya berjalan menuju dapur.

Mata Yuda berkeliling di setiap sudut ruangan cafe, banyak pengunjung yang datang, terlihat begitu sangat ramai. Juga banyak pelayan yang lewat dan membawa nampan berisi pesanan. Tapi dia tidak melihat sosok Dinda di matanya.

'Di mana Dinda? Kenapa tidak kelihatan?' batin Yuda.

Karena merasa penasaran, akhirnya Yuda menelepon Dinda. Dia mengambil ponselnya di dalam saku celana.

"Halo Din, kamu dimana? Aku ada di Paronama Cafe, apa kau sudah makan? Bisa kita makan siang bareng?" Ajak Yuda.

"Maaf Kak, sepertinya nggak bisa. Aku nggak di terima kerja juga di sana." Jawab Dinda.

"Lho kenapa? Terus kamu sekarang ada di mana? Di kost? Nanti aku kesana ya?"

"Aku lagi kerja Kak, sekarang aku jadi Asisten...."

Tut... Tut... Tut, panggilan teleponnya tiba-tiba saja terputus.

"Silahkan di nikmati." Ucap pelayan cafe yang baru datang seraya menaruh pesanannya di atas meja.

Yuda menaruh ponselnya di atas meja, dan mengangguk. "Kak Yuda." Ucap sang pelayan.

Yuda mengangkat sedikit kepalanya dan melihat kearah sang pelayan. "Ririn." Ternyata dia temannya Dinda.

"Aku kira siapa? Kakak cari Dinda kan?" Ucap Ririn, dia sedang memeluk nampan di dadanya.

"Iya Rin... Aku kira Dinda di terima kerja, tapi dia kerja jadi asisten katanya. Kau tahu tidak?" Tanya Yuda.

"Iya Kak, kasihan dia tidak di terima. Tapi Pak manager menawarkan Dinda jadi pembantu di rumah bosnya."

"Pembantu?" Mata Yuda terbelalak. "Kasihan sekali Dinda." Ujarnya dengan wajah sendu.

Rupanya Ririn salah paham dengan kata asisten, Dinda juga sama halnya yang mengira menjadi asisten rumah tangga. Padahal asisten pribadi.


Padahal aku belum selesai bicara, lagi-lagi dia merebut ponselku dan mematikan panggilan. Seenaknya saja, aku kira enak jadi asisten pribadi CEO. Ternyata tidak. Tapi tidak ada pilihan, hanya ini satu-satunya, aku juga tidak mungkin hidup di kota orang tanpa kerja. Nanti aku makan apa? Aku juga tidak punya siapa-siapa di sini.

"Dinda..." Panggil Tante Bella sambil menuruni anak tangga bersama wanita tadi.

Dia berjalan menghampiri ku yang sedang duduk di sofa bersama Pak Andre. "Maaf ya, Tante ninggalin kamu lama." Ucapnya dengan hangat, aku merasa dia benar-benar sosok ibu yang baik.

"Iya tidak apa-apa Tante." Aku tersenyum padanya.

"Tante aku pulang ya." Ucap wanita itu pamit dan mencium pipi kanan dan kiri Tante Bella.

"Andre aku pulang ya." Dia juga berpamitan dengan Pak Andre, sepertinya mereka memang saling kenal.

"Pulanglah sana." Sahutnya dengan ketus, aku kira Pak Andre hanya bersikap dingin padaku. Ternyata pada wanita lain juga begitu, apa mungkin sikap dia memang begitu.

Tante Bella duduk di sebelah ku. "Dinda... Kamu pacaran dengan Andre sudah berapa lama? Baru kan? Tante juga baru tahu Andre punya pacar wanita."

Apa maksudnya? Pacar wanita? Apa memang benar Pak Andre ini gay, kok aku jadi merasa geli.

"Apa sih Mamah!" Pak Andre menyahutinya dengan kesal. "Aku memang baru berpacaran dengan Dinda, baru hari ini malah."

"Kalian kenal dimana?" Tante Bella bertanya kearah ku, aku sendiri duduk di tengah. Antara dia dan anaknya.

"Kita kenal di...." Dimana? Aku harus jawab apa? Aku memegangi kedua telapak tanganku yang begitu basah.

"Di kantorku, dia tadinya melamar kerja dan bertemu denganku." Sahut Pak Andre, jantungku benar-benar terasa plong. Baru kali ini aku berbohong pada seseorang, maafkan aku Tante Bella. Aku melakukan ini karena terpaksa.

"Melamar kerja jadi apa?"

"Jadi OB, tapi aku tolak karena memang tidak ada lowongan." Tutur Pak Andre meneruskan. Aku melihat kearahnya.

"Lalu?"

"La-lalu." Lidah Pak Andre terasa terlipat, dia mungkin sedang memikirkan alasan kenapa kita berpacaran.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya