Bab 7

"Lalu apa Ndre? Kenapa kamu bisa langsung berpacaran dengannya?" Pak Andre masih terdiam, keringat di dahinya mengalir di wajahnya. Kalau di lihat-lihat dia ini benar-benar tampan, dari wajah sampai kaki pun dia ini laki banget. Tapi kenapa dia belok ya?

"Katakan saja. Tidak usah malu-malu." Tante Bella seperti tengah menggoda anaknya, tapi anaknya itu wajahnya terlihat kebinggungan. Wajar saja, Tante Bella tidak begitu memperhatikan. Karena terhalang oleh badanku yang berada di sampingnya, pada hal aku ini langsing.

"Karena di-dia can-cantik Mah." Sahut Pak Andre dengan gugup.

Apa-apaan dia ini. Cuma bilang cantik saja sampai gugup segala, di salon tadi bukannya dia bilang aku cantik ya? Tapi tidak seperti itu cara bicaranya, wajahnya sekarang terlihat sangat tertekan.

"Oh... Iya memang Dinda sangat cantik." Ucap Tante Bella memuji, aku membalasnya dengan senyuman manis.

"Lalu sekarang Dinda kerja sebagai apa di kantor mu? Masa kamu tidak kasih dia pekerjaan. Nggak kasihan memangnya?"

"Dia akan jadi sekretaris ku Mah." Sahut Pak Andre.

Sekretaris? Jelas-jelas aku jadi asisten pribadinya.

Mata Tante Bella berbinar. "Bagus dong. Lalu Heri kau pecat kan? Mamah tidak suka padanya!"

Heri yang di maksud itu pria yang seperti kekasihnya Pak Andre itu kan?

"Tidaklah Mah, aku tidak mungkin memecatnya. Kerjaan Heri bagus, dia juga sudah lama di kantorku."

"Kalau kamu sudah sama Dinda, berhenti menghabiskan waktu mu dengan si Heri itu Ndre!" Ucap Tante Bella dengan nada tinggi.

Pak Andre bangun dari duduknya, "apa sih Mah! Andre sama dia cuma teman dekat, memang tidak boleh!" Pekik Pak Andre.

Tante Bella ikut bangun dan menghampiri anaknya, "teman dekat? Mamah tahu kok hubungan kamu dan pria tidak normal itu. Sekarang juga Mamah tidak mau tahu, kau harus jaga jarak dengannya!" Pekik Tante Bella.

"Mamah tidak boleh melarang hidupku!" Pak Andre lagi-lagi berteriak. Kedua telingaku seakan berdengung sekarang.

"Kamu kan sudah sama Dinda! Jadi serius lah menjalani hubunganmu dengannya, Mamah tidak mau dengar kalian putus!"

Deg....

Apa katanya tidak mau putus? Kita saja hanya pura-pura pacaran Tante.

Pak Andre menarik lenganku untuk bangun. "Dinda, aku akan mengantarmu pulang." Dia bahkan tidak menjawab ucapan ibunya.

"Tante, aku pulang ya," aku merasa tak enak pada Tante Bella. Dia wanita yang sangat baik, aku mencium punggung tangannya.

"Iya... Kau hati-hati di jalan." Dia mengusap ujung kepalaku, aku tersenyum dengan pipi yang merona.

Pak Andre bahkan sudah berjalan keluar rumah, aku langsung menyusulnya keluar dari rumah orang tuanya dan menaiki mobil mewah Pak Andre.

Aku duduk di sampingnya, wajahnya terlihat begitu emosi, apa mungkin omongan ibunya menyakiti hatinya? Aku pun tidak mau bertanya, aku takut dia akan marah padaku.

Lama kelamaan dia menyetir mobilnya sangat kencang. Benar-benar kencang, aku jadi merasa takut.

"Pak... Tolong jangan ngebut-ngebut, sa-saya takut Pak."

Aku berbicara selembut, karena takut dia marah. Tapi dia tidak menghiraukan ku.

Dia malah menarik gasnya dengan full, dia mengendarai mobil secara ugal-ugalan. Menyerobot beberapa mobil di persimpangan, dan selip sana, selip sini. Jantungku benar-benar ingin copot rasanya.

Apa dia mau mengajakku mati bersama? Ah tidak-tidak. Aku tidak mau, bahkan aku belum menikah. Aku belum pernah merasakan indahnya malam pertama. Aku tidak mau mati konyol bersama pria gila ini, ya Allah lindungilah aku.

Ckittt...... Dia mendadak mengerem mobilnya, hingga tubuhku ikut berayun.

Dugg....

"Aaww..." Aku menjerit kesakitan karena dahi ku terpentok laci mobil begitu keras.

Aku meraba dahi ku, kulitnya terasa begitu perih. Dan aku melihat darah di ujung jari tanganku, tidak banyak sih. Tapi tetap saja perih. Tiba-tiba Pak Andre menggeser kan kepalaku untuk menoleh kearahnya.

Matanya membulat. "Maafkan aku Din, kau tunggu sebentar." Pak Andre langsung keluar dari mobil, entah dia mau kemana.

Tak lama dia masuk lagi dengan membawa kotak P3K dan dua botol air dingin. "Apa mau aku bawa ke dokter?" Tanyanya, aku menggelengkan kepala.

Dia membuka kotak itu dan meneteskan alcohol pada kapas, dan tangannya menuju dahi ku. "Eeuhhh..." Aku meringis kesakitan, ini benar-benar terasa perih.

"Tahan sebentar. Tidak perlu cengeng!" Apa-apaan dia, jelas ini gara-gara dia. Masih saja bersikap galak.

Dia juga mengolesi obat merah, dan perlahan menempelkan perban kecil pada dahiku.

"Kamu tidak ada niat untuk berhenti kan Din?" Tanyanya.

"Berhenti apa Pak?" Aku binggung dengan pertanyaannya.

"Berhenti bekerja denganku."

Belum sehari saja aku sudah jadi seperti ini, tapi kalau tidak kerja dengannya aku kerja di mana?

"Pokoknya kau tidak boleh berhenti!" Sekarang dia malah memaksa ku, aneh sekali. Bukannya tadi dia bertanya?

"Aku akan memberikanmu gajih yang besar, kau tenang saja, Din. Asalkan kau terus jadi asisten ku!" Pekiknya, harusnya dia bernada memelas dan memohon kan? Tapi kenapa dia teriak-teriak.

Bikin telingaku sakit saja, nanti malam aku harus beli obat tetes telinga kayaknya.

"Minum ini." Dia mengulurkan botol air mineral ke arahku.

Aku langsung mengambilnya, "terima kasih Pak." Aku membuka dan menenggaknya sampai habis.

Pak Andre kembali menyetir, namun kali ini dia sangat santai. Tapi sekarang dia mau mengajakku kemana lagi? Aku sangat binggung dan malas bertanya padanya, mataku tiba-tiba saja mengantuk.

"Hoammm...." Aku menguap, tapi dengan cepat aku menutup mulutku.

Mataku ini benar-benar terasa berat. Aku membenarkan lagi posisi punggungku yang menyender kursi mobil Pak Andre, kursi mobilnya begitu nyaman sekali. Wajar sih namanya mobil mahal. Kalau aku tidur sebentar tidak masalah kan? Perlahan aku memejamkan kedua mataku, enak sekali rasanya.


Leo tengah sibuk mengerjakan tugas di kantornya, tapi tiba-tiba dia merasa rindu pada keponakan satu-satunya itu. Dia bahkan telepon dengan Dinda hanya sebentar, Dinda juga belum meneruskan ucapnya namun sambungan teleponnya terputus. Dan sekarang nomor Dinda tidak aktif.

Rasa cemas di hati Leo seakan datang, dia baru tahu Dinda pergi dari rumah karena berangkat kerja. Terakhir kali Dinda bilang belum dapat kerjaan, dia jadi mulai curiga pada istrinya. Setiap kali dia bertanya pada Lidya, dia tidak pernah menjawabnya. Berkesan tidak peduli.

Setelah jam pulang kerja dia langsung pulang ke rumah. Leo melangkah ke depan pintu rumahnya yang terbuka lebar. Dia melihat rumahnya begitu berantakan, ada banyak sampah bekas cemilan dan meja makan dengan piring bekas. Mungkin itu bekas makan Mira dan Lidya.

Leo melihat ke bawah, tepatnya di lantai keramik rumahnya yang begitu kotor seperti seminggu tidak di sapu. Padahal selama Dinda tinggal bersamanya, rumah Leo tidak pernah seberantakan ini.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya