Bab 8
"Hahahaha...." Terdengar suara tertawa dari sudut ruang tamu, siapa lagi kalau bukan Lidya dan Mira.
Keduanya tengah berbaring santai di sofa sambil nonton drama Korea di layar laptop, kedua kaki mereka berjajar di atas meja.
Sudah Leo merasa lelah habis pulang kerja! Sekarang melihat pemandangan seperti ini. Rasanya ubun-ubun di atas kepalanya sudah terasa begitu panas.
"Lidya." Panggilnya pada sang istri, namun suara Leo terdengar masih lembut walau dengan nada agak tinggi.
Lidya sadar akan panggilannya, dia bangun dan menghampiri suaminya, "kamu sudah pulang Mas?"
"Kita ke kamar. Aku mau ngobrol berdua denganmu." Ucap Leo dengan ketus dan berjalan cepat menuju kamarnya.
Dia menghela nafas panjang dan duduk di atas kasur.
"Ada apa sih, Mas?" Tanya Lidya seraya duduk di atas kasur di samping suaminya.
"Jujur padaku, apa kau mengusir Dinda?"
"Mengusir? Siapa yang bilang? Aku ti-tidak mengusirnya," dia terlihat begitu gugup.
"Aku tadi telepon Dinda, dia bilang sekarang ada di Jakarta. Kamu bahkan tidak bilang kalau dia pergi dari rumah ini."
"Memang aku tidak tahu, Mas."
Leo mengangkat bokongnya, "kau bohong!" Dia menarik tangan istrinya itu menuju kamar Dinda. Di bukanya lemari kayu, dan hampir semua baju Dinda tidak ada. Karena dia hanya punya beberapa stelan baju saja.
"Jelas ini semua tidak ada." Tunjuk nya kedalam lemari. Leo mencari koper di samping lemari, dan memang tidak ada juga. "Dinda tidak mungkin pergi dari rumah kalau kau tidak mengusirnya Lidyha!" Seru Leo dengan emosi.
Lidya perlahan mendekat dan mengusap bahu suaminya. "Sudahlah Mas, biarkan dia hidup mandiri. Dia juga tidak mungkin selamanya tinggal bersama kita."
"Apa maksudmu? Dinda akan terus tinggal denganku! Dia tidak punya siapa-siapa selain aku Lidya. Kenapa kau tidak pernah suka padanya? Apa salah anak itu?" Leo menatap tajam pada istrinya.
"Aku tidak pernah suka padanya memang!" Pekik Lidya, dia menghadap kearah suaminya.
"Kau tahu karena apa Mas? Karena kau selalu menyayangi dia." Lidya menunjuk-nunjuk dada suaminya.
"Kamu bahkan lebih menyayangi Dinda di banding Mira anak kita sendiri!" Seru Lidya meneruskan.
"Apa maksudmu? Aku tidak pernah membandingkan Dinda dengan Mira. Aku menyayangi keduanya," Leo mencoba bersikap dengan tenang.
"Keduanya apa? Jelas seminggu yang lalu kau belikan Dinda ponsel baru. Giliran Mira aja nggak kamu kasih." Lidya memalingkan wajahnya.
Memang benar, seminggu yang lalu Leo membelikan ponsel baru untuk Dinda karena ponsel Dinda rusak juga gara-gara istrinya sendiri yang membanting benda itu sampai hancur. Padahal hanya perkara Dinda yang sering teleponan dengan pacarnya malam-malam.
"Lidya kau sudah tidak waras!" Leo memegang kedua lengan istrinya.
"Ponsel Dinda kan rusak gara-gara kamu!" Leo menunjuk-nunjuk wajah istrinya yang membangkang itu. "Kalau soal Mira, ponsel dia kan tidak bermasalah. Untuk apa beli yang baru?"
"Sudahlah." Leo menghela nafas. "Percuma bicara denganmu." Ucap Leo mengerakkan tangannya.
Dia lebih memilih tidak meneruskan perdebatan diantara dia dan istrinya. Lagipula istrinya itu tidak akan pernah mengerti dan menuruti semua yang dia katakan. Leo berlalu pergi masuk ke dalam kamarnya.
Perlahan Dinda membuka kedua mata, ekor matanya melihat kesemua sudut ruangan. Kamar yang luas dan indah, Dinda bangun dan menyenderkan punggungnya di tepi ranjang. Dia duduk di sebuah kasur yang dua kali lipat lebih besar di banding kasur yang pernah iya tiduri, begitu empuk dan terasa nyaman.
Dinda menepuk-nepuk kedua pipinya dengan tangan, dia ingin menyadarkan bahwa dia tidak sedang bermimpi.
"Aaww..." Rupanya dia menepuknya pipinya terlalu keras.
"Aku tidak bermimpi. Lalu aku di mana?" Matanya masih berkeliling melihat ruangan itu, merasa tak menyangka ada di ruangan sebesar ini.
"Terakhir kali tidur aku kan?" Dia mulai mencerna otak dan mengumpulkan nyawa yang sempat hilang pada bangun tidur tadi.
"Terakhir aku sedang naik mobil bersama Pak Andre kan?" Tanyanya pada diri sendiri.
Mendadak bola matanya membulat sempurna, Dia langsung memeriksa tubuhnya sendiri, sebagai wanita yang masih di segel dia harus lebih hati-hati dalam menjaga diri. Dia memang tahu bosnya belok, walau kemungkinan kecil tetap saja Andre bisa melakukan hal senonoh padanya kan? Karena sejatinya Andre adalah seorang pria.
Setelah cukup percaya kalau tidak ada yang janggal dari tubuhnya, Dinda bangun dan berjalan menuju pintu, di pegangnya gagang pintu. Dia mengayunkan ke bawah, pintu kamar tidak di kunci sama sekali. Dinda keluar dan mencari penghuni rumah.
Dia menuruni anak tangga, langkahnya terhenti kala diamelihat dua orang pria yang sedang makan di meja makan. Tentu Dinda masih mengingat wajah kedua pria itu, dia adalah Andre dan Heri.
"Kamu sudah bangun Din." Ucap Andre di meja makan, dia rupanya melihat Dinda yang berdiri mematung di tengah anak tangga. Dinda meneruskan langkah kakinya dan menghampiri Andre, Heri melihat sekilas padanya. Raut wajah yang sama sekali tak suka tergambar jelas, Dinda jadi merasa tak enak hati padanya.
"Gimana? Kepalamu masih sakit?" Tanya Andre.
"Tidak, Pak. Maaf saya ketiduran tadi."
Bola mata Dinda mencari-cari jam yang menempel di dinding rumah Andre. Jarum jam itu menunjukkan pukul 7, tidak mungkin 7 pagi kan? Dia yakin jam 7 malam karena lampu dan suasanya gelap. Tapi tetap saja dia tidur terlalu lama dan lupa waktu.
"Pak saya pamit pulang ya." Ucap Dinda sedikit membungkuk.
"Ini ambillah." Ucap Andre menggeser kan kartu ATM dan handphone bersebelahan di atas meja makan.
Dinda sadar itu ponsel miliknya, "oh iya Pak terima kasih." Dia hanya mengambil ponsel di atas meja.
"Itu kartu ATM buat mu, sudah aku isi gajihmu di bulan ini." Ucap Andre.
Tanpa pikir panjang Dinda langsung mengambilnya, dia juga butuh uangnya kan? Baru kerja sehari sudah di kasih gajih sebulan. Tentunya dia merasa senang. Sedikit tersenyum sambil memandangi kartu itu.
"Terima kasih banyak Pak. Kalau gitu saya permisi." Dinda berbalik badan dan mulai melangkah.
"Kamu tidak mau makan dulu?" Langkah kaki Dinda terhenti karena Andre menararinya makan
"Ndre sudahlah, biarkan dia pulang. Kenapa kau menyuruh Dinda untuk makan bareng dengan kita."
Heri menyahut dengan tangan kiri yang memegang punggung tangan Andre, dia merasa benar-benar cemburu pada Dinda.
Dinda berbalik dan menghadap ke arahnya, dia juga sadar kalau Heri tidak suka padanya, mungkin Dinda akan menganggu makan malam mereka. Lagian Dinda juga terasa mual jika terus melihat pemandangan tak sehat itu.
"Iya Pak, tidak usah. Saya ingin langsung pulang saja." Jawab Dinda.
