Bab 9
"Besok jam 6 pagi, kau harus sudah ada di sini, di rumah ini! Jangan langsung ke kantor. Dan pakailah pakaian yang seperti kau pakai sekarang, dan jangan lupa berdandan. Kamu akan di antar pulang oleh sopirku di depan." Tutur Andre, Dinda hanya mengangguk dan berjalan keluar rumah.
Heri menggenggam tangan Andre dengan lembut. "Ndre kamu berlebihan nggak sih ngelakuin itu pada Dinda, aku ngerasa cemburu tahu." Ucap Heri dengan nada manja.
"Dia kan jadi asisten pribadi ku sekarang Her, dia juga aku jadikan pacar pura-pura di depan orang tua dan orang-orang nanti."
Mata Heri terbelalak. "Pacar pura-pura? Kau yakin Ndre? Yang benar saja. Lalu hubungan kita bagaimana?"
Andre melepaskan tangan Heri dan bangun menghela nafas. "Aku juga binggung Her, cemoohan yang aku dengar dari orang-orang membuat telinga dan hatiku terasa sakit."
Heri bangun dan bergelayut di bahu kekasihnya itu, "bukannya kamu dulu bilang jangan dengarkan omongan orang lain? Kenapa sekarang kamu berubah? Apa kamu suka sama Dinda?" Heri seperti tengah menuduh Andre mempunyai perasaan tertentu pada Dinda.
Andre tersenyum kecil. "Tidaklah. Mana mungkin aku suka padanya," elak Andre.
"Aku mau tidur Her. Ngantuk." Dia menurunkan lengan Heri di bahunya dan berjalan menaiki anak tangga.
Heri membuntut di belakangnya, malahan dia sudah berada di dalam kamar Andre dan duduk di atas kasur. Mereka berdua memang sering tidur bersama, tapi mereka berdua tidak pernah berhubungan intim. Walau pikiran Andre sudah melenceng, tapi dia juga masih sadar kalau hal itu tidak boleh di lakukan pada sesama jenis. Andre hanya merasa nyaman bila di dekat Heri, tapi akhir-akhir ini dia merasa terganggu dengan gunjingan orang-orang kepadanya.
"Kau tidur di kamar tamu saja. Aku lagi ingin tidur sendiri." Usir Andre yang masih berdiri.
"Lho... Kalau gitu buat apa aku menginap Ndre, kamu ini aneh sekali." Heri tidak menghiraukan ucapan Andre, dia merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Andre berjalan keluar dari kamarnya, dia lebih memilih mengalah.
"Ndre kok kamu yang keluar?" Tanya Heri.
"Iya, kau tidur saja di situ. Biar aku yang tidur di kamar tamu." Sahutnya seraya menutup pintu.
(POV Dinda)
Aku berjalan keluar rumah Pak Andre dan di sambut hangat oleh pria dewasa dengan kumis tipis yang berdiri tepat di depan mobil. Siapa dia? Apa dia sopir yang di maksud pak Andre tadi. Di lihat dari mobilnya saja, itu bukan mobil Pak Andre. Tapi orang kaya seperti dia kan pasti punya mobil lebih dari satu.
"Selamat malam Nona Dinda. Silahkan masuk, biar saya antar pulang?" Ucap pria itu membuka pintu belakang mobil. Tapi kok dia sudah tahu namaku?
Aku masih berdiri di depannya, "Bapak siapa ya?" Tanyanya ku.
"Saya sopir Pak Andre Nona, tapi mulai sekarang saya akan mengantar jemput Nona." Aku mengangguk dan masuk ke dalam mobil.
"Baik, terima kasih Pak." Ucapku, pria itu tersenyum dan menutup pintu. Dia langsung duduk juga di depan dan menyetir mobil.
"Rumah Nona di mana?"
"Di jalan...."
Aku menghentikan ucapan ku, aku baru ingat tadi Pak Andre menyuruh aku memakai pakaian dan make up seperti ini kan? Aku melihat pada diriku sendiri. Aku sadar kalau aku bahkan tidak punya dress, mungkin dress yang sekarang akan jadi yang pertama aku miliki, kalau make up aku punya. Walau tak sekomplit seperti yang aku pakai sekarang, malam ini aku harus beli pakaian seperti ini. Biar besok langsung di pakai.
"Pak maaf, bisa tolong antarkan saya ke toko baju dulu tidak?" Pintaku, agak aneh rasanya. Aku merasa sudah punya sopir sekarang. Padahal aku sering berkata seperti itu paling sama abang-abang sopir di angkot.
"Baik, Nona." Pria itu mengangguk.
Aku masih memegangi ponsel dan kartu ATM. Ku pencet tombol yang berada di samping ponsel, tapi layar ponselku tidak menyala. Apa mungkin baterai nya habis? Aku memperhatikan kartu ATM, tapi ngomong-ngomong aku bahkan tidak tahu cara mengunakannya, dan kartu ATM juga pakai password kan? Pak Andre juga tidak memberi tahuku apa password nya. Bagaimana aku membeli pakaian kalau begini urusannya? Rasanya aku begitu kesal.
"Pak, bisa berhenti sebentar tidak?" Tanyaku pada sang sopir.
Pria itu menepikan mobilnya. "Pak, apa Bapak bisa tolong telepon Pak Andre? Ponsel saya baterainya habis." Pintaku, kalaupun nyala juga percuma. Aku kan tidak punya nomornya.
"Baik Nona." Pria itu langsung mengambil ponselnya di saku celana, dan menempelkannya pada telinga kiri. Tapi sepertinya tidak ada jawaban dari Pak Ande.
"Tidak di angkat Nona." Sahutnya.
Sudah ku duga. Apa mungkin Pak Andre sudah tidur? Tapi ini masih jam 7 malam, belum terlalu larut. Apa Pak Andre sedang berpacaran dengan.... Aih aku membayangkannya saja tidak sanggup, bulu kudukku seakan terangkat semua. Merinding rasanya.
"Ya sudah Pak, Bapak antarkan saya pulang saja. Kossan saja di jalan Xxx."
"Baik Nona."
Tiba-tiba aku teringat pada Om Leo, rasanya rindu, dia sedang apa ya sekarang? Tadi telepon hanya sebentar. Nanti pulang kerja aku harus segera mengisi daya baterai. Biar besok kalau ada waktu senggang aku bisa meneleponnya, tapi pakaian buat aku pakai besok bagaimana? Ah sudahlah. Pakai saja yang ada.
Pak sopir itu memberhentikan mobilnya tepat di depan kossan ku, aku langsung turun membuka pintu. "Terima kasih Pak, sudah mengantar saya." Ucapku dengan sopan.
Dia mengambil sesuatu di saku kemejanya, dan mengulurkannya padaku. Selembar kertas berukuran segiempat.
"Ini kartu nama saya Nona, bila Anda butuh sesuatu. Bisa telepon saya." Aku mengambilnya, pria ini baik juga orangnya.
"Iya Pak. Terima kasih." Dia mengangguk dan membelokkan mobilnya lalu pergi meninggalkan ku.
Aku membaca kartu nama itu yang bertuliskan nama Rudi Afianto dan nomor telepon di bawahnya. Aku berjalan menuju kossan ku, tapi aku mendengar bising orang yang sedang tertawa, dari suaranya aku kenal itu Ririn. Tapi kok ada suara laki-laki juga di sana? Ririn sedang sama siapa?
"Benar kan Rin, menurutku itu lucu. Hahaha..."
Deg.....
Jantung ku terasa berhenti sejenak bersama langkah kakiku, suara itu seperti suara Kak Yuda. Apa benar dia? Rasanya tidak mungkin. Ngapain Kak Yuda ada di sini? Apa dia mau menemui ku. Tapi kenapa dia bisa tertawa lepas bersama Ririn. Padahal mereka baru saja kenal. Aku masih ingat kemarin aku yang mengenalkan mereka. Pintu kossan memang terbuka lebar. Tapi aku belum melihatnya ke dalam.
