Bab 1

"Carley, bila ada yang mencari aku minta dia datang dua jam lagi. Aku ada urusan sedikit dan mungkin akan lama atau minta dia datang lain waktu lagi," ucap Daren sembari melangkah tanpa berhenti sedikit pun.

"Siap, Bos." Dengan cepat Carley menjawab Daren.

"Eh, Bos." Carley mengejar langkah Daren dengan membawa berkas di tangannya.

"Apa?" Daren berhenti dengan mata melotot ke arah asistennya.

Carley nyengir dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali.

"Ini!" Carley menyodorkan berkas dan alat tulis pada Daren setelah langkahnya tepat di depan Daren.

"Apa ini?" Daren memicingkan matanya dengan bola mata naik turun pada berkas dan berganti menatap Carley.

"Tanda tangan, Bos," ucap Carley dengan senyum tipis dan gaya bodohnya.

"Untuk apa? Jelaskan dulu padaku! Kamu pikir aku akan tanda tangan begitu saja tanpa mengetahui isinya!"

Daren memang senang membuat asistennya repot. Bukan berarti Daren merupakan bos yang arogan dan tinggal terima jadi saja. Dia hanya senang melihat Carley nyengir dan garuk-garuk kepala saja. Dia senang melihat Carley dengan sikap bodoh dan polosnya.

Sebenarnya Carley bukan orang yang bodoh. Dia adalah orang yang cerdas, makanya Daren memilih dia menjadi asisten pribadinya. Carley juga orang yang jujur dan bertanggung jawab. Dia tidak pernah membuat Daren kecewa sungguhan.

Dengan sabar Carley membacakan dan menjelaskan isi berkas yang harus ditandatangani oleh Daren. Pria itu menjelaskan secara detail hampir seluruh isi dokumen.

"Sini!" Dengan cepat Daren mengambil berkas dari tangan Carley dan langsung membubuhkan tanda tangan. "Nih!" ucapnya lagi setelah selesai membubuhkan tanda tangan.

Carley yang masih bengong menerima berkas itu lagi dengan pergerakan tangan sangat lambat. Matanya menatap heran dan geram pada bosnya. Melihat kegeraman Carley, Daren melangkah pergi begitu saja tanpa permisi.

"Dasar, bos gila!" umpat Carley kesal dengan sikap Daren.

"Aku masih mendengar apa yang kamu katakan, Carley! Tunggu sampai aku pulang dan memberimu hukuman!" teriak Daren tanpa membalik tubuhnya.

"Ampun, Bos!" Carley juga berteriak menjawab ancaman Daren.

Dengan langkah tegas dan penuh wibawa, Daren terlihat sangat gagah dan tampan. Pria itu langsung masuk ke dalam mobilnya dan langsung menginjak pedal gas dengan sangat dalam sehingga mobil yang ditunggangi melaju dengan sangat cepat meninggalkan gedung pencakar langit miliknya.

Tujuan utama pria itu adalah toko obat yang ada di sebelah supermarket. Toko obat yang sudah menjadi langganannya.

"Tuan Daren," sapa seorang wanita dengan senyum tipis ketika melihat Daren memasuki tokonya.

"Hay, Cintia," sapanya ramah membalas sapaan wanita itu.

Daren mendekati wanita itu dan menatap wajahnya.

"Ada yang Anda butuhkan, Tuan?" tanya wanita itu terlihat akrab.

"Biasa," ucapnya mengedipkan sebelah matanya.

"Oke, aku tau."

Tanpa menunggu dan bertanya kembali, wanita itu sudah tau apa yang Daren butuhkan. Cintai memutar tubuhnya dan meninggalkan Daren untuk mengambil apa yang Daren butuhkan. Tidak lama wanita itu sudah kembali lagi dengan membawa benda yang Daren butuhkan.

"Coba ini!" ucap wanita itu menyodorkan benda yang Daren minta.

"Berbeda?" ucap Daren dengan mengamati kemasan yang dia minta. Kemasan itu berbeda dengan kemasan yang biasa dia beli dan pakai.

"Ya, ini keluaran baru, Tuan." Cintia sedikit lirih saat mengatakan hal itu.

"Apa kelebihannya dari yang biasa aku pakai? Apa ini lebih istimewa?" Daren penasaran dengan khasiat dan kelebihan benda itu.

"Coba saja! Aku tidak akan mengatakannya. Sebelum Anda mencobanya sendiri, Anda tidak akan percaya." Lagi-lagi Cintia sedikit menekan suaranya dengan mata beredar ke sekitar seolah pembicaraan mereka ada yang menguping.

"Apa kamu pernah mencobanya?" Mata Daren mulai berkedip menggodanya.

"Hey! Aku tidak butuh barang ini! Aku bisa memproduksinya sendiri. Cukup dengan sedikit sentuhan dan permainan yang pas, aku pasti akan menghasilkannya." Cintia tampak kesal dengan mimik wajah Daren padanya.

"Aku percaya padamu. Karena sekali colek saja napsumu sudah melambung tinggi." Lagi-lagi Daren menggoda Cintia dengan kejahilannya yang tiada henti.

Pria itu memang suka menggoda orang-orang di sekitarnya yang dia anggap sudah seperti keluarganya sendiri. Mereka berdua bercakap-cakap sesaat.

Daren meminta Cintia untuk menemaninya makan siang hari itu karena Daren sendiri tidak mempunyai teman untuk makan. Dengan senang hati Cintia akan melakukannya selama itu gratis dan Daren membawanya belanja untuk membelikan keperluan dirinya.

"Dasar wanita matre!" canda Daren pada Cintia.

"Kalau tidak mau ya sudah, aku tidak akan menemanimu makan," ucap Cintia dengan membuang mukanya dari Daren.

"Oke. Aku akan membelikan apa pun yang akan kamu beli, tapi ingat! Tidak lebih dari satu juta saja."

"Hey! Dapat apa uang satu juta doang? Satu pakaian saja tidak," ucap Cintia melebihkan harga.

"Mau tidak? Kalau tidak mau ya sudah, biar aku makan sendiri saja. Lumayan uangnya bisa untuk beli barang ini lagi," ucap Daren menggoyangkan benda yang ada di tangannya.

"Ish, harga benda itu hanya kecil bagimu. Kamu bisa membeli pabriknya sekalian," ucap Cintia sembari berjalan menyetarakan langkah kakinya dengan langkah Daren.

Memang benar, Daren tidak hanya bisa membeli satu barang itu saja. Kekayaan yang pria itu miliki bisa saja untuk mendirikan pabrik sendiri.

Siang ini Daren tidak makan sendiri lagi. Biasanya dia akan mengajak Carley untuk makan siang, tapi kali ini tidak dia lakukan karena Daren ingin membeli benda itu. Daren tidak mau Carley tau apa yang dia beli. Hanya dia dan Cintia yang tau.

"Daren, kenapa kamu tidak menikah saja?" tanya Cintia di sela giginya mengunyah makanan.

"Aku tidak bisa menduakan Amara."

"Tapi, Daren. Amara itu-"

"Jangan katakan apa-apa tentang Amara!" Daren membanting sendok dan garpu di atas piring dengan kasar.

Pria itu marah dan tidak suka ada yang membicarakan soal Amara.

Matanya menatap penuh api kemarahan dan kekecewaan pada Cintia.

"Maafkan aku, Daren," ucap Cintia membalas tatapan Daren dengan rasa bersalah, tapi merasa kasihan dan iba juga.

"Maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk membentak dan bicara keras padamu," ucap Daren merasa bersalah melihat wajah sedih Cintia.

Sikap dan suaranya mulai melunak lagi. Daren kembali mengambil sendok dan garpu. Dia kembali menikmati makanan yang ada di piringnya. Sedangkan Cintia, wanita itu masih belum mengalihkan matanya dari pria di hadapannya.

Cintia sama sekali tidak habis pikir dengan apa yang ada dalam pikiran Daren. Dia merasa apa yang terjadi dan dialami oleh Daren saat ini adalah hal yang tidak benar, tapi dia tidak akan bisa melarang atau melakukan apa-apa untuk meminta Daren meninggalkan dan melupakan Amara.

"Makanlah lagi dan jangan pernah mengatakan apapun tentang aku dan Amara! Aku dan Amara biar menjadi kisah kehidupanku yang tidak akan pernah aku ubah. Lagi pula aku sangat mencintainya dan dia juga mencintaiku. Cinta kami akan terus menyatukan sampai kapan pun."

Daren tau apa yang Cintia pikirkan tentang dirinya. Meski begitu, dia tidak ingin ada orang lain yang mencampuri kehidupannya. Termasuk Cintia. Meski mereka adalah teman dekat, tapi Daren tidak mengijinkan Cintia ikut campur urusan pribadinya terlebih hal yang berhubungan dengan Amara, wanita yang sangat dicintainya.

Bab Selanjutnya