Bab 11
Satu pasang kaki melangkah mondar-mandir ke sana ke sini. Kegelisahan menyeruak dalam wajahnya. Kecemasan sangat terlihat dari mimik wajahnya.
Carley.
Asisten pribadi Daren itu terlihat gelisah dan sangat gusar.
"Ya Tuhan, sebenarnya siapa yang mau menikah, kenapa aku yang cemas sih?" gerutunya sendirian.
Carley gelisah bukan karena tanpa alasan.
Asisten Daren itu gelisah karena menunggu Daren terlalu lama. Beberapa kali matanya yang sipit itu melirik arloji yang melingkar di tangannya.
Jarum jam miliknya telah menunjukkan angka sembilan. Itu artinya acara pernikahan Daren hampir akan dimulai. Sayangnya manusia yang akan melangsungkan pernikahan itu tidak juga muncul dan ke luar dari persembunyiannya.
Ada niat untuk mengetuk pintu kamar Daren, tapi niat itu diurungkannya. Carley tidak mau mengambil resiko.
Saat kakinya melangkah mendekati pintu kamar, terdengar dengan jelas di telinganya suara sepasang kekasih tengah memadu cinta.
"Sungguh memalukan! Kenapa juga manusia ini tidak memasang peredam suara di kamarnya? Dasar bos gila!" umpat Carley kesal.
Dia tau apa yang sedang Daren lakukan bersama wanita yang tidak jelas itu.
Amara.
Ya, bagi Carley, Amara adalah wanita yang tidak jelas.
Baginya wanita itu tidak ada, tapi tidak bagi Daren.
Bosnya itu sudah menjadi manusia yang paling aneh dan gila karena sosok Amara. Mungkin hanya ada sebagian orang yang berlaku seperti Daren. Eh, bukan sebagian orang, tapi satu banding sepuluh ribu. Bahkan bisa jadi di dunia ini hanya Daren saja yang anehnya minta ampun.
Carly memilih pergi menjauh dari kamar itu dan menjatuhkan diri di sofa besar milik Daren. Kepalanya terasa berdenyut sakit memikirkan tingkah laku bosnya yang aneh bin ajaib itu. Manusia nyeleneh seantero jagat raya.
Carley mijit pelipisnya mengurangi rasa sakit di kepala. Entah bagaimana nasib Cecil nantinya. Membayangkan apa yang dilakukan Daren dan Amara saja membuat perutnya mual.
Sementara di dalam sana, dua anak manusia mulai terkapar tak berdaya lagi. Semua tenaganya telah habis terkuras tanpa sisa. Keringat mereka sudah seperti lumpur lapindo yang tak henti menyembur.
Daren dan Amara terkulai lemah.
"Terima kasih, sayang," ucap Daren memeluk erat tubuh polos Amara.
"I love you, Daren," ucap Amara memberi kecupan lembut.
"I love you too, Amara."
Daren pun tak ketinggalan memberi satu kecupan mesra pada bibir Amara.
"Sekarang istirahatlah!"
Lagi-lagi hanya pelukan erat yang mereka lakukan. Mau bertempur lagi, mana mungkin. Tenaga mereka telah habis. Entah berapa ronde telah mereka lewati. Anehnya baik Daren maupun Amara sama sekali tidak merasa bahwa itu aneh.
Mungkin saja mereka telah kerasukan setan mesum. Mungkin juga memang mereka rajanya setan mesum itu. Sungguh gila. Dua manusia yang sama-sama gila. Terlebih Amara, wanita itu tidak akan pernah lelah melayani Daren.
"Carley."
Carley tersentak mendengar namanya dipanggil. Pria dengan mata sipit itu langsung terbangun dari lamunannya. Matanya langsung terbuka dengan maksimal. Meski membuka lebar, mata Carley tetap saja terlihat sipit.
"Apa kau sudah puas, Bos?" tanyanya kesal.
"Belum."
"Ha!" Carley membuka mulutnya lebar mendengar jawaban Daren.
"Tutup mulutmu, Carley! Bau jigongmu terlalu khas," canda Daren sambil berlalu.
Mendapat kata-kata mematikan dari Daren, otomatis pria mata sipit itu langsung menutup bibirnya rapat. Bukan rapat lagi, tapi berlebih rapatnya hingga mengerucut.
"Cepat, aku sudah telat!" ajak Daren terus berjalan ke luar.
"Ish, kenapa aku yang salah lagi? Bukannya dia yang membuat dirinya sendiri telat? Dasar bos gila!" gerutu Carley bertambah kesal.
"Jangan menggerutu, Carley! Telingaku masih sehat, jadi jangan salahkan aku bila aku menghukummu."
"Maaf, Bos." Carley dengan cepat mengejar langkah Daren.
Sementara di sebuah gedung dengan dekorasi mewah meriah, seorang wanita cantik menjadi pusat perhatian. Semua mata tertuju padanya. Semua bibir menyunggingkan cibiran dan perkataan yang kurang sedap di dengar.
Seharusnya ini adalah hari bahagianya. Dia akan menikah dengan cinta pertamanya, tapi kenyataan tak seindah harapan dan mimpi. Cecil harus menelan pil pahit di hari pernikahannya.
Indah dan aroma segar bunga di gedung itu tidak menggambarkan isi hati dan kehidupan Cecil. Putihnya gaun pengantin tidak seputih kehidupannya saat ini. Hatinya gelap gulita, manik mata yang indah berkabut putus asa.
Sudah tiga puluh menit lebih dia menanti kedatangan calon mempelai pria. Tiga puluh menit berlalu Daren tidak kunjung datang juga. Beberapa kali Cecil mencoba menghubungi ponselnya, tapi tidak ada jawaban satu pun.
Terakhir kabar yang dia dengar dari Carley, asistennya itu mengatakan kalau mereka sedang terkena macet. Awalnya alasan itu bisa dimakluminya, tapi setelah tiga puluh menit berlalu, hal itu tidak bisa menjadi alasan.
Jarak antara gedung tempat mereka menggelar resepsi dengan rumah Daren tidak begitu jauh. Jarak tempuh hanya membutuhkan waktu sepuluh menit saja.
"Nona, ini sudah hampir satu jam saya menunggu. Apakah pernikahan ini akan tetap dilaksanakan atau tidak? Saya masih mempunyai satu janji lagi dengan calon pengantin lainnya," ucap sang pendeta.
Hati Cecil semakin bergetar hebat. Bergetar bukan karena bahagia, tapi karena sedih. Pernikahan yang diimpikannya terancam gagal total.
"Pak pendeta, tolong tunggu lima belas menit lagi!" pinta Cecil dengan wajah memelas dan putus asa.
Bukan hanya protes dari pendeta saja yang membuat hatinya bertambah gusar. Cibiran dan bisik-bisik para tamu undangan semakin membuatnya kehilangan muka.
"Tapi, Nona. Aku tidak punya waktu lagi untuk menunggu. Lebih baik Anda jadwalkan ulang saja lagi bila Anda masih mau menikah dengan calon suami Anda!"
"Tapi, Pak pendeta. Tolong tunggu sebentar lagi!"
Embun pagi hari telah menggantung pada manik mata indah Cecil. Hanya tinggal hitungan detik saja embun yang disertai awan gelap itu akan menjadi hujan yang deras.
'Daren, permainan apa yang sedang kamu rencanakan dalam hidupku? Apa belum cukup kamu dan Amara menyiksa hatiku,' gumam kesedihan Cecil.
"Baiklah, aku akan menunggu lima menit lagi. Kalau sampai dalam waktu lima menit calon mempelai pria tidak juga datang, mohon maaf. Aku terpaksa harus meninggalkan gedung ini," ucap sang pendeta memberi waktu lagi.
Dia merasa kasihan melihat kesedihan Cecil.
Karena terlalu lama menunggu kedatangan Daren, satu persatu tamu undangan pun mulai meninggalkan tempat itu. Mereka sadar siapa yang mengundang mereka, tapi melihat Daren tidak juga datang membuat keyakinan mereka akan keanehan pria itu terasa nyata.
"Sebaiknya kita pulang saja. Bodoh saja wanita ini mau menikah dengan pria aneh yang tidak doyan wanita!" Itulah salah satu ucapan yang Cecil dengar tentang Daren.
Dia sendiri tidak tau akan hal itu. Baginya, Daren adalah pria sempurna dari dulu hingga sekarang.
Lima menit berlalu.
Sosok Daren tidak juga hadir dalam gedung itu. Cecil terpaksa menjatuhkan diri dan bersimpuh di atas lantai dingin. Kedua tangannya menutup keseluruhan wajah. Dia menangis terisak.
"Sebaiknya kita pulang!" ajak orang tua Cecil.
Gadis itu tidak gentar sedikit pun dari posisinya. Dia sedang menikmatinya rasa malu dan sakit hati akibat ulah Daren. Dia berharap ada pangeran yang mau mengobati rasa malunya.
"Nona, saya permisi. Saya tidak bisa menunggu lagi," ucap pendeta pada Cecil.
"Tunggu!"
Semua mata beralih menatap seseorang di arah pintu masuk.
