Bab 7
Sejak Daren meminta untuk menikah dengannya, Cecil selalu merasa gelisah. Wanita itu selalu terpikirkan ucapan pria yang selama ini selalu menghuni hatinya. Ingin rasanya Cecil mengabulkan permintaan pria itu dan menikah dengannya, tapi dia merasa masih ragu dengan cinta Daren padanya.
Selama ini yang dia tau, Daren tidak pernah mencintai wanita lain selain Amara.
"Amara. Aku harus cari tau kabar tentang kehidupan wanita itu. Meski Daren mengatakan dia telah meninggal, tapi dia pernah mengatakan bahwa Amara baik-baik saja. Sebenarnya mana yang benar? Amara telah meninggal atau Amara memang masih hidup, tapi Daren menyembunyikan dariku?"
Cecil terus memikirkan soal Daren dan Amara. Dua orang itu selalu berhasil mengganggu pikirannya.
"Nona, ada tuan Daren," ucap seorang karyawannya.
"Oh, biarkan dia masuk." Cecil membenahi penampilannya.
"Baik, Nona."
Cecil menunggu Daren di sofa tempat biasa dia menerima tamu perusahaan karena dia berpikir Daren datang untuk membahas masalah proyek kerja sama mereka.
"Halo, Cecil," sapa Daren dengan senyum termanisnya.
"Hay, Daren." Cecil terlihat sedikit gugup.
Entah kenapa setelah Daren meminta menikah dengannya, Cecil menjadi lebih bergetar saat bertemu dengan pria itu.
"Mau minum apa? Biar aku minta karyawan menyiapkan minuman untukmu."
"Tidak perlu. Aku hanya ingin mengajakmu makan siang di luar saja. Apa kamu ada waktu untuk makan siang bersamaku, Cecil?" Daren menatap mata Cecil dengan penuh harap.
"Daren, kamu lihat ini masih pagi. Bagaimana kamu bisa mengajakku makan siang?" Cecil terkejut dengan ajakan Daren untuk makan siang bersamanya.
Pria itu tertawa mendengar protes Cecil. Dia yakin wanita di hadapannya itu akan mengatakan hal yang sudah dia duga.
"Kenapa kamu malah tertawa, Daren?" Cecil kesal melihat Daren menertawakannya.
"Kamu lucu, Cecil. Wajahmu semakin cantik bila marah begitu," goda Daren dengan mata berkedip jahil.
"Daren!" Cecil melempar Daren menggunakan bantal sofa yang sebelumnya dia letakkan di pangkuannya.
Daren semakin tertawa, tangannya dengan tangkas menangkap bantal yang Cecil lemparkan padanya.
"Sebaiknya kamu pulang, Daren. Aku masih banyak pekerjaan dan datanglah nanti pukul dua belas siang untuk kita makan," ucap Cecil sembari bangkit hendak kembali ke meja kerjanya.
Dengan cepat Daren meraih tangannya dan menarik tubuh Cecil ke dalam pelukannya.
"Auw!" Cecil berteriak kecil karena terkejut dengan tarikan tangan Daren.
Kedua mata mereka saling beradu. Perlahan tapi pasti, Daren mendekatkan wajahnya pada wajah Cecil. Begitu juga dengan Cecil, wanita itu perlahan memejamkan matanya seakan dia telah siap untuk menerima apa pun yang akan Daren lakukan pada dirinya.
"Maaf," ucap Daren tiba-tiba melepaskan tangannya dan menjauh dari Cecil.
Kecewa.
Ya, ada rasa kecewa dalam hati Cecil. Dia pikir Daren akan memberinya ciuman yang hangat, tapi nyatanya tidak. Pria itu malah pergi dan kembali duduk di sofa meninggalkan dirinya dalam rasa kecewa dan malu.
Cecil menatap Daren dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Daren sendiri menghindari tatapan Cecil. Dia merasa bersalah karena telah membuat wanita itu kecewa.
"Cecil, aku akan menunggumu di sini sampai jam makan siang tiba," ucap Daren membuat saling silang kakinya. Pria itu duduk dengan santai.
Cecil sendiri berjalan ke meja kerjanya dengan mata masih menatap Daren.
"Apa kamu tidak ada pekerjaan lagi?" tanyanya heran.
"Tidak. Semua pekerjaanku telah selesai dan Carley telah mengurusnya untukku."
"Dasar bos!" Cecil tersenyum kecut. "Baiklah, kamu tunggu saja di situ dan jangan mengganggu pekerjaanku. Hari ini aku banyak pekerjaan dan harus selesai sebelum jam makan siang."
Cecil mulai bergelut dengan beberapa berkas yang telah menumpuk di atas meja kerjanya. Berkas itu harus dia selesaikan sebelum makan siang bersama Daren. Dia tidak mau menunda lebih lama lagi.
Cecil tidak akan bisa menikmati makan siang jika dia tidak segera menyelesaikan pekerjaan itu.
Daren merasa bosan menunggu terlalu lama. Pria itu selalu berjalan hilir mudik dengan rasa gelisah dan bosan.
"Daren, tolong jangan jalan terus seperti itu! Kepalaku semakin pusing melihatmu seperti itu." Dia kesal melihat Daren terus mondar-mandir di depannya.
"Cecil, apa masih lama?" Daren menghentikan langkahnya dan menatap wanita itu dengan kesibukannya.
"Sebentar lagi. Duduklah dan tunggu dengan tenang!"
"Ya Tuhan, aku bosan sekali, Cecil. Bisakah lebih dipercepat lagi pekerjaanmu? Atau biar aku membantumu untuk menyelesaikan pekerjaan itu." Daren berjalan mendekati Cecil.
Pria itu bermaksud ingin membantu pekerjaannya agar lebih cepat selesai dan mereka bisa lebih cepat pergi untuk makan siang di luar.
"Selesai!" ucap Cecil saat Daren mendekat padanya.
"Apa itu benar?" Daren terlihat senang.
Matanya berbinar.
"Ya. Pekerjaanku hari ini selesai dan kita bisa makan siang di luar." Cecil bertepuk tangan lega.
"Ya Tuhan, akhirnya aku tidak akan bosan lagi," ucap Daren sangat senang. "Kalau begitu cepatlah, aku sudah tidak betah lagi berlama-lama di ruangan ini."
Daren menarik tangan Cecil dan membawanya pergi dari ruangan yang dia bilang tempat paling membosankan.
Cecil dan Daren pergi ke restauran yang cukup terkenal di kota tempat mereka tinggal.
Setelah memesan beberapa menu makanan. Daren dan Cecil mulai menikmati makan siang yang membutuhkan pengorbanan Daren.
"Cecil, apa kamu sudah mendapatkan jawaban atas permintaanku?"
"Uhuk!"
Mendengar ucapan Daren, Cecil tersedak oleh makannya sendiri.
"Cecil, maaf." Daren dengan cepat menyodorkan minuman untuk wanita itu.
"Terima kasih, Daren." Cecil meneguk habis minuman dalam gelas yang disodorkan oleh Daren.
"Bagaimana?" Sekali lagi Daren bertanya soal jawaban Cecil atas permintaannya.
"Bagaimana apa?"
"Bagaimana dengan jawabannya, apa kamu mau menikah denganku?"
Daren sudah tidak sabar lagi menunggu jawaban dari Cecil.
"Aku belum bisa memberimu jawaban, Daren, tapi aku punya satu pertanyaan untukmu."
Sebenarnya Cecil ingin menerima dan mengabulkan permintaan Daren menjadikan dirinya sebagai seorang istri, tapi Cecil tidak mau terlalu cepat mengambil keputusan.
"Apa yang ingin kamu tanyakan padaku, Cecil. Katakanlah, aku pasti akan menjawabnya."
"Apa kamu benar-benar mencintaiku, Daren? Bagaimana dengan cintamu pada Amara?"
Pria itu terdiam mendengar pertanyaan Cecil. Hal yang paling mengejutkan lagi saat Cecil menyebut nama Amara.
"Daren." Cecil membuyarkan lamunan Daren.
"Astaga, Cecil! Aku lupa kalau aku ada janji dengan klien perusahaan. Bisakah kita bahas ini lain waktu?" Daren menunjukkan sikap menghindari pertanyaan Cecil.
"Tapi, Daren?"
"Cecil, aku pasti akan menjawab pertanyaanmu, tapi tidak untuk hari ini. Aku akan menjawabnya besok. Sekarang aku akan mengantarmu pulang dan aku akan langsung ke perusahaanku."
"Baiklah." Cecil tidak bisa memaksa Daren, meski dia kecewa.
