Bab 1
Seorang perempuan menatap lurus. Tak ingin menembus jauh kedalam, cukup satu persatu dari yang terlihat. Well, yang tak terlihat, sudah tak perlu berusaha keras.
Tak mau menyusahkan diri, simpel.
Dunia ada untuk dinikmati, andai punya kesempatan untuk itu. Kalau tidak, ya sudah, tak perlu susah-susah. Berharap yang tidak-tidak. Bersyukurlah sedikit, baby.
Tak akan pernah bagi kita terlihat besar, kita akan terlihat kecil setiap saat. Sifat syukur tak dimiliki oleh orang lain. Tapi ya mau bagaimana?
Memang begitulah, kalau hidup sebegitu sulit, akan terus begitu. Sulit melihat dengan benar.
Pada saat itu, kita 'buta.'
"Mau tes kemampuan ranjangku, Tuan?"
Sang lawan bicara menyeringai bak iblis berwujud malaikat. Makhluk mitologi kuno yang terusir dari surga akibat membuat dosa.
Dosa yang sialnya malah membuat kuat, bukan menjatuhkan bagi semua hal. Banyak dunia buruk untuk itu.
"Em..., baby girl, apa kamu masih perawan?"
Jangan tanyakan eksperi si perempuan, ah ya wanita. Terserahlah, suka-suka hati mau memanggil orang itu apa. Bereksperimenlah luas-luas.
Yang jelas sang perempuan masih 'rapat.'
"You test me?"
"Wow, apakah itu ajakan?"
Seringaian kembali terlihat, ketulusan bukan lagi hal yang untuk sekarang. Ayo lihat dan kamu akan 'terpana.'
Kalau tak bisa, ya jatuh lebih dalam. Banyak darah dan nyawa melayang.
Kalau mampu, sang perempuan ingin menerkam langsung. Seperti orang kurang profesional yang langsung terlihat. Bisa, kok. Pada kenyataannya perempuan itu memang tak punya kemampuan apapun.
Tinggal berkesempatan atau tidak. Saat ada celah, sang perempuan akan langsung 'bermain.'
"Forget it. Sweetie, apa tujuanmu?"
Ketimbang langsung terobos, sang laki-laki lebih tertarik mengetahui niat sang perempuan. Itu lebih baik.
"Ayolah, kamu bertanya tadi, tidakkah mau memastikannya? Kemari, jatuhlah ke kubangan lumpur," ujar si perempuan yang lebih dikenal Deby tersebut.
Orang itu adalah seorang karyawan di sebuah restoran pizza, bukan wanita murahan yang sedang merayu orang 'high' memakai tubuh.
Bukan juga uang yang perempuan itu cari, yah meskipun bukan berasal dari orang kalangan atas. Hidup sederhana cukup. Tak perlu yang lain.
Namun..., dendam masa lalu membuat seorang Deby berubah menjadi orang bermuka dua. Ia bisa melakukan apapun. Ah no, hanya beberapa. Salah satunya mendekati orang yang sok tinggi yang ada dihadapannya.
Sepupu orang yang membuat sang perempuan memiliki dendam kusumat.
"Santai baby, aku bukan orang dungu haus tubuh perempuan. Coba jelaskan dulu hajatmu. Uang, kemewahan atau dendam," kata orang itu sambil menyeringai lagi.
Hal itu sudah biasa dalam hidupnya.
"Tuan..., aku juga bukan orang bodoh."
Sengaja suara perempuan itu ia buat semanja mungkin. Yang ia sendiri bahkan jijik dengan jenis suara darinya.
Apa itu masih Deby...?
Atau, perempuan murahan?
Hah..., betapa kejamnya hidup.
Menggoda bukanlah skilnya, ia hanya seorang karyawan pizza.
Tak mau uang kok, hidup Deby tak terlilit hutang.
No rentenir atau si penagih utang sok berkuasa. Tidak sama sekali. Bukan.
Himpitan hidup pun juga tak ada, Deby punya hidup normal. Meski orang tua yang sudah meninggal, orang itu tak membuat sang anak nelangsa.
Terhimpit hutang yang kemudian terjerumus pilihan terakhir menjaul diri sendiri. Tak ada kata 'terpaksa' disini, itu mainstream. Lalu Deby, suka yang ekstrem.
Perempuan itu masih perawan!
Jadi jangan bayangkan seorang perempuan bar ya.
Save me.
"Marry me, Mr. Alzero."
"What!"
Pelukan tersebut pun seketika terlepas. Menikah, yang benar saja!?
Mereka belum melakukan apapun lalu langsung minta nikah?
Katakan bersama lelucon dari pelawak dunia terkenal. Jangan mengada-ada!
"Why Mr. Alzero, Anda tidak mau?"
Zen menyeringai, perempuan 'polos' yang ia temui di club ini sangat menarik diawal. Lalu kenapa sekarang berubah jadi savege girl?
Padahal ia lebih cocok jadi baby girl daripada devil person.
Pakaian yang serba tertutup, minum kokail bukannya vodka dan whisky. Maybe, martini...?
Eh tahu-tahu malah cover.
Zen pikir, perempuan yang sedang berada di di pangkuannya ini adalah orang baik-baik yang tersesat. Salah masuk tempat, disini bukanlah hidupnya.
Lantas saat ditelurusi lebih jauh, ternyata orang ini bahkan punya sesuatu yang lebih 'wow' dari pikiran Zen. Zenit Alzero lebih tepatnya.
Tadi sudah cukup dibuat kaget oleh si perempuan polos yang ternyata mengetahui namanya. Lalu sekarang, lebih menarik.
Si 'polos' bahkan berani menggoda dirinya. Sedari tadi Zen gemas ingin mencium bibir yang tak berhenti bjcara sok imut tersebut.
Bukankah membungkam lebih baik daripada menunda-nunda?
Itu akan lebih menyenangkan!
"Luv, coba katakan dulu apa tujuanmu, aku tak akan mencelakaimu kok, manis."
Panggilan random sudah biasa bagi seorang Zenit Alzero. Mau luv, sweetie, sayang, baby, cinta, cantik bahkan bitch pun mengalir seperti air. Tak harus berlebihan menanggapinya. No problem, selama Zen nyaman-nyaman saja, ya sudah. Ia pun juga bukan tipe orang yang peduli.
Jangan terlalu berharap banyak dari manusia batu seperti Zenit Alzero.
Meski begitu ia pun juga bukan seorang yang pemaksa. No otoriter, hanya suka seenaknya.
Beda lho, tolong renungkan sendiri.
"Kepalamu yang manis. Kalau bukan karena dendam, aku tak akan pernah bersikap begini. Gila," gumam si perempuan membuang pandangan sebentar, lalu setelahnya melihat sang 'target.'
Saat kita hanya mampu mengumpat dalam hati, berarti kita adalah seorang pengundang dalam keadaan. Tapi ya mau bagaimana lagi, dunia tak sesederhana kelihatannya.
Banyak hal menjijikan yang membuat sedih. Trust it.
Senyuman bertengger manis di wajah Deby, oh bukan, lebih cocok disebut menyeringai. Bibir tipis nan seksi itu lebih lumrah tersenyum tulus ketimbang senyum menjijikan.
Tahukah bagaimana rasanya harus menjadi orang yang sama sekali tidak dikenal?
Bukan sakit lagi. Hanya saja mau tak mau kita harus melakukannya, demi tujuan tertentu.
Ingin menghujat, tak masalah. Lakukan, itulah hak pribadi seseorang.
Hanya demi hal yang tak bukan perioritas, selama beberapa waktu belakangan. Lalu seiring berjalannya arus pikiran menjadi momok. Ibarat kesulitan hidup. Krisis ekonomi, moneter dan himpitan.
Banyak orang yang mengalami hal tersebut.
Lipatan itu sudah seperti dinding gila yang membuat muak. Well, itu adalah bagian diri yang lain, so, jangan terlalu dipikirkan.
"Damn, perhatian tanganmu, bitch."
Zen melenguh saat tangan perempuan 'bermuka dua' itu meremas kuat asetnya. Membuat benda itu seketika menegang. Sayang sekali, perempuan itu bahkan tak peduli, malahan ia suka.
Lemah.
Cukup menarik.
Sebuah pengalihan perhatian.
"Ups, so Daddy, will you marry me?"
Deby bertanya dengan tangan yang masih bergerak aktif. Itu bukanlah hal yang sulit baginya. Sebelum memutuskan jadi orang 'profesional,' ia sudah mandi 'tujuh kembang.' Istilah kasarnya begitulah.
Padahal tidak, hanya melalui proses berpikir panjang.
Melibatkan diri sendiri memang harus begitu. Orang lain yang tak pernah dikenal sebelumnya.
Kali ini giliran Zen yang menyeringai, bukan hanya perempuan yang baru ia temui ini yang bisa, ia bahkan jauh lebih pro.
Tangan Deby mengepal kuat saat targetnya menyentuh kuat dadanya. Sial, jangan kalah sekarang, dalam menjalani rencana ini memang tak bisa setengah-setengah.
Perkataannya yang bilang untuk 'mencoba' tadi sudah mewakili. Deby jelas tak bisa mengalak.
Targetnya bukan sembarang orang.
"Aku pakai 'kartumu' yang tadi sayang. Ayo kita cek, apakah kamu masih virgin atau terbuka. Kalau tidak, I'm so sorry, baby. Kamu harus berakhir menyedihkan."
"Aku benci Arnold Arnais, kalau kamu?"
Zen tersentak, kali ini bukan lagi oleh pergerakan sang perempuan, akan tetapi kalimat orang itu.
Siapa yang tak mengenal Arnold, seorang tak berperasaan, mafia dengan banyak wanita simpanan. Yang sialnya selalu berganti-ganti. Orang itu hanya penuh hasrat, nafsu dan rasa ingin memangsa. Seekor singa yang memakan banyak kelinci.
Doggy penurut yang siap sedia setiap saat.
"Kamu ada masalah dengannya?" tanya Zen.
Wajah yang tadi berhasrat kini berganti tegang. Jantung bekerja lebih cepat. Dari club yang cahayanya remang-remang pun terlihat perubahan raut wajah orang tersebut.
Tolong catat, Zenit Alzero adalah orang yang cukup baik, untuk standar presdir brengsek. Setiap kali pergi ke club hanya untuk minum-minum, bukan bermain perempuan.
Selera Zen mengenai perempuan hanya yang masih tersegel, bukan wanita murahan yang menjual diri.
Zen tidak suka barang bekas, sama seperti sang sepupu, Arnold Arnais.
Keduanya adalah defenisi devil.
Perbedaanya adalah, Zen adalah malaikat yang terusir dari langit akibat berbuat kesalahan, bukan devil sungguhan.
Sementara itu, Arnold Devil tingkat keras.
Deby terdiam. Sekarang ia baru sadar, misi tersebut lebih sulit dari menggantung diri ataupun terjun ke jurang.
A question bad.
Mau jawab apa?
Deby menelan ludah susah payah. Salahkan mulut atau memang sudah harusnya begitu?
