Bab 2
"I know, kamu hanya perlu membantuku balas dendam. Kalau tidak, berhentilah bertanya. Itu membuatku muak."
Deby tak tahu harus melakukan apalagi, ia yang tadinya bersikap sok garang jadi menciut. Bukan oleh sebab Zen yang ingin 'memeriksa' keperawanan, akan tetapi ragu apakah ia bisa dapat berharap ke orang yang sedang memeluk tubuhnya.
Pernahkah merasa gila setelah semua hal yang sudah terlanjur terjadi, nyatanya itu tak bermanfaat. Terlambat.
Menyebalkan.
"I'm so sorry, excusme."
Secepat yang Deby bisa, ia bangkit dari atas pangkuan Zen. Dungu, kenapa ia jadi kelinci percobaan yang langsung main kabur setelah bermain dengan seorang serigala. Takdir mati tak mampu di tepis.
Tinggal mati apa susahnya?
Tak ada orang yang mampu melawan takdir!!!
"Baby, mau kemana?"
Saat Zen meraih tangan Deby, respon tubuh perempuan itu adalah menepis tangan orang itu.
Bertapa gilanya belum lama ini tadi Deby duduk nyaman di pangkuan orang tersebut.
Hahaha, komedi tak berkelas macam apa itu!?
"Wow, ternyata kamu ahli beladiri, sayang?"
Mata Deby menatap nyalang Zen yang menatapnya menyeringai. Mirip seekor serigala yang sedang mencabik-cabik mangsanya.
Deby adalah seorang perempuan. Ia datang bukan untuk menyerahkan diri. Bukan juga untuk melihat kesalahan dari dalam dirinya. Tak mungkin tanpa persiapan setidaknya secuil, Deby langsung main terobos.
Taktik harus ada dalam kondisi seperti ini.
Ia bukan anak tikus atau bahkan perempuan yang menawarkan tubuh menjadi seorang doggy. Istilah untuk para perempuan mainan mereka. No sugar baby. Deby mau pernikahan, walau hanya status diatas kertas.
Satu dengusan kasar pun muncul kepermukaan. Lalu setelah tadi bangkit, Deby kembali menata 'niat' untuk duduk di pangkuan sang 'target' seolah-olah sedang 'kembali' ke habitat awal.
Hey, bukan, itu adalah sebuah kesalahan. Jijik.
Namun, Deby tak mau bertanya, itu buang-buang waktu. Deby bukan orang bodoh yang sok mau 'lihat celah.' Tidak semua tindakan melihat celah itu bagus untuk hal yang kita mau.
Kalau tujuannya berbeda.
Toh itu juga gak terlihat. Jangan sok berharap lah. Realistis sedikit.
Masih terlihat berusaha menata diri, perempuan itu meraih kokail yang ia minum tadi kemudian menghabiskannya. Tandas.
Sebelum ini belum pernah ia minum apapun yang ada alkohol, oleh sebab itu cukup memesan kokail, yang lebih ramah untuk pemula sepertinya.
Hah..., Kenapa tidak sekalian lemon?
Biar lebih mendalami suasana.
"Bagaimana dengan pernikahan kontrak. Aku tak perlu bayaran, hanya ingin bantuanmu. Akses, berikan itu untukku. Kamu hanya perlu diam dan tak melakukan apa-apa. Sisanya biar aku yang urus."
Alis Zen terangkat. Perempuan model begini jarang ia temukan di sembarang tempat. Kalau club bukanlah tempat yang sesuai.
Sebegitu inginkah si perempuan membalas dendamnya hingga rela melakukan apapun?
Apa yang Arnold lakukan pada si 'gadis' yang menarik ini?
Itu adalah hal yang sangat menarik untuk Zen tahu.
"Santai luv. Coba katakan, apa yang brengsek itu lakukan padamu?" Zen bertanya. Tangan lelaki itu sudah tak lagi bergerak nakal.
Sekarang situasinya beda.
"Jawab mau atau tidak, tuan. Aku tidak peduli Anda mengatakan ini pada Arnold. Sejak berpikir begini, aku sudah tak lagi hidup. Bukan hanya keperawanan yang ku pertaruhkan tapi nyawa. Jadi aku siap mati," ujar Deby dalam satu tarikan napas.
Kali ini ia ingin berpindah tempat duduk. Tak mau dekat-dekat Zen. Cukup sudah. Muak.
Namun, sebelum Deby beranjak, sang lelaki sudah lebih dulu menahan pinggangnya.
Tindakan yang membuat sang perempuan menatap tak suka.
Baiklah, tindakan nyata lebih efektif ketimbang respon tubuh yang tak ada gunanya. Done.
Bugh!
Deby terpaku ditempat saat Zen masih bersikeras menahannya walaupun sudah dipukul sedemikan rupa. Ambisius. Menyebalkan.
Deby pun sontak berdecak kesal. Sebelum akhirnya seringaian bertengger manis pada wajah imut tersebut.
Ia bukan orang yang terlalu bodoh. Bukan mau menyerahkan diri lho.
"Kalau bersikap begini, Tuan. Ku anggap Anda mau menikah dengan saya."
"Jadilah istri doggyku, bagaimana? Sebagai bayarannya akan ku beri akses yang kamu butuhkan. Tapi kamu harus siap setiap kali aku butuh 'tempat' berkunjung. Tapi sebelum itu, mari kita buktikan perkataanmu dulu. Masih tersegel atau tidak."
"Oke, tanpa pengaman, bagaimana?"
Begitu mudahkah sang 'kelinci berotot' ini bicara?
Pukulannya sakit bukan main.
Hal itulah yang ada dalam pikiran Zenit Alzero. Arti nama orang itu adalah puncak tertinggi. Tak seru kalau orang besar terhadap bersikap rendahan.
Itu seperti menjatuhkan diri ke lubang hitam.
Apalah arti sebuah nama?
Penting. Carilah nama yang baik untuk anak. Buah hati.
"Kamu ingin mengikatku?" tanya Zen sambil mengusap bagian sensitif sang perempuan dari balik rok selutut yang ia pakai.
Sangat tertutup untuk ukuran pengunjung club. Tak cocok, harusnya tidak, lho.
Orang yang berpenampilan begitu adalah orang tersesat. Tak seharusnya berada di tempat laknat tersebut.
"Lebih daripada itu Tuan, aku mau hamil anakmu," jawab Deby seperti orang yang baru saja makan jelly rasa apel.
Manis dan nikmat. Sebegitu mudah.
Jawaban polos yang langsung membuat senyum manis Zen muncul ke permukaan. 'Gadis' manis yang tengah meringis tertahan ini bukan hanya pandai beladiri, tetapi polos bercampur sok bisa.
Padahal semuanya tak sederhana. Mustahil. Tapi ya perkataannya yang bilang bukan hanya keperawanan yang dipertaruhkan, akan tetapi nyawa membuat Zen semakin tertarik.
Jauh tenggelam hingga ke dasar.
Sentuhan ringan mirip bulu saja sudah membuat menggelepar macam ayam yang kena sembelih, ikan diangkat ke dataran, dan orang tersengat listrik.
Completed.
"Akan sulit bagimu membalas dendam kalau hamil, sayang. Are you sure?"
"Sure, Mr. Alzero. Walau apapun yang terjadi, aku masih ingin punya anak seperti perempuan pada umumnya."
"Kalau nanti kamu ku buang dan anaknya untukku bagaimana?"
Sang perempuan sempat menyeringai sebelum akhirnya membalas pertanyaan sensitif si orang licik yang sedang bersamanya sekarang.
"Akan ku ambil kembali. Aku bukan babi yang tinggal dimakan, Mr. Al, tapi aku istri doggy. Dalam pandanganku, doggy bisa menggigit. Berhati-hatilah, jangan-jangan doggynya punya penyakit rabies. Itu mematikan."
"Damn, bitch. Kamu semakin membuatku tertantang."
Setelah mengatakan itu, dalam sekali gerakan Zen pun mengangkat tubuh orang yang belum ia tahu siapa. Respon Deby, kaget hingga melingkarkan kakinya di pinggang sang 'target.'
Hey, ayolah, bukan ini skenarionya!
Jadi, Deby memang harus kehilangan keperawanan sekarang?
Lalu bagaimana dengan hamilnya?
Sial. Itulah mengapa jangan sampai bermain-main dengan kata-kata. Saat waktunya datang, permainan itu menyerang diri sendiri. Lebih-lebih orang yang kita ajak main-main itu adalah seorang kawanan hewan liar.
"Tu-tuan?"
Secepat kilat, Zen pun langsung menyatukan bibirnya dengan si 'gadis.' Sedari tadi little angry birdnya berkedut nyeri minta pelepasan.
Tegang, on, terusik hingga harus ditiduri. Untuk itu tak bisa ditunda.
"Call me Daddy, manis."
Deby pasrah, sekarang tubuhnya sudah dibawa ke tempat yang ia tahu pasti adalah kamar club. Sekarang, katakan good bye ke the virginity. Welcome to the darkness. Wanita, si penampung hasrat.
Pilihan Deby sudah bulat. Ia tahu risiko apa yang ia harus di tanggung. Memang inilah saatnya.
Ia kalah oleh sebab dendam kusumat yang harus di balas. Harus, bila perlu mengorbankan nyawa sendiri.
"Ayah, ibu. Aku tidak akan minta maaf, ini keputusanku untuk menyelesaikan."
Mata Deby terpejam saat benda asing menerobos masuk. Darah pertanda ia sudah tak lagi menyandang status perawan membuat sang singa menyeringai.
"Wow..., Aku akan menghargai keberanian dan usahamu, Sweetie. You're mine."
Deby memejamkan mata kuat-kuat saat hentakan demi hentakan mendera. Menegaskan bahwa ia adalah orang paling bodoh di muka bumi.
Bunuhlah Deby dengan segala macam cara. Toh tak mampu menegaskan apapun, ia memang sudah mati. Yang terlihat saat ini adalah zombie, mayat hidup dan seorang manusia batu berjalan.
Tak ada jiwa.
"Bitch, hangat, ketat dan mencengkram. Big Crazy."
Segala macam umpatan terdengar. Hal yang membuat sang perempuan menatap datar. Ia hilang arah.
Keringat mengalir deras.
"Your name?"
"De-by Laurienza...," ujar perempuan itu sudah payah.
Ia sudah klimak berkali-kali begitupun orang yang sedang menggagahinya. Mereka lepas.
Bersamaan jawaban tersebut, Zen pun seketika menghentikan aktivitas. Nama keluarga yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Mustahil.
