Bab 3
"Ulangi," kata Zen yang benar-benar memberhentikan pergerakan.
Ia tak mampu melaju. Takut, maybe. Yang jelas memang tak bisa. Dasar menyusahkan.
"Why, nama keluargaku terdengar tak asing, Mr. Al?"
Setiap kali orang lain memanggil Mr. Al, Zen merasa ia lebih tinggi dari yang terlihat. Hanya beberapa orang yang boleh memanggilnya begitu, kalau orang lain, pasti sudah ia patahkan lehernya.
Sebutkan tinggi namun hanya orang tertentu yang boleh.
"That's right, baby. Laurienza mengingatkanku pada keluarga yang dibantai. Harusnya, sudah tak bersisa. Bahkan jejak telapak kaki sekalipun."
Wajah Zen menegang saat mengatakan itu. Keluarga Laurienza adalah mafia yang tak terkalahkan. Namun sebuah penyerangan tiga pasukan mafia kuat dibantu Yakuza, barulah Mafia tersebut berhasil dibasmi. Layaknya kuman yang harus di hilangkan dari muka bumi.
Deby menyeringai, inikah saatnya mengungkapkan jati dirinya. Ia adalah satu-satunya anak yang berhasil kabur dari penyerangan tersebut.
Sebenarnya, Deby tiga bersaudara, dua kakak laki-laki dan ia sendiri yang berstatus sebagai anak bungsu. Posisi paling buruk dalam sejarah hidup saat kita yang masih hidup membawa beban dendam.
Sang kakaklah yang menyelamatkan dirinya hingga masih hidup sampai sekarang. Orang yang biasa ia panggil mama dan papa berubah jadi ibu dan ayah.
Depan mata Deby, kakak yang tegas dan selalu menghukum saat ia berbuat salah sekecil apapun itu terluka parah. Darah mengalir bercampur air hujan deras yang menghanyutkan darah segar tersebut.
Seorang kakak yang membuat ia menangis dan mengerang kesakitan setiap kali memberi hukuman.
Akan tetapi menjadi guru beladiri yang sangat berguna.
"Kenapa, Anda kaget Mr. Al?"
"Impossible, kalian harusnya mati. Tak mungkin selamat."
Deby terkekeh. Bisa ia lihat wajah bergairah Zen bertukar jadi orang dungu habis melihat hantu. Hello, Deby bukan makhluk halus ataupun orang mati yang hidup kembali.
Jangan berlebihan!
"Look, kamu mengenal tanda ini?"
Wajah Zen berubah tegang saat baru ia sadari, ada tato malaikat membawa tongkat dengan kedua sayap yang patah.
Tato tersebut tersebar di bagian punggung dan pinggang sebelah kiri dan kanan.
Tanda yang hanya milik keluarga Laurienza. Sebuah tanda kutukan. Pertanda yang membuat tubuh orang-orang itu seperti tak tersentuh.
"Hahaha..., saking terlalu fokus, Anda tidak menyadari itu?"
Urat nadi Zen terlihat saat tak sadar sudah melakukan kesalahan. Perempuan yang ia anggap lemah itu ternyata adalah seorang yang sangat berbahaya. Dalam darah mereka sudah digariskan hasrat membunuh.
Haus darah.
Ritual kelahiran mereka harus membunuh. Ibarat tumbal. Penyambutan sesat namun membuat banyak perubahan yang sangat kental. Setiap tetes darah sang tumbal membuat sang bayi semakin bertambah kuat.
Jiwa haus darah mereka memberontak hingga banyak ritual lain yang lebih ekstrem lagi. Termasuk berlaku untuk anak perempuan.
Zen bangkit dari atas tubuh perempuan itu. Ia tak mampu melanjutkan lagi. Seseorang yang baru saja ia perawani bukan perempuan pada umumnya. Jauh beda hingga tak setara.
Liar.
Sret.
"Menyerah?" tanya Deby sambil menahan bahu seseorang yang baru saja mengambil keperawanannya.
Pergi, tak semudah itu.
"Sial, kenapa kamu datang ke hidupku?"
Keringat halus akibat pergulatan panas tadi membuat Zen kelihatan semakin bertambah sexi. Pemandangan yang membuat Deby gemas ingin menarik tengkuk lelaki tersebut untuk kembali mempertemukan bibir mereka.
Tadi orang yang ia tengah tahan tersebut benar-benar bergairah sampai Deby yang baru pertama kali melakukan tak mampu mengimbangi dengan benar.
Lalu..., tanpa aba-aba terjadilah sebuah ciuman. Tindakan tiba-tiba yang membuat Zen membelalakkan matanya. Tadi ia penasaran lalu sekarang tak tahu rasa apa yang tengah ia rasakan. Terlalu takut.
Ah tidak... maksudnya adalah... tertantang.
Tak pernah terlintas di pikiran Zenit bahwa anak mafia terkenal Laurienza masih tersisa. Dan orang itu dengan senang hati menyerahkan tubuhnya kepada ia.
Apalagi yang kurang?
Keren.
Namun masih takut sebab keluarganya terlibat dalam penyerangan tersebut. Tak menutup kemungkinan ia juga akan balik terserang nantinya, setelah orang ini membalas dendam ke keluarga Arnais.
Sebuah kegilaan.
"Hah..., hear me, nona Deby. Kami pun juga terlibat kasus pembantaian tersebut. Jadi maaf, kamu akan mendapat pengawasan ketat dariku."
Nada bicara Zen sangat tajam. Ibarat pedang yang langsung menembus jantung hingga si korban merenggang nyawa si tempat. Dalam kondisi mengenaskan tentunya.
"Yes Daddy. I will, no problem."
Seringaian Deby malah membuat Zen semakin banyak berkeringat. Bagaimana cara orang yang ia 'sukai' dari pertama kali melihat ternyata adalah orang yang turut ambil andil menghabisi keluarga sendiri.
Deby sudah mengenal baik Zen!
Ia juga melihat banyak kejutan dari orang tersebut. Lalu sekarang malah terlihat seperti orang yang tak berkesudahan. Terlalu khawatir.
Rasanya benar-benar tak mampu. Namun... pada akhirnya malah berakhir dengan orang tersebut.
Lucu, bukan?
Deby tak benci dengan orang yang sudah masuk ke perangkapnya. Hanya tak mau memancing keributan. Usaha tak boleh setengah-setengah.
Bagi Deby, saat ia yang hanya sendiri berjalan sejauh masa hidupnya, maka hal yang terjadi adalah, ia tak bisa kembali.
Bukan lagu yang bisa maju mundur cantik. Naik turun atau menggantung pada hal yang namanya harapan. Sangat jauh.
Dari dunia yang berbeda sana, ayah dan ibu, kakak dan orang kepercayaan Deby pasti tengah mengumpat pada sang anak. Munyumpahi kemudian menjelma jadi kekuatan.
Tak mungkin harus melahirkan anak dari orang yang sudah membunuh keluarga.
Ia bisa dan mampu. Memang dalam sebuah perjuangan harus yang dikorbankan. Lantas, pengorbanan Deby adalah hidupnya.
Hilang tak berbekas. Kesan mendalam.
Tak akan minta maaf pada keluarga. Tak akan pernah.
"Ku tarik kalimatku yang bilang kamu istri doggy. Setelah statusmu terkuak, kamu harus menjadi istri sungguhan. Tak pernah ku sangka akan mendapat pasangan hidup putri ketua penjahat paling kuat sepanjang masa. Anak kita nanti pasti akan menjadi orang besar," ujar Zen sambil kembali menyatukan pusat tubuh mereka.
Sejauh ini, ia pikir akan lebih baik lanjut. Toh sudah tak dapat berpulang. Banyak klimaks yang mereka alami tadi, oleh sebab itu, kesempatan hamil perempuan yang ternyata mengalir darah predator itu terbuka lebar.
Sudah mulai terbentuk.
Bukan sebuah kemustahilan.
"Maaf, aku tidak bisa bermain pelan," ujar Zen kemudian kembali melancarkan pergerakan liarnya.
Sesekali Deby meringis bercampur desahan. Gila, orang yang sedang mengagahinya memang tak tanggung-tanggung.
Terobos jauh.
Deby menarik napas lega saat sekitar beberapa jam kemudian akhirnya mereka berhenti. Napas perempuan itu memburu oleh sebab nafsu birahi Zen yang tak dapat dibendung. Bahkan walau orang tersebut sudah tahu kebenaran mengenainya.
Mungkin malahan sebaliknya, nafsu orang tersebut semakin bertambah liar setelah tahu kalau Deby bukan orang sembarangan.
Ah sudahlah, yang penting Deby mau istirahat. Lelah.
Hidup semudah itukah hingga dalam satu malam, takdir dendam Deby Laurienza merajalela?
C'mon, tak ada yang namanya kebetulan, keajaiban atau bahkan sesuatu yang namanya cepat.
Instan tanpa proses hanya milik orang-orang besar, dan Deby bukan termasuk salah satu diantaranya.
Air mata menetes sebelum akhirnya Deby menutup mata untuk berlabuh ke pulau kapuk. Hah tidak, istirahat.
Lelah.
"Maaf, semuanya. Ayah ibu, kak Key dan Kak Qory," lirih perempuan tersebut.
Katakan yang lebih lucu dari seorang anak devil yang merengek. Setelah baru saja kehilangan hidup.
Pijakan yang hilang.
Perlahan mata Deby terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah ruangan yang menjadi saksi bisu 'perjalanan baru' hidupnya.
Lalu apa yang terjadi sekarang, Zenit Alzero yang terhormat bahkan sama sekali tak kelihatan batang hidungnya. Main pergi tanpa pesan ataupun yang lain.
Deby menyeringai, ia tahu orang itu adalah defenisi sibuk. Seakan-akan hidupnya hanya untuk bergulat dengan berkas sialan.
Berbanding terbalik dengan sang kakak sepupu, Arnold Arnais. Zenit Alzero lebih fokus ke bidang perusahaan ketimbang penyelundupan barang-barang terlarang. Lalu berkedok perusahaan yang berdiri. Semua hanya kamuflase.
Tangan Deby mengepal kuat. Tak akan ia biarkan sang target mencampakkannya begitu saja.
Apa yang sedang direncanakan oleh orang itu hingga meninggalkan Deby sendiri?
Ingin bermain-main?
Lihat, Deby tak akan membiarkannya!!!
"Play the game, Mr. Al? Mission fiiled, baby," ujar Deby sambil menyeringai.
Ia tak mungkin dibuang!
Sial!
