Bab 4

"So, baby, kamu sudah tidak perawan? Kebuka segel Narutonya?"

Sang empu lawan bicara hanya menatap tanpa ekspresi. Apanya yang lucu, yang ada malah garing mirip kerupuk hangus. Candaan yang sialnya teman sendiri susah di bendung.

Dari lahir pun sudah bobrok. Mirip hantu betina habis bangkit dari kubur. Seseorang yang teman sekaligus 'mate' dari berbagai aspek.

Tak akan ada yang mengerti, terlalu takut. Ah... kira-kira begitulah.

"Eh curut. Hati-hati dengan mulutmu atau aku akan merobeknya."

"Saling robek dong kalau gitu," balas si lawan bicara.

Lupakan tentang rasa hormat, kedua orang yang sebenarnya sangat jauh beda itu adalah orang yang sangat bertolak belakang. Padahal ada geep nyata antara keduanya. Namun ya mau bagaimana lagi, terlihat lebih buruk dari apa yang terlihat.

Orang yang bicara itu biasa di panggil Deby sebagai Lina. Anggaplah nasib hidup orang itu sedang buruk hingga bisa berteman dengan orang model curut 'karpet' macam Lina. Kesamaan yang membuat mereka nyambung adalah, sama-sama bisa beladiri.

Lebih lanjut, orang itu adalah anak kecil perempuan baik yang menolong Deby saat tubuhnya terluka parah. Biar bobrok begitu, si Lina punya hati bak malaikat tak bersayap.

Hingga sekarang menjadi mate seorang Deby Laurienza. Sederhana.

"Baby, terus mana si devil itu? Jangan bilang kamu di kibulin. Ditinggal setelah habis manis sepah dibuang. Gak elit banget sih!"

Begitulah orang santai seperti Lina. Pelesetan kalimat sudah biasa orang itu lakukan. Lebih jauh, mengalir di selubung darah. Sel darah maksudnya.

Sudah mendarah daging.

"Panggil namaku dengan benar, Lina."

Sang teman hanya melakukan rolling eyes. Bosan terhadap sifat kaku orang di hadapannya. Tapi apakah benar Deby yang kuat itu malah jadi korban?

Bukankah semua berjalan lancar?

Wah..., hidup tak sesederhana kelihatannya. Terlalu menakutkan.

Orang itu serius, kena jebakan sendiri. Senjata makan tuan, bumerang atau apalah?

Begitu!?

Ya Tuhan.

"Katakan, kamu tidak kalah, kan? Kali ini aku serius," ujar Lina sambil menatap nanar.

Kasihan sang atasan kalau kena kibul begitu. Bukan soal elit atau tidaknya, akan tetapi,tak pantas.'

Masa iya kalah?

Yang benar saja!!!

"Hah..., mau bagaimana lagi. Aku terobos ke tempatnya gitu? Dia pergi tanpa pesan maupun jejak. Menghilang seperti hantu. Dasar jailangkung."

Tampang Deby datar bak triplek. Bukan baju yang tak di setrika lagi. Oh iya, itu kan kusut, bukan datar.

Bunga layu jenis apa Deby?

Ia adalah orang baik-baik sebelum ini. Bukan orang jahat atau apapun itu. Polos walaupun beringas.

"Aku pikir..., Dia belum sepenuhnya pergi. Kalau memang benar-benar langsung menghilang, ubah rencana yang di otakmu. Aku akan terlibat langsung buat menelusup ke markas Arnais. Kita jadi orang dalam mereka," ujar Lina cuek bebek.

Seakan-akan hal yang ia katakan bukanlah perkara besar menyangkut hidup. Tak harus dibesar-besarkan.

Orangtua Lina sudah meninggal, jadi tak ada yang harus di harap sekaligus di khawatirkan lagi. Jauh dari yang namanya kasih sayang atau sesuatu semacam itu.

Jadi tak perlu 'merepotkan' diri.

Ia bebas. Hanya beberapa uang yang membuat ia bisa bertahan hidup selama kurun waktu yang sampai sekarang. Perjuangan itu sangat berat. Apalagi sistem kasta terlihat sangat jelas.

Kalau tak mampu, lebih baik mundur teratur.

Tolong jangan bertanya bagaimana mereka melewati hari-hari.

Sangat sulit.

Tak perlu hargai, cukup diam. Kalau tidak suka jangan lirik-lirik.

"Hah..., penyesalan selalu berada di akhir. Harusnya semalam aku ikut saranmu saja, biar gak sial begini."

Ada raut wajah sendu dari seorang Deby. Ia menyesal, tentu saja!

"Eh, bukannya kamu lagi masa subur? Yakin semalam dia gak ngapa-ngapain kamu saat tidur? Bisa jadi dia pakai obat saat biar gak hamil. Makanya jangan ceroboh. Lihat sekarang, kamu jadi tempat pembuangan sampah yang habis manis sepah dibuang. Kasihan."

Lina memakai gerakan seolah-olah Deby itu adalah virus yang harus ia hindari. Mengambil jarak sejauh mungkin. Padahal orang yang ia ajak bicara itu adalah atasannya.

Kurang ajar, tidak. Mereka sudah biasa dengan bentuk apapun yang lebih buruk. Ya..., terserah. Tak mau ambil pusing.

Ada yang lebih gila dari perlakuan orang berkesok 'teman sekaligus bawahan yang jadi mate' itu?

Kemungkinan besar tidak ada.

"Dasar gila."

"Pizza untuk pelanggan nomor 23," ujar seorang karyawan lain.

Begitu lantang, seakan sedang menyindir dua sahabat yang sedang bicara tersebut. Padahal tak harus berlebihan. Bicara itu adalah sesuatu yang biasa.

Kedua orang itu saling berpandangan. Kalau mengenai tugas, pembicaraan harus segera berhenti. Keduanya sangat menghargai waktu dan hal penting.

Kalau tidak begitu, bagaimana bisa bertahan hidup?

Istilahnya harus pandai-pandai mengatur waktu, mana yang bisa dan tidak untuk diperbuat. Langkah apa yang akan diambil.

Kurang lebih begitu.

"Kita pergi berdua, aku punya firasat buruk. Jangan-jangan malah si brengsek itu," ujar sang teman yang tadinya sok cuek dan ambil jarak aman dari Deby.

Percayalah, orang itu adalah jelmaan malaikat tak bersayap. Jadi ya, wajar langsung membantu walaupun agak bobrok. Tak masalah, Anda lebih suka yang dari cover atau yang dalam?

Meski lebih banyak menilai dari yang terlihat sih, bukan yang nyata. Walau begitu jangan sok besar lah. Berasa tinggi untuk menginjak orang-orang bawah.

Kita sama sekali tak saling mengenal. Tak banyak hal yang Anda ketahui mengenai kami.

Jika tidak suka, cukup diamkan. Akan tetapi pada kenyataannya malah sok lebih ekstrem, menghujat tak ada habisnya.

Mantap. Banyak orang yang suka gaya begitu.

Ah tidak, udah lumrah kok.

Manusia ada 'memang' untuk menilai, lebih-lebih ada yang namanya keanekaragaman sifat. Banyak kelapa, banyak juga sifat yang orang tersebut miliki.

Deby dan Lina lebih mirip Intel ketimbang karyawan sebuah restoran pizza. Namun, demi keamanan jati diri, lebih baik kerja di tempat yang menutup identitas.

Biarlah identitas asli tak muncul ke permukaan. Itu lebih baik dari segi apapun. Tak perlu melihat banyak hal yang lebih layak di perdengarkan. Sangat jauh.

Terlebih lagi orang itu adalah orang yang menutup rapat-rapat tentang hidupnya.

"Hello Sweetie."

Dari jarak jauh pun Deby audah tahu siapa pelanggan yang sok tinggi tersebut. Terbukti dari ekspresi wajah yang terus mengangkat dagu dan alis.

Tubuh tegap, tatapan penuh penilaian, intimidasi, kemudian berdecih saat melihat orang yang ia lihat tak sesuai selera. Menganggu pandangan. Jijik.

Mata Deby beralih ke teman orang itu yang satunya lagi. Orang tersebut adalah sang target asli, sungguhan, dan tepat.

Arnold Arnais.

Cara menatap orang itu juga tak jauh beda dari sang sepupu.

"Selamat menikmati," ujar Deby terlihat biasa.

Mencolok, tidak.

Tak terjadi perubahan apapun dari orang itu. Stay cool. Kemudian tanpa memikirkan apa-apa hendak pergi dari tempat tersebut. Tak masalah, ia hanya perlu minggat dan tak melakukan apapun.

Because, this is work time.

"Baby, mau kemana?"

Tangan Deby mengepal kuat saat orang yang baru semalam tidur dengannya, orang yang main pergi tanpa pesan ataupun sesuatu seperti itu memegang tangannya. Bejad.

Sedangkan temannya hanya menatap tanpa ekspresi. Terkadang sesekali menyeringai. Itu adalah tontonan menarik yang sayang dilewatkan. Tak pernah Arnold lihat sebelum sang adik sepupu tertarik pada seorang perempuan. Kecuali untuk menjadi perempuan 'sampah.'

Tapi tidak sampai menjadi doggy juga sih, berbeda dengan ia yang punya stok doggy di mansion. Jika sudah bosan tinggal ambil yang baru.

"Permisi kami harus bekerja," ujar seseorang yang langsung menarik tangan Deby.

Orang itu adalah Lina. Mata elang perempuan itu tak melihat sedikitpun pada baik Zen maupun Arnold.

"Wow, aku tidak suka cerita klasik. Lebih menantang rank, daripada sok besar padahal kecil," celutuk Arnold sambil memakan satu potong Pizza.

Yang ia lihat jadi tak menarik saat ada pahlawan kesiangan yang berlagak sok besar. Bosan.

Harusnya ingat tempat lah. Posisi mereka ada dimana gitu.

"Hey, siapa namamu?"

Zen bertanya sambil melihat Lina memberi penilaian pada orang tersebut.

"Lumayan, Norldy. Tertarik?"

Wajah Lina dan Deby memegang. Mereka barangkah hingga main tawar?

Dasar gila!

"Maaf Tuan, kami harus bekerja. Permisi."

"Dia sudah menyewa kalian. Jam kerja bukanlah hal sulit ditembus. Tadi sih satu, tapi ternyata ada dua. No problem, tak masalah. Kalau hanya satu jadi kurang menarik."

Arnold terkekeh pelan. Ia jarang melakukan itu kalau bukan sebab tertentu. Lalu yang ia lihat sekarang adalah hal yang menarik. Karena itu, ia suka.

Sret!

Dalam sekali gerakan Lina berhasil melepas genggaman tangan Zen dari Deby. Hal itu tak membuat sang empu khawatir. Saat sedang di perlakukan kurang terhormat begini, tak ada salahnya marah.

Memangnya mereka bisa 'membeli' orang macam Deby dan Lina?

Tidak, mereka adalah pengecualian. Walaupun mereka memakai kuasa. Tak mudah.

Abaikan fakta Deby yang begitu mudahnya memberikan tubuh ke Zen, orang yang sedang menatap kesal.

"Ayolah baby, duduk sebentar, kami ingin bicara."

"Kami? Kau sendiri Zen. Aku tidak," celutuk Arnold tak setuju.

Ia kan hanya menemani saja, tidak lebih.

"Diamlah."

"Ouh, berani melawan sekarang?"

Dua perempuan itu berdecak kesal, kenapa ada orang model Zen dan Arnold menganggu hidup para perempuan malang?

Sayangnya mereka bukan salah satunya. Tidak sama sekali.

Bertengkar. Dasar tak tahu tempat.

Brak!

"Maaf, aku kesal," celutuk seseorang.

Who?


Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya