Bab 5

Lina memberi isyarat untuk Deby agar mereka pergi dari tempat itu. Bukan ranah maupun keharusan bagi terlibat pertengkaran model anak kecil dua orang sepupu tersebut.

Seseorang yang memukul meja tadi adalah Deby yang kehilangan kesabaran. Ingin rasanya melakukan hal yang lebih buruk daripada itu. Hanya saja tak boleh.

Mereka tak memiliki kuasa berlebih.

Bisa pergi dari tempat itu saja sudah bersyukur lahir batin. Ah lupakan.

Anggap saja mereka sedang hoky.

Kalaupun mau kiamat, lebih baik mati duluan daripada sok ikut. Hey, itu bukanlah pilihan terakhir. Walau mereka tak punya pilihan sekalipun.

Bukan, sayang.

Jauh berbeda.

"Aish..., lihat, calon istriku pergi gara-gara kamu."

Ekspresi kaget seketika terlihat pada wajah tampan Arnold. Apa tadi, Zen bilang calon istri?

Bukan doggy seperti miliknya?

Fiks, orang itu pasti sudah tidak waras.

"Wah..., kamu bermain lumpur babi sekarang?"

Wajah Arnold terlihat seperti menemukan bunga bangkai tumbuh di rumah. Bau menyengat yang sangat menyiksa. Yang mana sulit membasmi bunga tersebut sebab tidak hanya satu tapi ratusan.

You like, i love you 3000.

Tumbuh dan menguasai banyak tempat?

Jangan mengkhayal terlalu tinggi. Kalau jatuh sakit.

"Istri diatas keras, doggy atau apa?"

Ketimbang menerka-nerka, Arnold lebih suka langsung to the point. Apalagi yang berhubungan langsung dengan si adik kecil.

Sebuah keharusan untuk mengetahuinya.

"Maaf Mr. Arnais aku sibuk, pikirkanlah pakai otak udangmu itu."

Gigi Arnold menggerutuk geram. Dasar dungu, ia adalah orang yang berkedudukan lebih tinggi dari Zen. Berdasarkan silsilah keluarga mereka, yang tua harus di hormati. Seperti susunan kerajaan. Monarki absolut.

Harus hati-hati bersikap pada yang lebih tua. Tak boleh tak bertindak seenaknya. Terlebih lagi seseorang yang berada di bawah.

Garis keras tersebut tak dapat disingkirkan!

Arnold Arnais hanya menyeringai. Sikap sang adik sepupu tidak terlihat macam orang yang sedang jatuh cinta. Lebih mirip jatuh ke got. Yaks, jijik.

Lalu, siapa yang 'doggy' lucu disini?

"Apa Bibi sudah tahu mengenai rencana gilanya? Wow, tak pernah ku sangka kalau ia lebih liar dari yang sudah-sudah. Menarik. Aku juga butuh doggy baru. Baby girl sok kuat tadi lumayan."

Arnold menyeringai mirip iblis ajudan neraka. Bagus, menyiksa orang-orang berdosa adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Tempat roh mendapat balasan atas dosa mereka yang mengotori muka bumi.

Pantas.

Setiap orang akan mendapat balasan masing-masing untuk hidup yang diperbuat.

Masih menyempatkan diri mengambil sepotong pizza kemudian minum air berperisa jeruk nipis, Arnold pun mengikuti sang adik sepupu.

Baiklah, waktunya bersenang-senang.

Welcome to the darkness world.

Sret!

Zen menarik lengan Deby.

Orang itu menyeringai saat melihat sang mangsa lepas sebegitu mudah. Wow, mereka sedang syuting film action?

Bukankah tidak?

Menjijikkan.

Ia sadar jadi tontonan pengunjung. Pertama kedatangan mereka pun sudah menarik perhatian banyak orang. Orang tampan seperti mereka memang sulit tertebak.

Banyak orang yang histeris melihat ketampanan paripurna seseorang.

Oke, saat sampai ke ruangan baru mulai. Zen tak suka menjadi pusat perhatian. Ia terbiasa jadi bayangan dalam kegelapan.

Bukan sinar matahari. The sunshine, no, baby.

"Wah..., baru kali ini aku melihatmu mengejar-ngejar perempuan. Biasanya para doggy itu yang mengejarmu. So, bakalan jadi kisah klasik tak bermutukah? Tuan Zenit Alzero, selera humor Anda tak berkelas. Pergi ke kolong jembatan sana," seloroh Arnold santai sambil merangkul pinggang sang adik sepupu.

Romantis.

Kalau ingin tahu, pekerjaan kantor pasti sedang menumpuk dan 'si anak kecil' ini malah bersikap sok bisa menyelesaikannya saat sudah mendapat istri?

Kebodohan macam apa itu?

Jauh dari kata normal. Sebab biasanya seorang Zen suka ngedate dengan berkas-berkas kantor.

"Aku baik, daripada bertengkar, lebih baik kita menyeret guardian angel itu ke neraka," ujar Zen yang langsung menyingkirkan tangan kurang ajar sang kakak sepupu.

Wajah orang tersebut kentara tak suka diperlakukan seperti 'bayi mungil.' Jangan manjakan Zen!

"Damn, yes, lord."

Keduanya pun terkekeh pelan. Ini bukan tentang mau atau tidak. Harus ataupun bukan, hanya sudah tak sabar.

Pertengkaran sudah biasa antara kedua orang tersebut. Untuk itu tak boleh terlalu melebih-lebihkan. Santai.

Tak dibawa serius.

Emosi ada banyak, salah satunya membuat bahagia. Jadi segeralah bergegas sebab nanti setelah bahagia ada sedih.

Pakai ilmu Abu Nawas biar ngeh. Yang mana, kalau lagi sedih, maka orang tersebut senang minta ampun, nah giliran senang malah pengen nangis. Terbalik?

Tapi itulah yang namanya penyambutan.

Hubungannya dengan santai tadi?

Ya tinggal jalani saja. Tak perlu muluk-muluk.

"Ayo."

Kedua orang sepupu itu pun bergegas.

"Apapun yang terjadi nanti, jangan cegah. Cukup diam."

Dahi Arnold sempat menyeryit. Mirip orang dungu yang bingung sesaat. Tapi tak lama juga kok. Hanya menatap sebentar kemudian hilang terbawa angin.

Meski begitu ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres.

"Jadi, kita akan terjun ke dunia kekerasan?" Deby bertanya untuk mengetes tingkat IQ Lina, sang sahabat.

Ah tidak, hanya kepengen tahu saja kok. Gak masalah, kan?

Tapi hal itu memang penting.

Biasanya pendapat Lina yang suka nyeleneh itu menjelma sebagai hiburan tersendiri bagi Deby. Walaupun lebih banyak marahnya daripada terhibur.

Deby adalah orang jujur, tak menutup-nutupi. Itulah letak tujuan kenapa Deby memberi pertanyaan.

"Aku siap jadi doggy nakal sekaligus penurut. Akan ku sebar rabies disana."

Deby menyeringai oleh jawaban sang sahabat, namun ada hal lain yang menguasai pikirannya. Sang teman tak harus terlihat, ia tak punya hajad maupun tujuan apa-apa.

Deby sangat bersyukur sebab orang itu sudah menyelamatkan nyawanya dulu. Kalau ia melepas Lina ke kandang singa sendirian, sama saja membunuh teman berhati malaikat tersebut.

Orang yang walaupun seorang mate yang sudah ia 'tandai.' Meski begitu, jangan sampai. Terlalu jauh, Deby tak suka sang sahabat terlibat.

Nyawa yang bermain, bukan hanya keperawanan.

Bukan malaikat pencabut nyawa, Lina adalah orang malaikat baik-baik. Oleh sebab itu tak boleh sampai terlibat terlalu jauh.

"Tidak, jangan. Kita harus tinggal satu rumah, jangan sendiri-sendiri," ujar Deby cepat.

Ia tak bisa membiarkan Lina pergi menyerahkan 'nyawa' begitu mudah. Sangat tak masuk akal.

Sementara itu respon wajah sang sahabat terlihat tanpa ekspresi. Ia sadar, memang tak harus ikut campur terlalu dalam. Itu hanya akan membuat semua semakin bertambah buruk.

Terkhususnya untuk ia sendiri.

"Up to you, my lord."

Tak lama setelah itu, datanglah dua orang yang menatap mereka seolah-olah tengah berhadapan dengan makanan. Ngeri.

Kalau begini, masa iya terlihat lebih seram dari film horor?

Sebab memang begitulah situasinya.

"Cantik, bagaimana kalau kamu tinggal bersama kami. Oh, maaf untuk yang semalam."

Arnold tersenyum misterius. Zen sebenarnya tak pintar menggoda, merayu atau sesuatu semacam itu. Lha sekarang saat sang 'adik kecil' melakukan, terlihat mirip anak kuncing minta makan. Pakai puppy eyes pula.

Lengkap sudah.

Makin tambah menjijikkan.

Wait, kami?

Jadi, berempatkah?

What the hell!?

Mereka bukan orang India yang punya adat begitu. Lalu sekarang malah kelihatan menjijikkan kalau saking bersemangatnya mengambil keputusan sepihak.

Tinggal bersama, berempat?

Atau paling tidak berdekatan.

Kalau Zen sih memang bisa, tapi Arnold, no!

Tidak mungkin!

"Kami?"

Ekspresi wajah Lina mirip orang di kolong jembatan bertemu idol Korea. Cengo, habis lihat blasteran Korea-surga. Ganteng gak ketulungan.

Lalu sekarang malah berganti melihat hantu nyangkut di pohon. Makhluk tak kasat mata itu adalah dua laki-laki dihadapan mereka.

Jadi kebetulan macam apa, sampai mereka sepemikiran?

"Tentu, aku tak suka campur tangan keluarga. Jadi akan punya mansion berdekatan. Kalian bisa menyebutnya tetangga."

"Tunggu, kau tidak sedang menjebakku, Mr. Zenit Alzero. Bibi tak akan suka 'anak anjing' yang memberontak. Ingat, kedudukan keluarga kami lebih tinggi darimu. Jangan bermain-main denganku."

Napas Arnold mulai tak teratur, ia marah dengan yang ia alami sekarang. Jangan anggap Arnold sok cerdas hanya untuk melihat lebih dalam. Ia seorang mafia, sudah wajar mencium bau-bau ketidakwajaran.

'Baby birdnya' ini harus ia kendalikan. Jangan terbang terlalu jauh. Itu tak baik. Nanti tersesat.

"Tidak, Kak. Santai, orang-orang ini harus diperlakukan khusus. Trust me."

"Jangan campuri urusanku. Selama ini aku tak butuh bantuanmu soal doggy," balas Arnold tak terima.

"Doggy? Jadi, Anda sugar daddy, Tuan? Mohon maaf, kalau begitu carilah orang yang lebih tepat, kami bukan salah satunya."

Tangan Arnold terangkat untuk menggaruk kepala belakangnya. Apa yang salah, itu bukanlah hal buruk, cukup menantang juga ternyata.

Seorang mafia memang suka yang menantang ketimbang perempuan lemah sok tinggi.

Nah... yang yang ia hadapi sekarang, pura-pura kuat atau memang itulah kenyataannya?

Harus dites dulu. Jangan-jangan hanya besar mulut. Tong kosong nyaring bunyinya. Katak dalam tempurung. Semut yang melawan gajah, sayangnya sang gajah bukan menginjak, akan tetapi menyentil sedikit. Pasti mampus, pakai trik lumayan.

Bugh!

"Wow..., kalian Intel?"

Deby menatap nyalang Arnold yang tiba-tiba menyerang Lina. Beruntung perempuan itu gesit, kalau tidak sudah bonyok itu wajah cantiknya. Akibat pukulan tiba-tiba yang meleset, tangan Arnold terkena meja.

Sakit, paling tidak begitulah.

Arnold memainkan lidah dalam mulut, kali ini memakai jurus andalan.

Tak ada yang mampu menangkis ataupun selamat dari serangan tersebut. Kecuali, berteman dengan malaikat pencabut nyawa.

Arnold memang gila, itu tempat umum!


Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya