Bab 6

"Kita butuh jalan ke neraka?" bisik Lina ke Deby yang sedari tadi memasang wajah tegang.

Bagaimana mungkin Lina terlihat baik-baik saja setelah mereka masuk neraka begini?

Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk mengatakan hal tak berkelas seperti yang orang itu lakukan biasanya. Dasar, harusnya gak terlalu mendalami peran.

Lihatlah, mereka sudah masuk terlalu jauh.

Hah..., Deby tak habis pikir.

Tadi ia harus turun tangan membantu sang sahabat, ya..., walau ternyata tak terlalu berpengaruh. Hasil 'didikan' keras Deby sudah menyatu ke sum-sum tulang sang sahabat. Harusnya mereka menjadi TNI, Intel, polisi atau sesuatu seperti itu. Biar gak rasa tersesat.

Life is funny.

But, Lina is perfect!

"Nanti kita harus dandan cantik? Aku jadi kepengen porotin uang mereka. Aku akan jadi doggy penurut kalau sudah di kasih makan. Kalau aksesoris gak masalah. Aku cuma mau makan," ujar Lina dengan mata berbinar.

Ibarat seorang anak kecil tak makan berhari-hari kemudian lihat makanan enak. Lihat makanan turun dari surga.

Bukan tatapan mata seorang lelaki hidung belang yang lagi jelalatan sama perempuan nakal. Tatapan Lina lebih polos. Jadi jangan samakan. Ia jelas berbeda.

"Berhenti bersikap bodoh Lin. Kamu membuatku takut."

Bibir perempuan itu menggerucut lucu, apa sih salahnya 'main cepat.' Bereksplorasi biar lebih 'wow.'

Seperti biasa, Deby kaku gak ketulungan.

"This is the darkness world, bukan dunia percintaan sederhana seperti yang ada dalam pikiranmu."

Perkataan Deby sama sekali tak dihiraukan oleh Lina. Sekarang, orang itu sibuk melihat mansion megah yang ada dihadapannya. Ia tentu saja tahu kalau tempat itu punya banyak siksaan yang tak ada habisnya, tapi ya mau bagaimana, ia senang melihat tempat tinggal bak istana tersebut.

Pasti menyenangkan tinggal 'didalam.'

Maybe, dari cover mengatakan itu.

"Kalau aku kepengen main, bisa tidak?"

Percuma bicara dengan Lina yang lagi mode ABG PMS begini, akan lebih baik hentikan. Biar cepat kelar.

'Orang gila' ini memang sangat menyusahkan. Tak tertebak emosinya.

"Wow..., belum pernah mampir ke mimpiku menginjakkan kaki di tempat megah begini. Ternyata lebih menarik," pungkas Lina masih terus menatap kagum gedung maha mewah yang ada di hadapannya.

Kalau begini, jangan heran ada lalat masuk ke mulut orang itu. Atau mungkin, air liur keluar yang menyatakan bahwa orang itu dungu.

"Hey cantik, jangan bersikap menggemaskan."

Lina langsung beringsut menghindar saat ia mendapat satu kecupan ringan di pipinya. Jadi..., mulai malam ini ia harus jadi doggy penurut?

Merelakan keperawanan untuk orang yang bahkan hanya mau kepuasan dunia?

Ck, betapa kejamnya hidup. Lina tak suka. Tak ada satu orangpun yang mau kok, kecuali oleh sebab himpitan ekonomi.

Dengan kata lain, terpaksa.

"Jangan macam-macam, Tuan. Kita baru akan bertemu keluarga Anda. Jadi tahan dulu nafsumu. Pakai doggy yang lama dulu ya."

Sebegitu mudah Lina menyebut kata doggy padahal ia sendiri juga akan menjadi istilah tersebut. Tak ada yang lebih buruk?

Lina memang wow.

"Ayolah luv, aku sudah tidak sabar."

Dengan menyeringai, Lina pun bicara. Ia tak suka, "akan ku buat little angry birdmu tak bisa hidup lagi, Tuan."

Wajah Arnold langsung tanpa ekspresi. Perempuan yang ia hadapi saat ini bukan sembarang orang. Untuk itu, tak boleh gegabah. Tadi saja bisa menangkis jurus andalan miliknya.

Hanya merealisasikan hal yang Lina katakan bukanlah sesuatu yang sulit. Kecil, semudah membalikkan telapak tangan.

Maybe, begitulah kira-kira.

"Ayolah luv. Jangan galak-galak."

"Hentikan dramanya, ayo masuk," ujar Zen yang langsung pergi dari tempat tersebut.

Bisa gila ia lama-lama dengan orang model Arnold yang lagi bucin. Padahal aslinya swag, lah sekarang malah jadi tsundere level dewi Amour?

Mau muntah rasanya.

"Apa lihat-lihat?" sungut Zen sambil menatap tak suka Deby.

Sedangkan orang tersebut hanya mendengus kesal.

Saat pertama kali menginjakkan kaki ke rumah megah tersebut, kedua perempuan itu hanya tanpa ekspresi. Perempuan paruh baya langsung menatap tak suka pada keduanya. Disusul oleh satu perempuan paruh baya lain.

Tatapan yang syarat akan penilaian.

"Siapa nama perempuan cantik ini?"

Alis Deby terangkat.

Tak percaya cover atau memang sok bersikap ramah?

Jangan bilang hanya untuk mengetes.

Pasti tak sembarang orang yang bisa menginjakkan kaki ke mansion keluarga besar ini. Lebih tepatnya tempat perkumpulan khusus keluarga besar.

"Calon istri kami, Mama dan Bibi."

Wah..., semudah itu?

Berdasarkan kesepakatan sih memang begitu, tapi kenapa rasanya aneh?

Ibarat makan kue basi yang mana mau memuntahkan semua yang masuk ke perut. Hello ini bukan April mop, bercandanya jangan di bikin lucu.

Mendalami peran.

Berusaha terlihat normal, sedikit senyuman ramah, bersikap baik, hormat atau sesuatu seperti itulah. Kira-kira kurang lebih begitu, Deby pun memberanikan diri bicara.

"Halo Bibi. Perkenalkan namaku Deby dan ini Lina, temanku."

Mata salah satu bibi tersebut menyeryit. Bukan bingung penyebabnya, hanya seperti tak asing dengan wajah dua orang yang berada dihadapannya sekarang.

"Bukankah kalian yang bekerja di restoran pizza?"

Satu bibi yang lain tersenyum tak nyaman. Lalu tanpa membuang banyak waktu langsung menyuruh orang-orang tersebut masuk ke mansion. Setidaknya mereka duduk dulu. Mengenai hal 'keluar,' nanti saja. Tak boleh terlalu mempertunjukkan bakat membuat sakit hati.

Tergantung situasi nantinya.

Napas Deby dan Lina tercekat. Haruskah mereka terlihat sebegitu melara

Lebih jelek, wajah sok tenang padahal khawatir bukan main. Semua terasa sulit bahkan dari saat mengerjakan UN Matematika.

Bagian hitung-hitungan, Lina sering pusing.

"Anggaplah rumah sendiri, sayang."

Siapa yang dipanggil sayang?

Ah sudahlah, lupakan itu.

Hal yang lebih penting sekarang adalah bagaimana cara meyakinkan kedua orang yang menjabat sebagai ibu sang penjahat. Orang-orang tinggi seperti mereka pasti punya kriteria penilaian yang tidak bisa dianggap main-main.

Mereka yang hanya seorang karyawan pizza tak mungkin mudah 'diterima.'

"Dengar, ku pikir kalian bukan sembarangan orang. Meski seorang karyawan biasa, kalian pasti punya sesuatu yang menarik perhatian orang-orang ini. Jadi apa itu?"

Nyonya Alzero bicara. Bukan mengenai keyakinan, percaya ataupun menguji, hanya tentang sang putra tunggal yang pasti tertarik. Lalu apa yang membuat orang tersebut tertarik, hal itulah yang ingin diketahui oleh sang ibu. Tak lebih.

"Mereka bisa beladiri dan menantang. Selain itu..., mereka istimewa sebab Deby adalah, putri Laurienza."

Kedua orang tersebut pun langsung melihat pada Zen yang bicara begitu. Belum apa-apa mereka sudah tertangkap basah. Sial, ini lebih buruk daripada masuk ke perangkap tikus.

Holy shit, damn it, fuck!!!

Apalagi yang kurang!?

Tidak ada!

Sedangkan Arnold Arnais melihat Deby yang terlihat serba salah.

Baru ia tahu, yang terjadi sekarang adalah hal terbodoh yang pernah ia lakukan seumur hidup. Dasar gila, apa yang harus ia perbuat!?

Sementara itu, dari sudut pandang Deby dan Lina. Zen memang tak bisa ditebak. Semudah itu main bongkar.

Lalu sekarang bagaimana!?

"Orang ini putri Laurienza!? Sial, harus dimusnahkan!"

Setelah mengatakan itu Arnold pun langsung bangkit dari tempat duduknya. Ia tak bisa membiarkan penyusup masuk begitu mudah. Pantas saja 'si anak kurang ajar,' 'little bird,' Zenit langsung melakukan hal gila. Ternyata ada berlian yang rugi tak dijinakkan.

Jinak?

Arnold pun seketika langsung kembali duduk. Menarik, serbuk berlian terlalu menarik untuk dihabisi. Akan lebih baik kalau di jadikan sesuatu yang berharga, seperti hakikat benda itu sendiri.

"Apa yang kamu katakan, Zen. Tak mungkin anak Laurienza selamat. Lalu siapa orang yang disampingnya?"

Nonya Arnais bertanya. Ia yang paling banyak terlibat, keluarga mereka yang menghabisi kepala keluarga sekaligus ketua mafia Laurienza tersebut.

Jadi harus lebih berhati-hati, tak mungkin mereka kecolongan begitu mudah. Perempuan yang sedang berada dihadapan mereka bukan orang sembarangan. Oleh sebab itu tak boleh masuk.

"Maaf nonya-nonya dan tuan-tuan sekalian. Kami adalah..., maksudku benar yang dikatakan oleh tuan Alzero. Deby adalah anak bungsu tuan Laurienza. Aku yang menyelamatkan orang ini saat ia terluka parah. Oleh sebab itu, aku pun juga termasuk bagian dari Laurienza."

Deby langsung menundukkan wajah. Lina adalah orang luar yang sudah ia 'tandai.' Tato khusus orang-orang Laurienza bertengger manis di pinggang orang tersebut.

Deby sendiri yang melakukan hal tersebut. Tentu saja dengan ritual yang sang keluarga ajarkan.

Saat pembantaian tersebut, usia Deby baru sepuluh tahun. Jadi bisa bayangkan, saat usia lima tahun ia harus melihat banyak darah, tusukan pisau, benda tajam ataupun pistol. Bahkan menjilat darah manusia pun sudah Deby kecil lakukan.

Itu sudah biasa. Berbagai macam ritual aneh lagi gila sudah akrab dalam hidupnya.

Lebih jauh, pembunuhan pertama yang Deby kecil lalukan saat ia berusia 8 tahun.

Lalu ritual pengangkatan seorang pengikut adalah dengan melukai orang tersebut. Menorehkan 'tanda' tanpa obat bius, anestesi ataupun benda steril. Semua dilakukan dengan pisau belati tajam yang langsung menusuk kulit.

Lalu Deby berhasil melakukan itu untuk Lina.

"Buktikan."

"Lin-lina."

Sret.

Semua orang meneguk ludah susah payah saat melihat tanda kutukan yang memang hanya dimiliki oleh orang-orang Laurienza. Lina kembali menutup bajunya lalu melihat Deby yang pucat pasi.

Tak pernah ia bayangkan kalau mereka akan berakhir menyedihkan begitu.

Sekarang, apalagi yang harus mereka lakukan?

Semua terasa gila!

Terbongkar!

"Aku setuju, menikahlah."

Nonya Arnais pun menatap marah kepada adik iparnya. Mereka punya hubungan keluarga yang kuat, kepala keluarga Alzero dan Arnais adalah sepasang saudara.

Jadi sekarang?

"Bitch, apa yang kamu lakukan!?"

Nonya Arnais tak terima.


Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya