Bab 7
"Jadi, orang ini yang kamu maksud itu, sayang?"
Sang kepala keluarga, lebih tepatnya Jams Arnais bertanya.
Nyonya Arnais tanpa ekspresi. Setelah tadi sempat cekcok, pada akhirnya ia harus mengalah. Kalau dalam sistem demokrasi, suara terbanyak yang memang. Lalu tiga orang memilih setuju, hanya Anna Arnais yang tak suka. Ibunda Arnold Arnais.
Dalam keluarga mereka bukan yang mau dan tidak, akan tetapi harus.
Kalau kalah, tak ada yang namanya musyawarah, yang ada hanyalah langsung melakukan. Done.
"Jadi, apa keputusan kalian?"
"Keputusan, setuju. Nanti kita bicara lagi dan sekarang kita nikahkan mereka," ujar kepala keluarga Alzero.
Pun tak mendapat penolakan dari siapapun, termasuk Jams Arnais, sang kakak.
Deby melihat Lina yang terlihat biasa saja. Tak ada yang salah, mereka akan menikah dan itu baik. Memangnya kenapa?
Hubungan antara mereka adalah sesuatu yang baik.
Main terobos?
Maybe. Yang jelas sekarang sudah mulai bermain.
Itu bukanlah hal sulit. Yah..., meskipun dalam situasi ini mereka para perempuan yang paling banyak terjepit. Baik Zen maupun Arnold tak mudah ditaklukkan. Pasti sangat sulit.
Posisi mereka pun juga terbongkar, hal itu akan membuat orang-orang tersebut berperilaku tak terduga.
Dasar Zenit Alzero bajingan, brengsek, orang paling tak baik, maksudnya jahat!
"Ayo lakukan," kata Zen.
"Sial, haruskah terlihat begitu mudah?"
Deby menggerutu dalam hati.
"Ikut aku," ujar Zen yang mengamit tangan Deby begitupun Arnold yang membawa Lina.
Tamatlah riwayat orang-orang yang awal mulanya hidup normal. Sekarang, setelah yang terjadi, kemungkinan besar kedua orang tersebut terjun balik di jurang.
"Siapkan mereka dalam waktu sepuluh menit. Kami akan menikah."
Satu tarikan napas lelah Deby muncul ke permukaan. Begitu mudahnya kah mereka melakukan hal tersebut?
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, lalu sekarang malah main nikah ibarat membangun rumah-rumahan?
Kalau bosan tinggal rubuh. Sedarhana.
Wah..., adakah yang lebih buruk!?
"Deby..., kok aku deg-degan?"
"Bodoh, kita menikah dadakan. Apa itu pernah ada dalam mimpimu?"
"Tidak," balas Lina sambil menggelengkan kepala.
Ia sama sekali tak terganggu saat para maid mansion membuka ikat rambut asal-asalannya. Cukup rapi sih sebab mereka tadi bekerja. Lalu sekarang sudah pukul 19.30. Pernikahan paling dadakan yang pernah seseorang alami.
Hanya satu kalimat, wow!
"Nona..., silahkan ganti baju Anda."
Kedua perempuan itu menatap horor gaun pernikahan mewah yang sangat terbuka tersebut. Yang baru saja datang. Pasti kedua orang gila tadi yang memesannya.
"Ppssstt, By, itu serius kita harus pakai? 'Tanda' di lehermu pasti kelihatan lho. Punggung juga. Kalau yang di punggung itu tanda kutukan."
Lina langsung mengalihkan pandangan saat berhadapan dengan wajah datar bak triplek Deby. Terkadang, walau batasan tak terlalu terlihat antara mereka, hal itu cukup membuat sakit hati. Sentil yang paling mengena.
Tahu, 'sebejad-bejadnya' perlakuan Lina ke Deby, sang 'atasan,' ia tak mampu berhadapan dengan wajah menyeramkan sang sahabat.
Aura yang orang itu pancarkan terlalu bikin takut. Itulah sebabnya tak mampu.
Tatapan tersebut seperti mengandung laser tersendiri. Faktanya, orang itu adalah pemimpin, tak dapat Lina sngkal.
"Biarkan, ayo selesaikan ini sekarang. Aku sudah tak sanggup lagi. Lelah, kepengen tidur, nanti stylish rambut biar aku yang tentukan," ujar Deby yang terlihat cuek.
Mengambil gaun tersebut kemudian memakainya. Bukanlah sesuatu yang sulit, kok.
"Ck, kemungkinan bisa tidur itu hanya 10% Baby, sisanya melalui malam panas."
Tanpa menghiraukan para maid yang sesekali melirik takut pada Deby dan Lina, si evil bobrok itu langsung bicara. Bukan masalah, kok.
Malahan, satu kali tak bicara, itu merupakan kiamat sementara bagi orang tersebut.
"Ayolah..., kamu yang memang hanya 0,01%. Aku sih lumayan 10%."
Lina berdecak kesal, lalu menarik tangan sang sahabat sekaligus lord tersebut untuk keruang khusus ganti baju.
"Permisi, ini kan tempatnya?"
"Benar, Nona."
Setelah mendapat jawaban, Lina pun menarik tangan sang sahabat. Ia lebih suka menganggap begitu ketimbang, lord. Ya walaupun ada batasan transparan yang tak bisa ditembus.
Maklumlah..., dewi devil memang begitu.
"Wah..., aku merasa seperti putri Disney. Apa ya, Cinderella?"
Deby muak, kapan sih otak sang 'teman tidur' ini waras?
Sebenar-benarnya.
Padahal baru saja lulus plus tambahan predikat cumlaude lho. Lebih tepatnya kedua orang itu lulus dari kampus ternama dengan hasil memuaskan.
Sama-sama cumlaude. Jurusan beda namun fakultas sama.
Lah, siapa sangka memilih jadi karyawan di tempat penjualan pizza?
"Setelah ini kita masih akan bekerja tidak? Bagaimana kalau ganti job. Jadi sekretaris. Kan kita juga fakultas Manajemen."
"Berhenti bicara atau aku akan memotong lidahmu."
"Abaikan orang ini ya. Sejujurnya ia orang yang lembut, baik dan tak suka bicara. Harap maklum."
Deby mengepalkan tangan kuat. Kenapa ia mendapat ajudan macam Lina?
Akan lebih baik tidak dapat sama sekali. Menyebalkan!
Harusnya sekarang mereka tidur, berlabuh ke pulau kapuk. Bukan berganti status jadi istri dadakan. Bagus tuh judulnya.
Mau mengatakan sesuatu?
"Hah..., gak bakalan rame nih acaranya. Kita kan main nikah-nikahan."
Nasib, look, sekarang mulut Lina kena sumpal. Tapi..., syukur sih, bukan kaos kaki, barang ajaib atau sesuatu semacam itu, yang ada hanyalah kue tak jauh dari mereka.
Dengan semangat Lina pun mengunyah kue tersebut. Kalau soal makanan paling cepat itu anak. Minta ampun dah. Padahal tubuhnya gak besar, sebaliknya bisa disebut ideal. Lah tahu-tahu kelihatan sangat cantik dengan tubuh gemulai bak idol girl group Korea.
Harusnya kan tak begitu. Porsi makannya itu lho. Sudah mirip raksasa.
"Hem..., rasa kue ini enak, mau lagi ah."
"Pukul orang itu Nona maid, kalau dia menyusahkan. Tak perlu takut, biar aku yang mengurus dia."
"Benar, lakukan apa yang orang itu katakan, Nona. She is my lord."
Maid tersebut hanya tersenyum setengah memaksa. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana tuan muda mereka mendapat orang model Lina dan Deby?
Terutama Lina.
"Wah..., aku cantik," ujar Lina berbinar-binar.
Ceklek.
Kedua orang itu pun melihat seseorang yang membuka pintu tersebut. Masing-masing dari dua perempuan itu terlihat sangat cantik dengan balutan gaun pengantin yang menampilkan belahan dada. Punggung yang terbuka serta ribet.
Berat lho.
Baik Zen maupun Arnold terpaku selama beberapa detik melihat dua sahabat tersebut berubah total. Terlalu cantik hingga mereka sulit mengenali. Tak pernah terpikirkan oleh mereka kalau orang-orang tersebut bisa secantik itu, mirip bidadari.
Sejak awal sih memang sudah cantik apalagi sudah dipoles, makin tambah sempurna.
"Wow. Lumayan."
Sakit hati. Kok hanya lumayan?
"Ayo By, kita harus cepat. Biar selesai," ujar Lina yang langsung mengamit tangan sang sahabat sekaligus lordnya.
Kapan lagi bertemu seorang lord rasa friend?
Jarang, sayang.
Terlebih lagi untuk orang bobrok model Lina.
"Tunggu, kalau tidak, ku telanjangi sekarang," ujar Arnold dengan tangan yang memegang lengan 'pengantinnya.'
"In your dream, Mr. Arnais. Excusme," balas sang empu santai.
"Bitch."
Ingin sekali rasanya Arnold mencekik leher orang yang mengabaikan perintahnya. Selama ini tak ada orang berani melakukan itu.
"Jangan, nanti kau di pukul oleh dia. Ingat, teknik beladiri rahasiamu pun berhasil dia tangkis. Itulah sebabnya aku mau kita menikah dengan mereka. Dunia presdir berpadu kamuflase pasti butuh yang namanya orang pintar sekaligus kuat fisik. Bukan salah satunya."
"Zaman perang sudah lewat, Zen. Ayolah, sekarang sudah 4.0. Jangan mengada-ada," balas Arnold cepat.
Tak perlu sulit-sulit membaca pikiran sang sepupu. Mudah, hanya perlu beberapa peluang, setelah itu selesai. Tak perlu repot-repot.
Karena itulah, ia setuju melaksanakan pernikahan. Namun saat ada celah, masih sempat-sempatnya menyangkal.
Tak ingin kalah menjadi faktor utama.
"Aku lebih suka makan daripada beraktivitas panas. Masa iya, hidup kita harus menyerah ke orang seperti mereka?" celoteh Lina saat mereka berada di perjalanan.
"Yah..., mau bagaimana lagi? Eh, kita salah jalan tidak sih?"
Deby bertanya. Lina kadang suka jadi orang dungu sok pintar. Langsung main terobos padahal sudah jelas-jelas salah. Sekarang ia tak mau ikut aliran sesat Lina.
"Diam, aku ini bukan hanya cerdas, tapi insting juga bagus. Kamu tinggal diam," sunggut sang bawahan ke atasan.
Ia memang harus melakukan itu, biar Deby diam. Hubungan mereka kadang tak bisa diterka, terlihat seperti dua anak kecil yang bisa diam, makan kue atau bahkan berebut mainan. Padahal sangat terlihat jelas perbedaan antara kedua orang tersebut.
Namun ya, memang begitulah, bakalan sulit luar dalam. Dari kecil sudah biasa berkelahi dan selisih paham. Mau sampai ayam jantan bertelur pun, kedua orang itu sering berlagak sesuka hati.
Lebih tepatnya Lina. Kalau Deby waras.
"Ikut aku dan jangan banyak tingkah."
Deby risih oleh perlakuan Zen padanya. Saat tiba-tiba datang langsung menarik tangan ibarat ia itu tali tambang.
Tak pernah Deby pikir, kalau ia akan menjadi istri doggy orang tersebut. Ah entahlah..., akan jadi apa mereka nanti.
Istri atas kertas, tak dianggap, habis manis sepah dibuang atau apa, terserahlah.
Tak mau ambil pusing.
"Aku mau ikut kalau dikasih makan, janji bakalan jadi doggy penurut."
"Lina," ujar Deby tajam.
Tangan perempuan itu sudah bersiap untuk memukul sesuatu.
Dasar Lina sialan!
