Bab 8

Sang empu hanya menunjukkan senyuman khas. Mereka bukan anak kecil yang sedang ditipu dengan iming-iming permen. Tak mungkin rela tubuh diberi tanpa pemikiran panjang.

Aduh..., ribet. Apa yang mereka lakukan?

Tangan Deby mengepal kuat, tanpa sadar langsung meraih gaunnya hingga baju tersebut hampir robek kalau tidak di tahan oleh si 'calon suami.'

Gila, kan?

Adakah yang lebih buruk?

Silahkan. Tak ada yang salah, kok. Hujat lah seperti apa yang ada dalam pikiran tuan dan puan sekalian.

Deby menatap marah.

"Sorry, ayo. Ini sudah kepalang basah juga. Jangan ceramah."

Deby menggelengkan kepala. Apa-apaan sih Lina. Rasanya tersinggung lahir batin. Sangat ingin membunuh orang itu kemudian mayatnya dikasih ke buaya. Biar dicabik-cabik.

Ah tidak, itu terlalu menakutkan.

Singkat cerita, pernikahan pun berjalan lancar, khidmat dan tak ada gangguan berarti. Hanya tinggal ke kamar masing-masing.

Tak perlu ribet-ribet. Cukup langsung.

Ya..., harusnya tak sesederhana itu. Hanya saja, memang sudah terjadi. Untuk itu tak terlihat hal baik ataupun buruk antara mereka. Semua tercampur rata.

Kesulitan adalah hal yang tak bisa dibendung.

Seperti yang Lina mau, ia pun dikasih makan oleh Arnold. Sedangkan Deby hanya menatap datar. Ia bersama wajah datarnya adalah satu kesatuan. Jarang tersenyum.

Pernikahan ekstrem.

"Ayo ke kamar."

Lina berdecak kesal, tak sabaran sekali sih!

Bisakah, jangan sok cepat begitu. Kesan imagenya mana!?

"Nanti, aku masih mau makan," balas orang tersebut cuek.

"Apa itu benar ajudan kepercayaanmu?"

Deby mengalihkan pandangan kepada Zen. Saat ia lihat ternyata orang itu sedang menatap lurus, seakan-akan sedang meminta penjelasan. Yang bertanya itu memang adalah Zen, orang yang sekarang menjadi suami sah dari Deby.

"Aku lebih suka menyebut dia teman ketimbang ajudan. Ayo ke kamar."

Zen menyeringai, posisi mereka terbalik. Tidak, Zen tahu bahwa orang itu ingin bicara.

Kalau tidak, pasti marah-marah. 'Membunuh' banyak orang, terutama ia sendiri.

"Wow, adik, kamu sudah tidak sabar?" celutuk Arnold menaik turunkan alisnya.

The next, orang itu melakukan gerakan menggoda. Deby adalah orang yang sangat menarik untuk Arnold teliti.

Kalau bertanya lebih menarik Deby atau Lina, dari sudut pandang Arnold Arnais, tentu saja jawabannya adalah Deby.

Orang itu keturunan langsung si pembunuh haus darah.

"Ehem, aku ya yang istri doggymu, bukan Baby," celutuk Lina sambil masih tetap makan.

Bukan hal sulit baginya melakukan hal tersebut.

Marah, tentu!

Tersinggung lahir batin, namun masih santai.

"Wow, kalian berisik, membuatku pusing. Jadi kamu menjadi mate, bukan teman berkedok lord."

Arnold menyeringai saat baru saja bjcara.

Sedangkan Zen menatap jengah, kapan hal ini berhenti?

Menyebalkan!

Ia muak

"Ah..., ku rasa kita tidak normal. Ayolah..., aku mau makan banyak, setelah ini baru melaksanakan malam pertama."

Zen hanya membuang wajah, tak sanggup dengan pikiran gila orang-orang tersebut. Terlalu membosankan.

Kapan ia bisa lepas dari situasi menyebalkan itu?

"Perlakuan dia dengan baik, Mr. Arnold. Kalau tidak, dia sendiri yang akan mematahkan lehermu. Ia tak sebodoh kelihatannya. Lina, jaga diri dengan baik."

"Tentu, lord. Jangan khawatirkan aku."

Tak ada tamu undangan. Yang ada hanya keluarga besar. Setelah itu tak ada apapun lagi.

Good bye, cerita princes tak cocok untuk banyak orang. Sebagian atau secara keseluruhan.

Ya..., bukan apa-apa sih. Bagi Deby semua terasa nyata, bukan reality display.

Sekarang bukan sedang melakukan discovery drama.

Tak ada kata tulus, cinta kasih sayang atau rindu. Yang ada hanyalah, tak mampu mengimbangi diri. Only it.


Di kamar.

"Sialan, apa yang kau perbuat? Menceritakan semuanya? Oh ya Tuhan, aku adalah orang kerdil dungu yang mudah tertipu. Lalu sekarang malah jadi doggy penurut? Camkan ini, jangan menganggap remeh aku dan Lina. Dalam darah kami mengalir kekejaman. Kalian mau membunuh kami secara perlahan, kalian sendiri yang akan terbunuh."

Napas Deby memburu saat mengatakan hal tersebut. Ia tak bisa diam, ingin marah setiap saat!

Terlebih lagi dengan respon si orang gila yang sialnya adalah suaminya mulai sekarang hanya menatap lurus. Rasanya ingin menenggelamkan orang tersebut ke dasar bumi!

Jangan muncul!

"Tenanglah Sweetie. Nanti jadi sekretarisku ya, biar kita sering sama-sama."

"Sinting," ujar Deby misuh-misuh.

Ia kesal!

Ada apa dengan rencana balas dendamnya!?

"Duduk, tarik napas, buang. Lakukan perlahan-lahan."

Pada akhirnya Deby pun melakukan hal tersebut. Entahlah, ia terasa sangat bodoh. Sekarang malah jadi gila oleh semua hal yang terjadi.

Tenang, masih bisakah?

"Ku pastikan kamu menyesal, tuan Zenit Alzero. Memangnya ada rasa cinta dari dalam dirimu? Tulus? Kan tidak mungkin," sungut Deby yang membuang wajah, ia tak mau terjebak dengan orang macam Zen.

Wajahnya itu buat muak!

Rasanya sangat ingin mematahkan leher orang tersebut!

Hey, kenapa tidak dilakukan?

Dasar bermulut besar!

"Siapa yang bicara soal cinta, Sweetie?"

Krek!

Kalimat tak akan bisa mengubah apapun, oleh karena itu, tindakan keluar.

"Akh, sial."

Deby terkekeh melihat Zen menegang leher yang habis di pelintir olehnya. Rasakan, namun tidak terlalu kuat juga sih, sebab, orang itu lebih gesit bertahan kemudian menangkis.

Dalam kamus hidup Deby, done. Bukan menggerutu. Setidaknya biar kelihatan sedikit walau tak banyak.

"Itu hukuman sebab kamu membongkar identitasku depan semua orang. Harusnya sekarang kau ku bunuh biar tamat. Aish, arwah keluargaku pasti akan membunuhmu di alam lain."

"Maksudmu menghantui?" tanya Zen sambil masih berusaha memperbaiki urat lehernya.

Kalau tadi ia tak cepat bertindak dan bertahan, sudah pasti nyawa tak lagi berada di tubuh. Melayang.

Susunan gila sebab ia yang harus pergi dari tempat tersebut. Hey, Zen anggota keluarga termuda.

"Kamu ini psikopat ya?"

Deby mendelik ke Zen. Lalu dengan cepat orang itu pun merespon perkataan orang tersebut. Ia sama sekali takut, potong leher Deby kalau dia takut!

"Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus menjadikanku istri sesungguhnya, bukan yang aneh-aneh. Terserah mau percaya cinta atau tidak. Lakukan hubungan intim hanya denganku."

Zen tersenyum misterius, tak pernah ia duga kalau ternyata a little wifenya semanis ini saat sedang marah. Sekarang, katakan selamat tinggal pada dunia kekerasan, itu sudah lewat masanya.

Fokus mereka sekarang adalah mengenai perusaan, bisnis dan saham. Bukan lagi mafia yang walaupun masih berjaya sampai sekarang, namun mereka sudah beralih tempat.

Bukan lagi masa kelam tersebut.

"Apa yang kamu lihat?" seloroh Deby yang kemudian langsung membuang wajah.

"Begini, aku memang tidak percaya dengan sesuatu yang seperti itu. Terlalu merepotkan. Tapi aku percaya sifat setia. Para karyawan, pengawal, ajudan dan pegawai rela melakukan apapun. Mereka setia dan aku sangat menghargai sifat itu. Ini tentang dunia gelap, sayang. Bagaimana kalau kita tidak harus membenci cinta?"

Deby langsung mendengus geli, apa sih yang orang ini katakan. Sok kelihatan imut, bijaksana atau apalah. Apa ada yang lebih buruk, setidaknya 'wow.' Ah entahlah, rasanya jadi jijik.

"Begini..., aku bukan hanya mau keturunan darimu, aku juga ingin menjalani hidup normal. Hanya antara kita. Kamu pasti setuju, kan?"

"Kau pikir aku bodoh? Tujuan awalku datang ketempat ini adalah untuk balas dendam, bukan membangun keluarga. Lalu percaya denganmu itu sama dengan aku pindah keyakinan. Aku harus terlahir kembali jadi rumput baru percaya," dengus Deby sambil menatap lagi-lagi tanpa ekspresi.

Memangnya ia apa yang harus main percaya?

Bukan anak kecil.

"Aku serius, mau kamu percaya atau tidak, inilah yang ku inginkan. Sekarang tugas kita adalah membuat mate-mu itu percaya. Sebab ya, kamu tahu, aku muak dengan sikap sok beringas Arnold. Pasti akan layak kalau dia lebih 'imut' dan jadi anak baik. Kami sudah dewasa, tapi aku merasa ia kurang baik dari segi sudut pikiran. Makanya ku buat ia menikah."

"Siapa kamu yang membuat dendam keluargaku berubah jadi misi tak berkelas? Darah harus dibalas darah, bukan candaan. Aku tak akan pernah rela. Bahkan mendiang keluargaku pun juga begitu. Kalau mereka bangkit untuk membunuh, jangan salahkan aku. Mungkin aku bisa membangkitkan mereka."

Ekspresi Deby mirip seorang psikopat yang tak pernah rela dirinya berubah jadi seorang pesulap. Ini bukan tentang simsalabim abakadraba, akan tetapi semua adalah tentang mau atau tidak berjalan, sejauh yang seeorang bisa.

Ini tentang janji lahir. 'Tanda' di tubuh Deby akan menyiksanya kalau tak mampu melaksanakan tugas.

"Kamu pikir dengan balas dendam semua berakhir, sayang? Kita tak akan pernah selesai, bahkan arwah yang sudah mati pun memang bisa bangkit akibat ketidaktenangan," ujar Zen sambil mengambil posisi senyaman mungkin.

Meletakkan kedua tangannya di balik kepala.

"Berhenti mengguruiku! Bajingan seperti kalian tak akan pernah bisa!"

Cup.

Hanya begitu?

Mudah?

Hah..., ingatkan Deby untuk melakukan ritual membunuh.


Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya