Bab 10
Perut keroncongan seolah menjadi nada dering yang diabaikan Shakila. Akibat acara kesiangannya itu, Shakila disambut dengan pekerjaan yang menumpuk di mejanya. Wanita itu masih setia mengotak-atik keyboard komputer demi menyelesaikan satu buah file tentang kontrak kerja antar sebuah perusahaan.
“La ... La,” panggil Thalia tergesa. Ia lantas menjatuhkan tubuhnya bersimpuh dengan bertopang dagu di meja tepat berhadapan dengan Shakila.
“Hmm, apa, sih? Repot banget?” tanya perempuan itu yang tak sedikit pun berniat untuk menanggapi Thalia serius.
“Lo apain, Pak Delvin, sih?” cerocos wanita yang meminta Shakila agar menjawab pertanyaannya dengan jujur.
“Apain apanya, sih? Emang dia kenapa?” Shakila enggan mengalihkan pandangannya dari layar komputer.
“Lo, pake pelet ya, ini makanan?” tunjuk Thalia pada paper bag yang selalu Shakila bawa tiap hari.
“Ya ampun, makan siang!” Shakila teringat sesuatu. Ia lantas menonaktifkan komputernya dan bergegas berdiri.
“Yeh, pakai acara gak jawab lagi.”
“Gue gak ngapa-ngapain Pak Delvin, ya. Puas?!”
Jujur, Shakila sebal dengan Thalia sekarang. Wanita itu malah meminta Shakila untuk kembali duduk pada kursi semula. Thalia ibarat detektif yang sedang menginterogasi seseorang.
“Shakila, masa Pak Delvin nyebut lo ‘Arini gue’? Apa hubungannya coba? Terlepas dari pakaian yang lo pakai sekarang yang membuat gue heran. Tapi, lo harus jawab jujur pertanyaan yang satu ini.”
Kebetulan, siang itu Thalia ada urusan yang mengharuskannya memasuki ruangan Delvin. Namun, hal yang mengejutkan harus ia dapati.
Asal tahu saja, jika menurut Shakila pertanyaan Thalia itu sungguh tak berbobot. Memang ada aja ya, kelakuan nih anak dua, kirain hanya seorang Casandra yang selalu ingin tahu tentang hidup Shakila. Nyatanya, mereka sebelas dua belas.
Shakila kini menatap yakin kepada Thalia, memastikan jika semuanya baik-baik saja. “Tenang aja, Arini itu hanyalah nama kecil gue,” jelas Shakila singkat. Perempuan itu memutuskan untuk segera bergegas.
Thalia shock. “Jadi, dia udah tahu?”
“Ya, tentu saja.” Shakila mengusap pucuk kepala Thalia seraya melayangkan kedipan mata yang berarti ia harus diam. Jangan ember. Hingga, perempuan dengan paper bag itu mulai lenyap dari pandangan Thalia.
Seusai meninggalkan Thalia yang dilanda kebingungan luar biasa, Shakila berjalan sambil sesekali memainkan rok plisket barunya. “Tidak buruk juga jika aku memakai pakaian seperti ini,” bangganya pada diri sendiri. Tanpa sadar, ia memutuskan jika dirinya harus terus seperti ini. Itu adalah hal yang diinginkan alam bawah sadarnya. Mampu beli atau tidak, urusan nanti.
“Permisi ....” Shakila menerobos masuk pintu kaca itu sesaat setelah ia sampai di ruangan Delvin. Wajahnya kelewat semringah, pipinya seakan pegal karena sedari tadi terus saja tersenyum. Baik saat sendiri maupun tersenyum menyapa orang lain.
“Eh, kebetulan ada Cleo.”
Satu rasa yang tidak disukai Delvin saat mendapati Shakila menyapa orang lain terlebih dahulu. Memang, dia tak menampakkan reaksi apa-apa dikarenakan posisinya yang sedang menatap layar monitor laptop pribadinya. Tapi, tetap saja membuatnya hatinya tidak nyaman.
“Pak, ini makan siangnya. Jangan sampai telat makan ya, Pak,” paparnya seraya meletakkan paper bag yang berisi bekal tadi kepada Delvin.
“Udah terlanjur telat,” cetus Delvin menanggapi.
Shakila terkekeh, “Maaf deh, maaf. Tadi aku lupa, sama ada emak-emak rempong yang kepo.”
Cleo tidak mengerti, sebab belum menemukan kejanggalan sesuai apa yang diberitakan Antara tadi pagi. Sambil bermain ponsel, ia hanya menyimak saja kelakuan dua manusia yang bersamanya. Menurutnya aman-aman saja, tidak ada masalah.
Lain halnya dengan Shakila. Biasanya, jika tidak ada Cleo di sini, Shakila akan duduk manis di hadapan Delvin. Memaksa cowok itu makan dan menghabiskannya. Tapi, kali ini berbeda. Ia justru malah mengambil kotak yang satu lagi. Kemudian berkata, “Pak aku pinjam Cleo-nya sebentar, ya. Ada urusan.” Tanpa menunggu persetujuan, Shakila dengan entengnya menarik lengan Cleo hingga pria tersebut berjengit.
“Mau apa sih, La?” Cleo memberontak.
“Udah, ikut gue!” Shakila tetap saja menyeret Cleo dan meninggalkan Delvin seorang diri.
Pria itu tampak memberengut kesal. Tangannya menutup laptop dengan penuh nafsu. Ditatapnya paper bag yang dibawa Shakila dengan pandangan nanar. Entah angin topan apa yang barusan melanda hatinya, tapi berhasil meluluh lantahkan perasaannya.
“Awas aja lo, Cleo. Gue potong gaji lo setengah gara-gara ngajak Shakila pergi!” geram Delvin sambil mengepalkan kedua tangannya yang memperlihatkan urat-urang punggung tangan pria tersebut.
Tunggu, tunggu. Sepertinya, ada yang salah dengan ucapan Delvin. Kenapa Cleo yang menjadi sasaran. Padahal kan, jelas sangat kalau Shakila-lah yang mengajak Cleo pergi. Tapi, malah laki-laki itu yang kena imbasnya, malah Cleo yang di kambing hitamkan. Persetanlah dengan yang namanya gengsi. Tapi, prediksi keajaiban dunia yang kedelapan nyatalah sudah. Kalau Delvin batinya sedang memburuk gara-gara wanitanya.
Diraihnya paper bag tadi, lalu melemparkannya ke sembarang arah. Bodo amat, mau berserakan atau pun mengotori ruangannya. Tapi, yang jelas nafsu makannya mendadak menjadi lenyap.
Malam pun menjelang. Senja perlahan merayap menjadi pekat. Gelap sudah langit di atas sana. Tapi, Shakila memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah setelah lembur hari ini. Meski, Delvin telah melarangnya lembur, tetap saja wanita itu keras kepala. Alasannya seperti biasa, meringankan pekerjaannya untuk esok hari.
Gerakan kaki yang lambat seusai turun dari sebuah angkutan umum, memaksa seorang wanita memasuki sebuah gedung berlantai tinggi. Orang-orang dengan seragam kebesarannya tampak berlalu lalang. Tak sedikit juga, orang-orang biasa yang tak sengaja berpapasan dengan Shakila. Mungkin, nasib mereka pun sama dengan Shakila.
Aroma yang sangat tidak disukai Shakila langsung menyergap rongga hidungnya kala ia menginjakkan kaki di lantai pertama. Suara-suara brankar yang di dorong membuat perempuan itu sesekali menepi. Membuat hatinya seakan mulai teriris, rasanya ia tak sanggup lagi hingga sampai di lantai tiga. Lantai di mana seseorang sedang terbaring tak berdaya dengan peralatan medis yang dipasang di sana-sini demi menopang kehidupannya. Hidupnya tergantung dengan alat-alat tadi. Jika kalian berasumsi Shakila sedang berada di sebuah rumah sakit, sepertinya tebakan kalian sama sekali tidak meleset sedikit pun.
“Assalamu’alaikum, Kak.” Shakila menerobos masuk sebuah kamar rawat inap yang menampakkan dua orang di sana. Satu orang yang tengah duduk menghadap ke ranjang wanita paruh baya yang sedang mengalami koma. Sudah empat bulan lebih hidup Shakila merana, sebab sang ibu yang biasa menemani hari-harinya harus melewati kejadian yang tidak diinginkan.
Wanita yang terpaut tujuh tahun lebih tua dari Shakila itu tengah terduduk lesu. Ia menoleh ke arah sumber suara. Sebuah senyuman melengkung begitu saja dari bibirnya ketika mendapati seseorang yang ia tunggu dari sejak tadi.
“Wa’alaikum salam, Dek,” jawabnya lalu berjalan sebelum akhirnya merengkuh tubuh sang adik. Suara khas alat elektrokardiogram—alat perekam aktivitas jantung begitu terngiang di telinga Shakila. Bisa dikatakan suara tersebutlah yang mendominasi ruangan ini.
Entah ke berapa puluh kali, setiap mereka bertemu dan saling memeluk, suasana haru yang selalu mengundang air mata itu akhir-akhir ini semakin sering terjadi di antara keduanya. Hati Shakila selalu teriris kala menatap ibunya yang entah kapan akan tersadar dari tidur panjangnya. Dan semua malapetaka ini terjadi akibat ulah laki-laki yang menikahi ibunya—tapi bukanlah ayah kandungnya.
Setetes air mata jatuh membasahi lantai yang dipijak Shakila. Ia selalu saja tersedu. Hatinya seakan disayat-sayat pedang tajam yang mampu mencabik-cabik jiwa dan perasaannya.
“Maaf, Kak. Akhir-akhir ini aku jarang sekali menjenguk Ibu,” lirihnya seusai melepas pelukan dari kakaknya. Ia kemudian melangkah menuju pembaringan seraya mendaratkan kecupan di punggung tangan sang ibunda.
“Tidak apa-apa, Dek. Kakak paham.” Ya, kakaknya paham akan status Shakila yang telah menjadi seorang istri. Tanpa ada yang menyadari, kakak Shakila itu pernah menghadiri pernikahan Shakila yang digelar di rumah sakit tempo lalu. Sebab, tanpa orang tahu juga, ibunya Shakila dan ibunya Delvin berada di rumah sakit yang sama namun berbeda ruangan.
Seusai beristirahat sambil mengobrol seperlunya, Shakila memutuskan untuk menebus obat yang diperlukan sang ibu. Kakinya perlahan menapak menuju ke luar ruangan. Berjalan menuju apotek rumah sakit dengan memegang kertas yang telah diresepkan oleh dokter.
Dari kejauhan, seorang laki-laki yang kebetulan bersama bosnya menyadari keberadaan Shakila.
“Vin ... Vin, lihat deh!” Antara menepuk-nepuk pundak Delvin seraya menunjuk ke arah Shakila berada. “Ngapain dia di rumah sakit malem-malem kayak gini?”
*Bersambung....
Hayo, Delvin memergoki Shakila lho. Rupa-rupanya, dia tahu tidak ya, mengenai kehidupan Shakila?
