Bab 2

Seusai menutup pintu, kaki Shakila berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Langkahnya ia minimalisir seolah melangkah di atas kapas. Sebab, ia tak mau mengganggu tidur sang pasien.

Netranya langsung mendarat kepada seorang laki-laki yang tengah duduk tegap menghadap ke ranjang sang mama.

“Pak, manggil aku?” Shakila menggerakkan bibirnya, memelankan suaranya agar tak berisik.

“Bereskan semua barang milik Mama, jangan sampai ada yang terlewat!” Delvin berbicara namun tanpa berniat menengok sedikit pun ke arah Shakila.

Rupa-rupanya, sebelum kedatangan wanita yang kini tengah kebingungan itu. Nyonya Devandra memohon kepada dokter untuk dirawat di rumah saja. Meski, keadaannya bisa dikatakan tidak terlalu baik. Akhirnya, dengan beberapa syarat dokter pun mengizinkan.

“Harus aku, Pak?” jawabnya dengan sebuah pertanyaan. Menimbulkan reaksi tidak bersahabat dari raut wajah Delvin. “Sebanyak ini, Pak? Apa tidak ada asisten yang bisa mengalihkan semua tugasku ini?” Pandangan Shakila menyapu ke seluruh ruangan. Aroma abat-obatan pun begitu menyengat indra penciumannya.

Maklum saja, Nyonya Devandra bergulat dengan sakitnya hampir sebulan penuh. Kamar rawatnya ibarat rumah kedua persinggahannya. Tak heran, beberapa tas ransel bahkan satu buah koper tergeletak begitu saja di pojok ruangan.

Sedangkan Delvin, ketika ia mendengar rengekan Shakila membuat sakit telinganya.

Perasaan Shakila juga mengatakan jika laki-laki di hadapannya seolah kesal pada dirinya. Delvin tampak berdecak kemudian mengangkat tubuhnya dari tempat duduk. Pria dengan wajah datar itu, kini berjalan berlawanan arah dengan Shakila. Kedua tangannya memilih untuk dimasukkan ke dalam kantong celana.

Namun, entah sengaja atau tidak. Delvin menubruk bahu Shakila.

“Aww ...!” rintih Shakila pelan. Lagi-lagi, Delvin tak menghiraukan rasa sakit yang dialami Shakila.

Sambil berlalu pergi, Delvin berseru, “Gue gak suka dibantah! Lakuin apa yang gue suruh!”

“Siap delapan enam!” Dengan nada bersemangat, Shakila sontak memulai aksinya. Ia tahu, nada Delvin mulai sedikit mengancam. Jadi, Shakila ya, nurut saja.

Lain halnya dengan Delvin. Mendengar hal itu, ia sempat memberhentikan langkahnya tepat di depan pintu. Namun, laki-laki itu kembali tak memusingkan Shakila.

Saat ini, keadaannya sedang merasa kacau, ia tak mau sampai dibikin stress oleh tingkah Shakila.


Malam pun menjelang, Delvin merasa kepalanya berdenyut. Tangannya sesekali memijit area tersebut. Namun, hawa dingin yang tadi sempat ia rasakan kini berubah menjadi terasa panas.

Secara sadar, pria itu melemparkan kaos putihnya ke belakang.

“Ih ... bau ...!” Suara Shakila membuat Delvin terperanjat. Ia lupa akan keberadaan sosok manusia yang satu ini.

Rupa-rupanya, wanita itu sedang mengotak-atik remot AC demi menonaktifkan pendingin ruangan tersebut.

“Lo mau bikin gue mati kepanasan, ya?!” hardik Delvin dengan nada galaknya.

Sebelum menjawab, Shakila sempat-sempatnya mengendus baju yang tadi dilemparkan Delvin. Aroma maskulinnya membuat Shakila makin klepek-klepek.

Namun, cewek itu berprilaku seolah-olah kaos putih berlambang kelinci kecil di dada kiri itu seperti sangat bau. Kedua jarinya melemparkan ke dalam keranjang pakaian tanpa bertanya terlebih dahulu.

“Lo ngehina gue?” sorot mata Delvin yang sedari tadi mengamati cewek itu lantas tak membenarkan hal yang dilakukan Shakila. Dia merasa terhina.

“Eh, Si Kakak ... galak banget sih, dikit-dikit marah, dikit-dikit ngambek, lagi PMS, ya?” goda Shakila sambil menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang Delvin.

Dada bidang Delvin tampak naik turun, kelihatannya ia sedang menahan kuat emosi yang terasa meledak-ledak.

“Turun lo dari kasur gue! Lo udah bikin dua kesalahan. Jadi, gue gak sudi tempat tidur gue dikotori oleh tubuh lo!”

Kemarahan Delvin sepertinya dianggap sebuah candaan oleh Shakila. Terbukti, dengan tangannya yang malah menarik sebuah selimut. Merapikan bantal yang hendak ia tiduri. Kemudian, dengan santainya merebahkan tubuh rampingnya di atas tempat tidur. Sama sekali tak memedulikan keadaan sekitar.

“Udah lah, Kak—“ Shakila berniat untuk mengelak. Sepersekian detik kemudian Delvin kembali mengambil alih pembicaraan.

“Kakak ... Kakak! Gue gak punya adik macam lo!” potong Delvin yang masih setia pada posisinya.

“Baiklah, begini ya, Kanda Delvin Arsalan.” Sifat semaunya Shakila nampaknya sedang kumat. Tanpa terlihat bersalah, ia menyandarkan punggungnya ke sandaran tempat tidur. “Kalau aku keluar, nanti suster-suster ngadu lagi ke Nyonya Devandra, gimana? Tadi siang aja, mamanya Bapak marah. Kasihan kan, ngomongnya aja udah susah. Ditambah lagi dengan acara marah. Bapak mau mamanya Bapak gak sembuh-sembuh?”

Lagi-lagi, Delvin memilih untuk diam. Nafasnya berkali-kali dibuang dengan kasar. Sambil berdecak, ia kembali menghidupkan AC. Tak memedulikan Shakila yang nanti bisa saja akan menggigil.

Delvin kemudian menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Shakila. Namun, sebelum itu daerah perbatasan harus diamankan. Dua guling yang tidak boleh diganggu menjadi sekat penengah di antara keduanya.

“Pak ... kenapa sih, di kamar ini gak ada sofanya?” Terbelalak. Kedua mata Delvin hampir saja terpejam, tapi suara bising itu kembali merasuki telinganya. Hingga, kedua matanya seketika terbuka lebar.

“Kan, ya, Pak. Kalau di cerita-cerita novel itu biasanya suka ada sofa gitu kalau di kamar. Dan jika kejadiannya seperti kita, mungkin enak tuh, Pak. Bapak bisa saja tidur di sofa,” celetuk Shakila enteng.

Sadar atau tidak sadar, mendengar hal itu, otak Delvin rasanya ingin sekali jika wanita di sampingnya itu ditenggelamkan saja ke laut.

“Sekali lagi lo ngomong, gue tendang lo ke dasar jurang!” Ancaman pria yang sepertinya tidur dengan kedua tangan sebagai bantalan itu terkesan menakutkan di telinga Shakila. Sampai-sampai Shakila tak berani lagi mengeluarkan segala isi otaknya. Ya, meski pun saat ini banyak hal yang ingin Shakila ungkapkan.

Kinerja otak Shakila entah mengapa sepertinya tak bisa dinonaktifkan meski matanya dipaksa untuk terpejam. Bahkan terlintas pula kala mengingat sosok dua orang yang selalu mendampingi Delvin.

Antara dan Cleo, dua nama yang kini sekarang sedang beradu argumen di sebuah apartemen. Mereka, sedang menerka-nerka kenapa tagihan bulan ini begitu membengkak.

“Gue tau alasannya,” sahut Cleo yang biasa bertugas sebagai bodyguard Delvin dengan acungan jari telunjuknya seolah mendapat ide cemerlang.

“Mbak Tun ...!” ujarnya yakin.

Antara mengernyit, tak mengerti. Tatapannya menegaskan seolah bertanya.

“Iya, yang ‘tun mbokmu – tun mbokmu.’ Paham kan?” Setengah bernyanyi, tetap saja Antara tak mengerti maksud Cleo.

Menepuk jidat. Hal itu yang menjadi reaksi spontan Cleo terhadap Antara. Cleo sepertinya harus mengeluarkan sedikit tenaga untuk memberi penjelasan singkat.

“Otak lu pendek, sih, Aan ....”

“Lo yang ngomongnya setengah-setengah!” Antara tak terima.

“Oke, gue jelasin. Maksud gue ... akar dari ini semua adalah Tunisia. Tunisia kan sempet di kasih credit card oleh si bos. Nah, pastinya cewek itulah yang nguras tabungannya Delvin sekarang.”

“Otak lo kadang-kadang up to date juga, ya Bro!” Acungan jempol pun dilayangkan kepada Cleo. Membenarkan apa yang diucapkannya.

Sebenarnya, mereka itu bisa dibilang manusia serba bisa. Sopir pribadi dan bodyguard bisa, tukang suruh-suruh bisa, jadi temen curhatnya Delvin bisa, apalagi keduanya ibarat tangan kanan Delvin, otomatis mengurus perusahaan juga mereka bisa.

“Gue akan telepon Delvin sekarang juga,” ujar Antara antusias. Dengan sigap, ia langsung meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja.

Akan tetapi, baru saja Antara membuka password ponselnya, Cleo sontak menyergah.

“Lo mau ngapain telepon Delvin?”

“Ya, mau bilang supaya cepet-cepet blokir credit card-nya si Mbak Tun.” Sepertinya, Antara juga ketularan virus Cleo. Ikut-ikutan manggil Tunisia dengan sebutan Mbak Tun. Padahal kan, Tunisia bukanlah mbak-mbak. Terserahlah, ya, maunya mereka apa.

“Lo gak liat itu jam berapa?” lanjut Cleo sambil menengadah ke arah jam dinding.

Namun, karena otak lolanya Antara minta ampun. Lagi-lagi, separuh tenaga Cleo kembali dilayangkan demi memberi penjelasan singkat kenapa Antara tidak boleh menelepon Delvin malam ini. Apalagi, jam di dinding menunjukkan pukul setengah dua belas malam.

“Lo lupa, kalau Delvin udah kawin?”

Antara mengedikkan bahunya tak acuh. “Kalau yang dikawininya Shakila. Gue yakin malam pertama mereka berakhir dengan adu jotos,” celetuk Antara masa bodoh.

“Ah, terserah lo. Pokoknya, gue bilang jangan ya jangan. Titik gak pake koma.” Cleo membuang nafasnya kasar, kemudian kembali menyesap kopi hitamnya yang terlanjur dingin.

Sedangkan, Antara membayangkan bagaimana Delvin jadinya malam ini.

Benar saja, saat ini Delvin terlihat sedang komat-kamit. Ia merutuki perempuan yang tadi sekasur dengannya. Jangan membayangkan hal-hal yang tidak-tidak. Sebab, Delvin kali ini sedang meremas bokongnya yang terasa nyeri.

Laki-laki itu sedikit meringis. Karena sialnya, tidur Shakila di luar dugaannya. Delvin di tendang hingga pria berpiyama hitam itu terjungkal ke lantai.

“Aahhh ....” Dengan nikmatnya Shakila mengubah posisi tidurnya. Kemudian, perempuan itu kembali terlelap.

Sedangkan, Delvin masih mematung. Ia menggelengkan kepala saat mendengar suara yang dikeluarkan Shakila. Batinnya benar-benar mengutuk cewek gila yang ada di kamarnya. “Sial, dia pake melenguh segala lagi. Gimana kalau ada orang lewat?”

*Bersambung....

Bagaimana rasanya kalau dapat teman sekamar seperti itu, ya? Komen di bawah:)

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya