Bab 3

Sebuah cahaya yang merembet masuk melalui celah gorden terasa menusuk kedua mata wanita yang kini tengah bergelut dengan selimut. Aroma parfum yang menggelitik rongga hidungnya memaksa Shakila mencari sumber wewangian itu. Netranya mengerjap. Tubuhnya seakan tertarik oleh bau harum yang seperti tak asing di indra penciumannya.

Tapi, dikarenakan kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya, Shakila malah terkejut dengan sosok makhluk Tuhan yang satu ini.

“Aaaa ....” Suara Shakila menggema memenuhi ruangan. Wanita itu berjengit kaget saat menatap Delvin yang tengah merapikan dasinya mematut di depan cermin. Tenggorokan Shakila seakan tercekat, tidak tahu kenapa. Sambil bersandar dan memastikan tubuhnya aman-aman saja, ia berkata, “Bapak ngapain di kamar saya?” tanyanya seolah dialah yang maha benar.

Delvin terdiam dengan sebelah tangan merapikan kerah kemejanya. Sekilas menatap Shakila pada pantulan cermin sebelum ia akhirnya memutuskan berbalik. Wajahnya datar, bahkan kelewat datar. Dengan suara dingin ia membalas pertanyaan Shakila.

“Lo gak sadar ini di mana?” Tatapannya seperti busur panah yang menembus tajam mata Shakila.

Perempuan itu mulai menyapu setiap inci ruangan yang ia tempati. Benar saja, ini bukan kamarnya. Kamar asing yang baru saja semalam ia tempati. Tapi, sepertinya ia masih ragu dengan tubuhnya. Shakila menelisik badannya, mulai dari kepala, turun ke area tubuh bahkan hingga ke ujung kaki.

“Tenang aja, tubuh lo masih utuh, kok. Gue gak nafsu juga!” cetus Delvin dengan senyuman mencibirnya. Ia tak habis pikir dengan kelakuan cewek di hadapannya ini.

“Maaf, aku lupa, Pak.” Senyum polos pun terbit di bibir Shakila. Ia lantas menurunkan kakinya dari tempat tidur. Detik kemudian, Shakila tersadar sesuatu hal. “Astaga! Aku kesiangan!” Shakila menepuk jidatnya merasa bodoh. Jam beker di atas nakas hampir menunjukkan pukul delapan. Berarti hanya tersisa sekitar lima belas menit saja Shakila untuk bersiap. Entah kenapa, wanita itu tertidur hingga lelapnya. Sampai-sampai, ia tak terdengar sedikit pun suara azan Subuh yang biasa membangunkannya.

“Lo tidur kayak kebo, sih!” rutuk Delvin. Sepatu pantofel mengkilap yang dipakai pria tersebut kini terdengar menjauh dari Shakila. Sedangkan, perempuan itu dirundung rasa panik.

“Pak ...,” rengek Shakila. Kenapa juga Delvin sampai tak menyadari jika Shakila telah mendekati radarnya. Shakila mematung. Sesekali ia menyembulkan kepalanya di belakang tubuh tinggi Delvin. “Tungguin ....”

“Males!” Delvin menjawab dengan acuh tak acuh. Tapi, tetap saja kedua kakinya malah terkunci di posisi semula. Karena, dengan lancangnya Shakila lagi-lagi memegangi sebelah lengannya.

“Pak ... kalau saya ditinggal nanti meeting di kantor Bapak juga akan terlambat. Kan saya yang akan menjadi pembicaranya. Semua berkasnya juga udah saya pelajari. Jadi, saya ikut ya ... ya ...!” pinta Shakila dengan memohon. Kepalanya setengah berpaling menghadap ke arah Delvin. Alisnya tampak naik turun seolah meminta persetujuan.

“Lepasin tangan gue! Modus banget sih, lo!” Delvin menghempaskan tangan Shakila yang dengan betahnya melekat di lengannya.

“Tapi ... ikut ....” Entah seperti apa wajah Shakila sekarang. Ekspresinya sulit diartikan, ditambah lagi dengan bibirnya yang mengerucut manja.

Kalau ada sutradara, mungkin ini bisa dikatakan adegan dibalik pintu. Kayak drama-drama yang bertebaran di berbagai sinetron televisi. Tapi, bukan sinetron azab. Ck

“Pak ....” Sekali lagi, Shakila memohon.

“Gue tunggu, lima belas menit. Lebih sedetik saja gue tinggal!” Suara bariton Delvin menggema sesaat seusai dirinya memegang knop pintu.

“Oke, Pak!” Meski tidak yakin dalam waktu secepat itu, tapi Shakila bilang saja siap. Delvin kan terkenal sebagai laki-laki yang memegang omongannya. Tidak mungkin Shakila ditinggal jika ia tidak terlambat, pikir wanita itu sebelum menghilang dibalik kamar mandi.


“Mbak, bekal yang semalam aku minta udah ada?” tanya Shakila pada Manda—asisten rumah tangga yang bekerja di keluarga Delvin. Sesekali Shakila membenarkan jilbabnya yang menurutnya belum rapi. Urusan make up, Shakila tidak terlalu repot seperti orang kebanyakan. Wajahnya sudah ditakdirkan putih, bersih, mulus tanpa bekas jerawat satu pun. Makannya, hanya pelembab dan seulas lipstik cukup untuk membuatnya terlihat cantik.

“Udah, Non. Dua, kan?” Manda menyodorkan sebuah paper bag yang tadi ia simpan di meja dapur.

Kok dua, ya? Tentu saja, karena semalam ia sempat ngobrol-ngobrol dengan Manda seusai makan malam dan sebelum masuk kamar. Bahwa hari ini ia akan membawa bekal untuknya dan untuk ... Delvin, pastinya. Sebab, setahu Shakila Delvin suka lupa untuk makan siang. Jadi, ia berniat untuk makan bersama.

“Makasih, Mbak!” Dengan gerak cepat, Shakila mempersingkat waktunya. Namun, baru saja ia berjalan beberaa langkah, denting di ponsel yang berada di tasnya berbunyi.

Perempuan itu menghentikan langkahnya, meraih tas yang ia sampirkan di sebelah tangannya lalu mengambil benda pipih yang sepertinya beberapa kali berdenting. Shakila menyipitkan matanya tatkala membaca sebuah pesan yang sempat membuatnya menohok.

Antara

~Lo, udah telat satu menit tiga puluh lima detik. Jadi, Delvin nyuruh gue buat ninggalin lo.~

Kejam. Kata tersebutlah yang pertama muncul di otaknya Shakila. Ingin ia memaki-maki suaminya itu yang gak punya rasa kemanusiaan sedikit pun pada dirinya. Cuman telat satu menit tiga puluh lima detik saja tega meninggalkannya.

“Non, belum berangkat?” Shakila sampai tak menyadari jika Manda ternyata sudah berdiri di hadapannya. Dan kini sedang memperhatikan Shakila yang tampak sedikit emosi.

“Eh belum, Mbak. Lagi pesen ojol dulu buat nganterin aku.” Wanita itu kini berkutat dengan ponselnya yang ia masukkan ke dalam tas. Sedangkan, Manda hanya mengangguk saja saat Shakila kemudian berpamitan kepadanya.


“La, gimana lo? Lo gak apa-apa, kan? Lo gak ada yang lecet, kan?” Casandra tampak meneliti setiap inci tubuh sahabatnya itu. Ia seperti menganggap Shakila baru pulang dari medan perang.

Dugaan Shakila benar jika ia tiba di kantornya, kedua sahabatnya pasti heboh. Terbukti ketika tangannya langsung ditarik semaunya. Dan yang paling kepo di antara keduanya adalah Casandra.

“La, tadi malam main apa, hayo ...?” godanya tak henti saat Shakila baru saja duduk di meja kerjanya.

“Main apa, sih? Gue gak ngerti. Jangan ngadi-ngadi. Tadi aja gue ke sini, naik ojol. Jangan ngebayangin macem-macem, deh, ah,” elak Shakila. “Udah sana, gue banyak kerjaan. Ngapain sih, pake interogasi-interogasi gue, lagi!” Shakila melambaikan tangannya dengan nada mengusir.

Akan tetapi, kedua sahabatnya itu masih kurang puas. Kini, giliran Thalia yang menggerecoki. Perempuan dengan rok span hitam di atas lutut itu duduk di atas meja tepat di depan Shakila. “Eh ... eh, La. Tahu gak, menurut penelitian, katanya orang pendiam dan dingin kayak Pak Delvin itu biasanya ganas lho ...,” ucapnya seraya terkekeh.

“Ekhem ... ekhem ...,” suara bariton yang terdengar di telinga ketiga wanita itu membuat mereka menoleh.

‘Delvin ...!’ batin Shakila. Entah kenapa, tubuhnya mendadak seperti robot, kaku. Ingin rasanya ia tenggelam ke dasar bumi saja. Wajah Shakila pun memanas, mungkin menahan rasa malu akibat kedua makhluk yang menggerecokinya.

Sedangkan, Casandra dan Thalia berpura-pura sakit perut dan berlomba untuk mencari celah agar bisa segera melarikan diri. Karena takut ketika menyadari hadirnya sesosok manusia yang berdiri gagah di belakang mereka. Apalagi, saat melihat wajah Delvin yang seperti pembunuh berdarah dingin. Laki-laki itu seakan menatap mereka sebagai buruan yang siap untuk diterkam.

“Kila sama gila emang gak ada bedanya!” sinis Delvin. Ia mengutuk obrolan ketiga wanita tadi. Padahal, Shakila kan tidak tahu apa-apa.

“Eh, Pak! Kok nyalahin aku, tuh dua temen aku yang salah. Kenapa diri ini yang tak berdosa yang disalahkan?” Shakila tak terima. Namun, percuma saja. Atasan selalu benar, dan jika bawahan yang benar, kembali ke opsi pertama.

“Gak usah drama! Ikut gue sekarang!” titahnya tanpa berniat lagi melirik Shakila.

Shakila tentu saja mengikuti perintah Delvin dengan suka cita. Tak lupa, ia juga menjinjing paper bag yang ia bawa. Wanita itu mengekori Delvin dari belakang. Ada setitik rasa penasaran yang menggelitik kenapa Delvin sendiri yang memanggilnya. Tapi, persetanlah dengan semua itu. Yang penting Shakila senang sekarang.

*Bersambung....

Jangan lupa dukung aku terus, ya, readers:)

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya