Bab 4
Sesuai janji, sepulang kantor Shakila berencana akan mentraktir kedua temannya dalam rangka syukuran pernikahan. Itu hanya pendapatnya saja, sebab menurut Delvin gak ada syukur-syukurnya saat menikahi Shakila. Tapi, ya mau bagaimana lagi, perempuan berjilbab pashmina itu kelewat bahagia ketika Delvin memilihnya sebagai pendamping pengganti. Hingga, ia rela dipalak oleh teman-temannya, seperti malam ini.
Kebetulan, pekerjaan hari ini begitu menumpuk, alhasil Shakila pulang larut malam.
“La, udah belum, sih?” celoteh Thalia tak sabar. “Emang, gak ada hari esok apa buat menyelesaikan semua pekerjaan lo?” tambahnya. Berulang kali Thalia memastikan jarum jam pada pergelangan tangannya yang kini hampir jam tujuh malam.
“Iya, nih bisa-bisa kita mati kelaparan, La ...!” Casandra ikut menimpali sambil memegang perutnya yang terdengar keroncongan.
“Sabar, dong. Nanggung nih, dikit lagi. Biar tugas esok hari gue gak numpuk,” adu Shakila.
Menit demi menit pun berlalu, wanita itu akhirnya mematikan komputernya. Mulai mengemas barang-barang miliknya yang tadi berserakan. Tak lupa, tumpukkan berkas yang tadi sempat berceceran di meja mulai tersusun rapi di tempatnya.
Thalia yang sedari tadi memegang ponsel, kini memalingkan wajahnya ke arah Shakila yang tak jauh dari tempat duduknya. “Ya elah, La. Lo kan sekarang udah jadi istri direktur. Masih aja kerja keras ...,” ujar Thalia enteng.
Shakila terdiam beberapa detik. Ada sesak yang tiba-tiba menjalar di dalam dadanya. “Gue gak mau, ya, hidup gue tergantung sama orang lain,” balasnya sambil menutup resleting handbag miliknya. Terbersit perasaan yang aneh kala Thalia melontarkan ucapannya. Tapi, sebisa mungkin ia menepis semua perasaan yang membuat hatinya tidak nyaman itu.
Sepertinya, mereka siap untuk berangkat. Casandra sekilas menepuk bahu Shakila seolah mengerti. Ia tahu bagaimana posisi Shakila di hati Delvin, pun dengan Thalia. Thalia iseng aja untuk menggoda Shakila yang terlalu pekerja keras.
Satu hal yang mereka tidak mengerti, dibalik sifat barbar Shakila, perempuan itu tengah memikul beban berat. Makannya, ia bekerja sekeras mungkin. Tapi, ya, begitulah Shakila. Ia tak ingin menjadi beban orang lain, ia juga tak ingin berbagi duka kepada teman-temannya. Cukuplah dirinya dan Tuhan saja yang tahu tentang kehidupannya yang teramat rumit ini.
Sekitar dua puluh lima menit, Shakila dan kedua wanita yang kini sedang beradu paham baru saja tiba di sebuah restoran ternama di kota tersebut. Mereka tampak berargumen untuk memilih tempat yang paling nyaman untuk ketiganya.
Sedangkan, Shakila tak sedikit pun berniat untuk memisahkan maupun membenarkan keduanya. Ia malah berniat untuk menghubungi seseorang, tangannya meraih sebuah ponsel yang berada tepat di dalam tasnya. Tanpa berdebat, ia duduk di tempat yang tidak dipilih oleh kedua sahabatnya. Menyebabkan, Casandra dan Thalia akhirnya mengalah dan ikut saja pada Shakila.
Detik kemudian, seseorang yang dihubungi Shakila tersambung. “Halo, Pak Anta. Hari ini, gue pulang telat, ada urusan. Takutnya, Pak Delvin nanyain, jadi gue ngabarin Pak Anta.”
“PD banget lo, emang Delvin bakal nanyain?” seru Antara di seberang telepon. Dengan judesnya, laki-laki itu melontarkan kata yang sedikit tapi nyelekit. Sebenarnya, Antara juga tak suka ketika mendengar Shakila menyebut namanya seperti itu. Namun, ia sudah lelah untuk mengingatkan si cewek ini. Meski dengan kuping panas, akhirnya lama-lama Antara terbiasa. Tapi, cuman Shakila. Catat—yang lain tidak diperkenankan memanggilnya seperti itu.
Shakila berpikir sejenak, sepertinya perkataan Antara ada benarnya. “Ng—nggak bakal juga sih, kayaknya,” cicit wanita itu. Tampaknya, tindakan yang dilakukannya saat ini salah.
“Tapi, terserahlah, soalnya kalau bilang ke Pak Delvin, chatt gue gak pernah dibales. Mau disampaikan ya monggo, enggak juga gak apa-apa. Oke, bye!” Shakila tak ingin berlama-lama. Ia tak ingin lagi mendengar rentetan ocehan Antara. Karena, selain dirinya dengan Antara seperti musuh bebuyutan, tampaknya kandung kemihnya pun ikut berkonspirasi untuk segera ke kamar mandi.
Shakila pun pamit sebentar pada Casandra dan Thalia yang kini kembali beradu argumen tentang cerita drakor. Mentang-mentang mereka adalah pecinta oppa-oppa. Namun lain halnya dengan Shakila, meski kedua temannya menyerukan beberapa idol yang menurut mereka sangat tampan. Tapi, Shakila malah menyebut-nyebut jika Delvin-lah yang paling tampan. Laki-laki yang menurutnya makhluk Tuhan yang paling sempurna. Sampai telinga Casandra pegal mendengar pujian Shakila pada seorang Delvin. Bahkan, wanita itu berulang kali menyarankan supaya Shakila di ruqyah.
Baru saja, beberapa langkahnya berjalan menuju toilet. Tapi, tiba-tiba tubuhnya terasa beku tatkala mendengar percakapan yang menarik perhatiannya. Rasa keingintahuan Shakila memaksanya untuk mendekatkan tubuh ke dinding. Bulu kuduknya tanpa diminta langsung berdiri, hatinya pun ikut bergejolak tak tenang. Bau alkohol tiba-tiba menyeruak ketika Shakila terus mendekat ke balik dinding.
“Lenyapkan saja Delvin! Seperti kau melenyapkan Davendra—ayahnya! Saya muak dengan mereka!”
Shakila menghela nafas kala mengingat kejadian yang baru saja menimpanya. Wanita berjilbab merah jambu dengan kedua ujung hijabnya yang disilangkan ke sebelah kanan dan kiri itu tampak gelisah. Meski, sesekali ia tak memperlihatkan kekhawatirannya di depan kedua sahabatnya. Karena, Shakila tak mau melibatkan mereka berdua.
“La, lo kenapa, sih? Itu makanannya keburu dingin, lho!” Casandra mengingatkan Shakila yang seperti tidak banyak bicara sepanjang acara makan-makan mereka. Padahal, biasanya Shakila tak seperti ini.
“Kenapa emang? Gue kelihatan gak baik-baik aja, gitu?” Senyum gembira kembali terlukis di bibirnya—yang pasti berusaha untuk menutupi rasa cemasnya yang membuncah. “Cepetan ah, makannya, gue pengin balik. Udah kangen banget ... sama suami gue!” tandas Shakila membuat ekspresi Casandra dan Thalia seolah ingin menjewer.
Rasa lelah begitu merasuki tubuh Shakila. Kasur empuk, kamar yang nyaman, aroma maskulin milik Delvin yang masih tersisa meski orangnya tidak ada tapi seolah menyambut Shakila dengan hangat.
Entah kenapa akal sehat dan batinnya tak karuan. Memandangi tempat tidur yang masih kosong padahal malam mulai larut. Shakila membenci hal seperti ini. Tapi, jika keadaan memaksanya pulang telat itu dikarenakan ada urusan yang harus ia selesaikan terlebih dahulu.
TOK! TOK! TOK!
Terdengar ketukan pintu kala Shakila baru saja selesai membersihkan tubuhnya. Wanita itu pun penasaran siapa gerangan di luar sana.
Manda. Perempuan itu tersenyum miris kala menatap Shakila yang tampak seperti orang mengantuk. Karena berulang kali Shakila terlihat menguap. “Non, Tuan Delvin pulang. Tuan Antara memerintah saya kepada Nona agar Nona menjemput Tuan di bawah.”
“Oh, baik, Mbak. Makasih, ya.” Shakila pun turun dari lantai dua kamarnya diikuti Manda yang mengekor di belakang. Kakinya mulai menapaki anak tangga satu per satu. Hingga, tibalah di ruang utama—ruang di mana Delvin tergeletak di atas sofa.
“Pasti mabuk lagi.” Shakila merutuki kebiasaan Delvin yang tidak berfaedah itu.
“Gue titip Delvin,” ucap Antara. Shakila dengan sekuat tenaga memapah suaminya yang terdengar meracau tidak jelas.
“Kayak anak bayi aja harus dititipin segala. Tenang, gue tipe istri siap siaga, kok. Sampai mati pun gue bakal jagain Delvin.” Kelihatannya, ucapan Shakila sukses membuat Antara seakan ingin muntah. Secepat mungkin, laki-laki itu meninggalkan keduanya di dalam kamar.
BRUKK!!
Shakila menjatuhkan tubuh Delvin di atas kasur. Kedua tangan laki-laki yang tak sadarkan diri itu telentang dengan bebasnya.
“Vin .... Vin, kenapa bodoh banget sih jadi cowok, stress sama cewek aja diluapkan dengan mabuk-mabukan. Coba diluapkannya sama aku, bakal aku berikan segalanya untukmu,” racau Shakila sambil membantu melepas kancing kemeja yang melekat di tubuh Delvin.
Percayalah, dada Shakila saat ini berdebar tak karuan. Jantungnya pun ikut berdetak tak terkontrol. Hal yang sangat ia suka sekaligus ia benci. Suka karena bisa merasakan sedekat ini dengan Delvin. Namun ia begitu membenci kebiasaan buruk Delvin yang satu ini—mabuk-mabukan.
“Kamu ini kenapa sih, Vin, meski muka kusut, mulut bau alkohol, tetep aja sukses membuat aku semakin sayang sama kamu—“ Suara Shakila terhenti kala kedua tangannya dipegang erat oleh manusia di hadapannya.
“Lo belum puas? Setelah bilang gue bodoh, sekarang pake muji-muji gue segala lagi?”
*Bersambung....
Ups! Shakila ketahuan... Wkwkwk
Gimana perasaan kalian kalau ketangkap basah kaya gitu? :D
