Bab 5
Pagi yang cerah, matahari bersinar dengan senangnya. Begitu juga dengan Shakila yang kini sedang mengikat tali sepatu sneakers berwarna coklat susu sembari duduk di ujung tempat tidur milik seseorang yang kini telah berstatus suaminya. Ia berniat menyusul Delvin yang sudah terlebih dahulu menuruni anak tangga.
“Pak, tunggu!” teriak Shakila ketika menatap punggung Delvin yang hampir menghilang dibalik pintu. Wanita itu lari pontang-panting agar tidak ketinggalan, takut-takut kejadian kemarin terulang kembali.
Delvin mulai berlari dengan ritme setengah berjalan santai. Ia sebenarnya sedikit risi dengan manusia yang selalu saja menguntitnya. “Ngapain, sih, lo ikut-ikut gue?” tanyanya tanpa sedikit pun berniat menengok Shakila yang berlari tepat di sampingnya.
Deru nafas Shakila seperti orang yang kehabisan oksigen, ia terdengar sangat ngos-ngosan. Bagaimana tidak, langkah kakinya yang kecil harus mengejar langkah lebar milik Delvin. Ibarat kata jika digambarkan sekarang, ia seperti dikejar anjing kompleks. Terbukti, keringat pun berjatuhan membasahi bagian wajahnya yang tertutup jilbab.
“Bapak mah, hobi banget sih, ninggalin aku,” adunya sambil menyeka keringat yang menetes di dahi Shakila. “Hari ini kan weekend, masa aku masih harus kerja bagai kuda. Ya, dari pada di rumah bosen, sekalian aku tahu area rumah Bapak. Jadi, aku ikut Bapak jogging, deh.” Perlahan nafasnya mulai teratur, mungkin sekarang Shakila sudah mampu mengimbangi langkah kakinya Delvin.
Delvin memilih diam tak melanjutkan lagi obrolannya. Meski, ya ... Shakila tetaplah Shakila. Mulutnya selalu tak terkontrol. Dia yang selalu memulai topik cerita, dia sendiri juga yang mengakhirinya. Lama-lama Shakila bosan diabaikan.
“Pak, istirahat dulu, yuk! Aku capek!” keluh cewek itu. Bagaimana tidak capek, perasaan ini kompleks sudah yang ketiga kali mereka kelilingi sampai akhirnya Shakila menyerah.
“Minum, Pak. Biar aku bukain, ya. Terus kalau mau buka yang lain juga boleh kok, Pak.” Shakila tersenyum bodoh. Sebelah matanya tak lupa ia kedipkan guna menggoda Delvin yang kini tengah memandanginya aneh.
“Ngeres, lo!” Tangannya menerima botol yang disodorkan Shakila. Terkadang, ia heran juga kenapa makhluk yang satu ini tak kenal lelah untuk berusaha membuka hatinya. Padahal jelas sudah, jika Delvin tak pernah sedikit pun menunjukkan ketertarikannya.
Delvin menggeleng samar saat ekor matanya menangkap sosok Shakila yang tengah merebahkan tubuhnya di atas rumput taman tepat di area kompleks perumahannya. Sadar atau tidak sadar, punggung Delvin malah meniru apa yang dilakukan Shakila. Ya, laki-laki itu melepaskan lelahnya dengan berbaring di samping wanita yang selalu ia anggap aneh. Jujur, Delvin merasa nyaman dengan situasi ini.
Dengan dipayungi rimbunnya pohon di belakang mereka, Shakila memalingkan wajahnya sejenak dengan lengkungan bibir yang sejak tadi terasa pegal karena tak hentinya tersenyum. Sebelum kembali menatap langit biru nan cerah di siang ini, Shakila memberanikan diri untuk mengorek kehidupan pribadi Delvin.
“Pak, apa Bapak punya musuh?”
Kerutan di kening Delvin menandakan laki-laki itu tampak heran dengan pertanyaan yang menyapa telinganya. Sebelah alisnya tampak terangkat, lalu menjawab, “Punya.”
“Hah? Siapa?!”
“Lo!” Dengan entengnya, Delvin menunjuk Shakila dengan kedikan dagunya.
“Serius, Pak, ih ....” Shakila mencebikkan bibirnya. Geram.
“Emang, gue kelihatannya bercanda?” tanyanya balik. Namun, Shakila berniat untuk tidak menghiraukan Delvin.
Sekilas, laki-laki itu sedikit mencuri pandang ke sebelah wanita yang sedang memejamkan matanya. Tanpa diminta, seulas senyum terbit di bibir pria itu.
Perasaan Shakila berubah menjadi gusar. Batinnya sedari tadi terus berperang, antara sampaikan atau tidak. Setelah beberapa saat keheningan melingkupi keduanya, akhirnya Shakila memutuskan untuk berbicara saja.
“Pak, sepertinya nyawa Bapak sedang terancam.” Shakila memandangi Delvin serius. Ia memilih duduk di samping tubuh Delvin dengan memeluk kedua kakinya. Delvin masih setia dengan kedua tangan yang menjadi bantalannya.
“Udah biasa,” jawab Delvin singkat. Laki-laki itu tak sedikit pun ingin membuka matanya. Ia terlena dengan suasana sejuk di bawah pohon.
Kaget. Lagi-lagi, Shakila tak menyangka reaksi yang ditunjukkan Delvin. Ini nyawanya lho yang sedang terancam, kok bisa-bisanya ia tampak santai seolah tanpa rasa takut sedikit pun.
“Tenang aja, nyawa gue ada di tangan Tuhan. Sekeras apa pun niat seseorang buat ngelenyapin gue, tapi kalau Tuhan belum berkehendak. Semuanya akan baik-baik saja,” papar Delvin kemudian.
Shakila tampak mangut-mangut membenarkan lelaki di depan matanya ini. Netra Shakila tak ingin lepas sedikit pun dari pria yang kini menjadikan pohon sebagai sandarannya. Baru kali ini, Shakila merasakan sedekat ini. Bukan hanya dekat tubuh mereka, tapi jiwa Shakila pun bisa merasakan kedamaian bersama Delvin.
“Kenapa lo nanya gitu ke gue? Emang ada yang niat mau bunuh gue? Seperti orang itu merencanakan pembunuhan ke bokap gue?” Pertanyaan telak dari Delvin membuat Shakila mengatur detak jantungnya sebentar.
‘Kok bisa tahu ya, apa yang mau aku tanyain?’ batin Shakila berbisik. Telapak tangannya mengusap tengkuknya yang tak gatal sebelum perempuan itu menjawab, “Emang bener ya, kalau Tuan Davendra meninggal karena pembunuhan? Kok aku jadi ngeri, ya?” Shakila merapatkan tubuhnya mendekat ke arah Delvin. Entah kenapa, laki-laki itu tidak menyergah sedikit pun. Tak seperti biasanya.
“Kayaknya kayak gitu. Soalnya, rem mobil yang dibawa bokap mendadak jadi blong. Padahal, mobilnya tergolong baru. Tapi, gue juga gak ngerti. Bokap gue meninggal seolah murni karena kecelakaan.”
Shakila hanya membisu, ia tak berani berargumen.
“Kenapa diam? Lo belum jawab pertanyaan gue?!” Menatap Shakila sedekat ini, Delvin merasakan ada hal yang berbeda dari hatinya. Detak jantungnya seperti tidak normal berdegup sangat kencang. Aliran darahnya juga seolah mengalir lebih cepat. “Emang ada yang mau bunuh gue?” Suaranya yang tenang membuat Shakila tersadar dari lamunannya.
“Ya-ya ... gitu, deh. Udah ah, jangan dibahas. Aku kan masih sayang sama Bapak. Jangan ngomongin mati dulu,” celotehnya manja. Bahkan kepalanya yang ia sandarkan di bahu Delvin pun, sama sekali tak ditepis.
“Sebelum bokap gue meninggal enam bulan lalu, dia pernah cerita ke gue.” Tatapan Delvin kosong. Dari kedua bibir tipisnya mengalirlah cerita kelam nan menakutkan menurut Shakila.
“Dulu, sebelum bokap memajukan perusahaan yang gue pegang sekarang. Pernah sekali, bokap memergoki adiknya tengah melakukan korupsi besar-besaran di perusahaan kakek gue. Sampai pada titik bokap memiliki barang bukti demi membuktikan kecurangan yang dilakukan adiknya. Akhirnya, kakek gue marah kemudian menghentikan investasinya di kantor paman gue itu. Sampai suatu ketika, perusahaan kakek diambang kebangkrutan gara-gara kelakuan anak keduanya.
“Terus, kakek gue memutuskan untuk menjual perusahaan miliknya dan hasilnya dipakai buat menambah modal perusahaan papa. Mungkin, karena itu Paman Dennis merasa iri sama papa. Bisa jadi, karena dendam dia ngelakuin hal yang kita enggak tahu. Ah pokoknya, ketika gue ngeberontak pengen ngusut tuntas masalah meninggalnya papa. Semua keluarga membisu. Mereka malah pasrah dengan keadaan waktu itu.” Di akhir katanya, ada setitik nada kekecewaan yang muncul dari dalam diri pria berambut hitam itu.
Tak lama setelah Delvin menyelesaikan ucapannya, ada sesuatu yang seolah bergerak-gerak di belakang Shakila. Awalnya, perempuan itu mengabaikan. Ia menganggap mungkin itu adalah tangannya Delvin. Namun, sekali lagi Shakila pastikan jika kedua lengan Delvin menyilang di dadanya. Wanita itu dibuat panik luar biasa saat melirik ada sebuah ular yang entah datang dari mana sedang meliuk-liuk melewati bagian belakang bokongnya.
Shakila mendadak sulit berbicara dengan jelas, tapi telunjuknya berhasil menyadarkan Delvin jika mereka sedang dalam bahaya. Desisan ular membuat Shakila dirundung rasa takut yang amat sangat. Ya, Shakila memiliki fobia terhadap ular. Tubuhnya pasti langsung bereaksi kala melihat hewan reptil yang satu ini.
“Shakila awas ...!” Delvin menarik lengan Shakila supaya menjauh dari ular yang bisa dikatakan tidak terlalu besar itu. Hanya sebesar dua jari dengan panjang satu meter lebih. Delvin tidak tahu ular berwarna hitam corak ini berbisa atau tidak. Yang pasti, ia harus segera menjauhkan ular ini dari jangkauan mereka.
Di sisi lain, Shakila tampak pucat, keringatnya keluar dengan berlebih, jantungnya sesak bahkan teramat berat. Dadanya terasa nyeri hingga naik ke kerongkongan bahkan saat ini Shakila merasa lehernya seperti tercekik. Detik kemudian, pusing pun menyerang kepalanya membuat kedua mata Shakila perlahan menggelap sampai ke tahap wanita itu merasa tubuhnya seakan ambruk dan ... tak sadarkan diri.
*Bersambung....
Udah ke tahap rasa-rasaan, nih! Wkwkwk
