Bab 6
“La, Kila ....” Shakila merasa jika pipinya sedang ditepuk-tepuk. “Shakila ... bangun,” panggilnya lagi.
Cahaya di dalam ruangan membuat netranya terasa silau. Titik-titik putih yang mengiringi kedipan matanya kini perlahan mulai menghilang. Shakila menyadari dirinya sekarang berada di mana. Karena, tempat inilah yang pertama menjadi ruangan favoritnya kala di rumah Delvin.
“Nyusahin banget sih, lo. Pake pingsan segala,” omel Delvin kala melihat Shakila yang sudah bebas membuka kedua netranya.
“Emang siapa yang mau pingsan? Aku aja gak mau, Pak. Kalau bukan gara-gara tadi.” Shakila berusaha untuk bangkit, namun Delvin menyergah.
“Lo masih lemah, tidur aja. Nanti abis makan, minum obat, biar fobia lo sedikit mereda.”
“Kok Bapak tahu?” Shakila menatap takjub lelaki yang kini duduk di samping ranjangnya. Meski, Delvin tak mau bersihadap dengan Shakila. Tapi, Shakila menangkap kekhawatiran di raut wajah tampannya. “Bapak khawatirin aku, ya?” tanyanya spontan.
‘Plis deh, Shakila. Lo itu jangan kegeeran, untung Delvin mau nulungin lo, gak sampai hati dia sampai membuang lo ke dalam hutan,’ caci Shakila pada dirinya sendiri.
“Kenapa lo mukul-mukul diri lo sendiri? Aneh ya, sama pertanyaan lo? Apalagi gue?!” ujar Delvin kemudian.
‘Oh, Tuhan. Ingin rasanya jika pria ini musnah saja dari alam ini. Percuma, satu juga ngerepotin,’ batin Shakila.
“Kalau aku enggak cinta sama Bapak, udah aku makan hidup-hidup, deh, kamu!” komentar Shakila sedikit meluapkan kejengkelannya.
“Emang lo berani?” Delvin seakan menantang.
“Ya, enggak atuh. Aku kan bukan kanibal.” Wanita lemah tersebut sedikit mencebikkan bibirnya. Tanda protes. Di waktu yang sama Shakila berniat mengambil air yang ada di atas nakas. Tapi, tangan Delvin seperti kecepatan cahaya yang melesat lebih dulu di gelas bening tersebut. Tanpa diminta, laki-laki bermata sedikit sipit itu memberi minum istrinya.
Tegukan demi tegukan hingga airnya kandas terminum oleh Shakila. “Ciee ... Bapak perhatian, ciee ...,” goda Shakila sambil mengelap kedua bibirnya dengan punggung tangan. “Tapi, kok aku agak ngeri, ya ....” Gigi putihnya dengan bebas terekspos di hadapan Delvin.
Delvin memilih untuk diam. Ia malah mengalihkan pembicaraan. “Tadi, Dokter mengatakan kalau lo memiliki fobia. Emang kenapa? Gue kira ... orang hiperaktif kayak lo gak punya rasa takut.” Sejenak, sebuah memori melintas di kepala Delvin. Orang yang memiliki fobia yang sama dengan Shakila. “Apa lo ...?” Delvin tidak yakin dengan kata-katanya.
Kini, giliran Shakila yang membisu. Apa Delvin menyadari siapa dirinya yang sebenarnya. Tapi, Shakila masih ragu. Ia pun mulai menjelaskan asal muasal kenapa dirinya sampai seperti ini.
“Dulu, waktu kecil aku pernah digigit ular hampir mau sekarat. Namun, untungnya aku masih diberikan selamat. Hanya saja nahasnya, kejadian itu membuat aku jadi trauma. Tapi, teman-teman kecilku malah menjadikan aku bahan bully-an. Dan awal parahnya ketika—“ ucapan Shakila tiba-tiba dipotong Delvin sampai Shakila merasakan bahwa akan ada keajaiban dunia yang kedelapan.
“Lo dikejar-kejar temen lo, terus dikasih bangkai ular yang udah membusuk hingga membuat lo pingsan di depan rumah gue. Dan saat itu, mama nyangkanya gue ngapa-ngapain anak orang hingga tak sadarkan diri,” lanjut pria berhidung mancung itu dengan lantangnya.
Shakila terkekeh. Demi apa pun, ia ingin sekali bersalto ria karena saking bahagianya. Akhirnya, setelah dua belas purnama lebih Delvin mengingat masa-masa kecil mereka. Meski, hanya beberapa kali berjumpa. Tapi, berhasil menanamkan cinta yang biasa liar di hatinya. “Masih inget aja, Bapak.”
Lagi dan lagi, Delvin membuatnya gugup. Kedua pipinya sedari tadi terasa hangat. Pasti raut mukanya terlihat merah merona.
“Bertahan atas nama cinta itu bukanlah sebuah pilihan. Tapi, sebuah pembuktian jika aku terlalu mencintaimu.” Shakila menatap penuh arti pada seorang Delvin.
“Bagus tuh, buat dijadiin status!” Delvin terlalu menanggapi Shakila enteng. Bahkan kelewat enteng.
Mendesah menjadi senjata utama Shakila untuk meluapkan emosi. Bibir yang mengerucut, seperti pemandangan yang akhir-akhir ini sering dilihat Delvin dikala Shakila merasa sebal pada dirinya.
“Sorry.” Delvin mulai mendekatkan wajahnya ke arah Shakila. Bahkan Shakila bisa dengan jelas menyesap aroma mulut Delvin yang teramat harum. Bau macam apa pun, menurutnya wangi-wangi saja. Begitulah cinta, bahkan rongga hidung pun seolah buta membedakan mana yang harum sesungguhnya.
Shakila sudah diambang terlena, sebentar lagi apa yang dilakukan Delvin bisa jadi sebagai tanda memproklamirkan diri sebagai ....
Ah, tampaknya tebakan Shakila salah. Wanita bermata coklat itu merasa jika jilbab di pipi kirinya seakan disingkap. Mau apa sih, dia?
“Iya, sekarang gue percaya lo Arini.” Jangan tanyakan siapa itu Arini. Yang jelas, nama yang diingat Delvin waktu kecil adalah Arini. “Setitik tahi lalat tak berwujud di pipi kiri lo menjadi alasan keyakinan gue.”
OMG. Rupanya, Delvin mengingat tanda kecil di pipi Shakila. Eh, Arini, deh. Kan, Shakila Atmarini adalah nama lengkap wanita yang sedang berbunga-bunga itu.
Hari ini Delvin sangat-sangat berbaik hati, seusai menyuapi Shakila, laki-laki itu pun menyiapkan obat yang sedikit akan mengurangi kecemasannya. Padahal, rasa yang tadi sempat mengambil alih dirinya kini telah hilang bersamaan dengan sikap ajaib Delvin.
“Banyakin istirahat, biar lo cepet waras.” Bisa dibilang wejangan Delvin itu sedikit miris.
“Hmm ...,” gumam Shakila. Kalau di novel-novel, biasanya seseorang yang pelit ngomong akan menjawab dengan gumaman saja. Shakila belajar seperti itu.
Delvin itu maunya apa, sih? Ngomong semaunya. Sikapnya sulit untuk ditebak. Sekarang, pake rebahan di samping Shakila lagi. Kan Shakila bukan hanya salah tingkah, kini ia pun salah fokus. Sebab, sekarang kan tengah hari, mau apa coba menemani Shakila tidur.
“Kenapa lo gak bilang dari dulu kalau lo Arini?” tanya Delvin seusai mendaratkan tubuhnya di kasur yang sama dengan Shakila.
Shakila anteng-anteng saja memunggungi Delvin. Kepalanya sedikit bersembunyi di bawah selimut. Dia akan berpura-pura tertidur.
“Gue tahu lo gak tidur.” Delvin menoleh sejenak ke arah Shakila yang sedang bergelung dengan selimutnya. “Jawab gak pertanyaan gue?!” Pertanyaan Delvin terdengar seperti sebuah ancaman.
“Enggak pa-pa.”
Plis deh, Shakila. Jangan macam-macam, jawab kok singkat banget. Kau mau diterkam buaya rawa? Sekarang waktunya cari aman, bukan cari masalah. Mumpung Delvin lagi menyimpan bisanya, karena sedikit lunak pada Shakila. Hari ini.
Setelah jawaban yang dilontarkan Shakila. Tiba-tiba, sunyi senyap kembali tercipta. Ini malah membuat perasaan Shakila semakin mengerikan. Karena, persepsi Shakila tentang Delvin tidak pernah hilang. Pembunuh berdarah dingin. Bagaimana kalau mendadak Shakila diterkam kemudian dimutilasi? Yang pasti, jawabannya yang enggak mungkin lah.
“Otak kewarasan gue lima puluh persen lebih tinggi dari pada lo. Jadi, pikiran ngawur lo jangan sampai membuat lo fobia juga sama gue.”
Kenapa dalam kesunyian seperti ini selalu saja Delvin mampu menebak isi pikiran Shakila? Apa tubuhnya yang bergetar menyebabkan Delvin mampu membaca suasana? Entahlah. Yang pasti, untuk saat ini perempuan itu mencoba menetralkan suasana. Badannya perlahan berbalik, meski daerah perbatasan keduanya selalu saja menjadi penghalang.
“Emang, kalau aku ngomong dari dulu kamu bakal jatuh cinta gitu sama aku?”
Delvin memutar bola matanya menemui Shakila. Tanpa ragu bahkan secepat kilat ia lantas menjawab, “Enggak juga.”
Tempat tidur itu bergoyang seketika, seperti gempa bumi yang tiba-tiba saja melanda. Sebab, Shakila seperti membantingkan tubuhnya demi kembali membelakangi Delvin.
“Pak—“ Shakila memanggil suaminya kala mereka sedang berada di meja makan untuk sarapan pagi. Setelah hari kemarin yang membuat Shakila bahagia, kini ada satu hal yang akan memaksa suaminya untuk ikut bersamanya.
“Gue bukan Bapak lo!” potong Delvin. Dan hasil dari kemarin juga, bahwa Delvin mempersilahkan Shakila memanggilnya semau Shakila. Yang jelas jangan bapak, karena kan Delvin bukan bapaknya Shakila juga. Kecuali, profesional kerja.
Sikap Delvin masih saja sama, tidak ada perubahan. Percayalah, jika kemarin dia baik. Berarti dia sedang kesambet malaikat lewat. Kalau malaikatnya sudah balik ke langit, ya sifat asal kembali mendominasi diri Delvin. Jangan berharap, jika Delvin akan berubah menjadi manja. Sebab, sikap asli Delvin sudah menjadi bagian dari kodratnya.
*Bersambung....
Ciee ... ciee... ada yang sedang mengalami kamuflase hati, nih. Wkwkwk
