Bab 7

TOK! TOK! TOK!

Shakila mengetuk pintu dengan hati-hati. Wanita itu sesekali menoleh kepada pria yang sedang menyilangkan kedua tangannya di dada tepat berdiri di samping Shakila. Shakila tersenyum innocent, namun dibalas dengan tatapan datar oleh Delvin.

“Nah, kalau tiap pagi kayak gini, aku kan jadi seneng,” lontar Shakila antusias.

Sesibuk apa pun Shakila, ia tak pernah lupa untuk berbagi kasih kepada ibu mertuanya yang kini masih terbaring lemah di kamarnya. Biasanya, sepasang suami istri itu selalu punya waktu berbeda untuk menemui Nyonya Devandra. Namun, Shakila merasa jika awal hari ini sangatlah berbeda.

Delvin memutar bola matanya menemui Shakila, lalu menjawab, “Tapi, gue enggak, tuh,” balasnya asal-asalan. Sepertinya, hati dan ucapan Delvin tampak bertolak belakang.

“Ah, masa, sih, Mas?” Shakila melontarkan senyuman nakalnya. “Terus, kenapa tadi mau ikut pas aku bilang mau ke Mama? Biasanya juga, aku selalu sendiri. Harus menyiapkan beribu alasan saat Mama menanyakan keberadaan kamu. Tapi makasih, lho. Sebab, setidaknya pagi ini, pertanyaan harian Mama akan absen di telinga aku,” adu Shakila panjang lebar. Ia sedikit berjinjit agar bisa membisikkan semua perkataan tadi di telinga Delvin. Takut kan, kalau Nyonya Devandra mendengar suara mereka. Lebih tepatnya, suara dirinya sendiri.

Delvin menggeleng samar. Berpikir. Alasan apa yang bisa mengelabuhi Shakila agar wanita itu tak menggoda perasaannya. “Kebetulan a—ja gue lagi kangen sama Mama!” sangkalnya cepat dengan suara berat.

Shakila mengedikkan bahu dengan senyum tipis terbit di bibirnya. “Gengsi banget, sih, A ....” Entah panggilan aneh macam apa lagi. Tapi, sedikit menggelikan kala Delvin mendengar istrinya memanggil dengan sebutan ‘Aa’.

Tak lama seusai perdebatan unfaedah itu, pintu coklat yang tadi diketuk mulai terbuka. Menampakkan seorang suster dengan pakaian khasnya.

“Maaf, Tuan, Non, barusan Nyonya baru saja dibersihkan tubuhnya. Jadi, saya telat membuka pintu,” jelasnya dengan menjatuhkan pandangannya ke bagian bawah lantai marmer yang dipijaknya.

“Oh, iya, gak apa-apa, Sus.” Shakila dan Delvin menerobos masuk ke kamar Nyonya Devandra. Aroma sabun cair yang digunakan untuk menyeka tubuh mama, masih sangat jelas tercium di rongga hidung keduanya.

“Sus, makanan Mama mana?” Shakila mencari-cari keberadaan nampan yang biasa berisi sarapan pagi untuk ibu mertuanya. Sudah seperti rutinitasnya, Shakila selalu menyuapi Nyonya Devandra ketika pagi menjelang. Namun, setelah sapuan matanya menelisik ke tempat biasa hidangan itu tersedia, Shakila tetap saja tak menemukannya.

Delvin yang mengekori Shakila dari sejak tadi, ia kemudian berjalan mendekat lalu mencium kening wanita yang telah melahirkannya itu. Hal yang selalu ia lakukan kala menemui mamanya. Sedangkan, Shakila hanya cukup menyapa dengan sapaan ‘Selamat pagi’.

Laki-laki yang tadi tampak tenang, kini seolah berubah menjadi gusar. “Sus, Mama jangan sampai telat makan!” ujarnya tegas. Menandakan ia tak menyukai hal yang seperti ini.

“Jangan marah-marah dulu, Delvin. Kebiasaan kamu mah,” hardik Nyonya Devandra yang mengetahui betul sifat anak semata wayangnya tersebut. Tangannya melambai kepada suster yang sedari tadi menemani, meminta agar tubuhnya mampu untuk bersandar pada headboard minimalis itu. “Mama tadi keburu laper, jadi Mama makan sebelum mandi. Jangan cemas berlebihan dulu.” Nasihat Nyonya Devandra.

Perempuan yang sempat mengalami stroke tersebut, kini kesehatannya semakin membaik. Hanya saja, kakinya belum mampu untuk menopang tubuhnya. Alhasil, ia hanya bisa duduk di tempat tidur. Atau jika dirinya merasa bosan, suster akan menemaninya berjemur di halaman belakang menggunakan kursi roda.

“Minum obat?” Delvin menegaskan pertanyaannya dengan sorot mata serta alis yang terangkat.

“Sudah tenang saja, Suster Mama selalu sigap melayani Mama. Jangan terlalu cemas.” Kini, pandangannya beralih pada sosok wanita yang satu ini. “Shakila,” panggil Nyonya Devandra pada perempuan yang kini duduk tepat berada di sebelahnya. Sedangkan, Delvin memilih untuk berdiam diri di bagian sisi ranjang yang lain.

“Iya, Ma?” Shakila merapatkan tubuhnya, karena ibu mertuanya sedikit meminta agar Shakila lebih mendekat.

“Jangan heran jika nanti Delvin posesif akut sama kamu. Lihatlah, Mama saja sering banget di posesifin sama dia.” Tawa renyahnya terlontar dari mulutnya yang tampak terlihat mengerut karena faktor usia. Akan tetapi, pancaran kecantikannya masih sangat melekat di usia senjanya.

Delvin yang mendengar hanya mendengus saja. Mamanya selalu saja begitu. Lain halnya dengan Shakila, perempuan yang mengenakan dress muslim dengan tali serut di bagian lengannya itu malah ikut terkekeh bersama ibu mertuanya.

“Tidak apa, Ma. Aku seneng jika Delvin posesif sama aku. Berarti dia perhatian banget sama aku.” Shakila ikut menimpali.

Ekor matanya sempat mencuri pandang ke arah Delvin yang sekarang sedang berkutat dengan ponselnya. ‘Sebab, kenyataannya tidak seperti itu,’ batin Shakila meronta. Merana akan nasibnya.

“Hei, Delvin, dengerin tuh, untung kamu nikahnya sama Shakila. Karena kan, kalau sama orang lain, mereka selalu nyerah dan tak sanggup karena penyakit akutmu itu,” goda mamanya sekali lagi.

Delvin memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. “Apaan sih, Mama?!” Menatap mamanya tak terima. Sebab, semenjak masuk tadi Delvin selalu saja disudutkan dan di nomor duakan. Ibarat, ia itu hanya anak tiri karena mamanya selalu membangga-banggakan Shakila. Kalau Delvin seorang cewek, pasti adegannya kayak sinetron Bawang Merah dan Bawang Putih yang pernah ngehits di televisi pada jamannya. Yang mana, Bawang Putih selalu saja tertindas.

Percis seperti saat ini, Delvin bahkan tak diperkenankan untuk menyela omongan mamanya.

“Delvin, kamu itu udah tiga bulan yang lalu nikahin Shakila. Kenapa kok belum ada tanda-tanda, sih?” Mamanya menatap nanar ke area sensitif milik Delvin. “Kamu gak impoten kan, Delvin?”

Astaga! Ingin rasanya Delvin memotong lehernya sendiri akibat pertanyaan gak bermutu dari mamanya itu. Mamanya benar-benar menyebalkan.

Di sisi lain, Shakila seolah tak kuasa menahan tawa. Namun, beruntung bibirnya berhasil di kunci rapat. Kalau tidak, ia bisa tertawa terpingkal-pingkal akibat ulah mama mertuanya.

“Ma, masa Mama meragukan aku yang tiap hari olahraga, makan makanan sehat, ditambah aku juga tidak merokok. Masa iya, aku impoten?” Delvin seperti mencari pembenaran untuk dirinya sendiri.

Nyonya Devandra terlihat menggeleng tidak yakin. Kemudian ia berkata, “Tapi, kamu pemabuk akhir-akhir ini. Mama tidak suka itu. Karena, minuman keras sangat tidak baik untuk kesuburanmu. Percuma, kalau kamu banyak olahraga, tapi banyak pula minum. Bisa-bisa, nanti kamu loyo sebelum bertanding.”

Sumpah demi apa pun, mamanya itu kesambet apa coba? Membahas hal-hal seperti ini di depan Shakila. Sangat memalukan.

Melihat reaksi dari Delvin yang kini tampak seperti kepiting rebus, akhirnya Shakila memutuskan untuk mengakhiri obrolan mereka. Terlepas dari wanita itu yang mengatakan bahagia luar biasa kala melihat Delvin dan Shakila memasuki kamarnya secara berbarengan. Itu cukup berdampak positif bagi kemajuan kesembuhannya.

“Ma, aku dan Delvin mau pergi dulu. Ada acara di luar. Mama istirahat, ya. Insya Allah kami pulang sorean. Jadi, nanti bisa nemenin Mama lagi,” ucapnya seraya mengecup punggung tangan ibu mertuanya itu.

“Sus, titip Mama, ya,” pinta Shakila.

Mereka akhirnya memutuskan meninggalkan ruangan seusai Delvin kembali mendaratkan kecupan sayangnya pada sang mama.


“Mau ke mana, sih?” Delvin menyalakan starter mobilnya. Kelihatannya, ia sedikit dipaksa Shakila. Tampangnya yang tidak ikhlas, terlukis jelas pada garis wajahnya yang tegas.

“Ikhlas nggak, nih, Vin? Kalau gak ikhlas mah gak apa-apa, biar aku pergi sendiri saja.” Shakila memasang wajah sendu. Sabuk pengaman berhasil mengikat bagian tubuhnya. Baru kali ini, ia merasakan duduk berdua di mobil Delvin. Biasanya kalau enggak Antara yang mengantar, ya ... ditinggal.

“Biar gue anter,” tandasnya. Penasaran juga sih, Delvin kala itu. Makannya, rela-relain cuman buat nganterin makhluk yang satu ini.

“Kamu tuh, harus tahu dunia luar. Biar bisa jadi orang yang patut bersyukur,” tutur Shakila. Entah kali ke berapa wanita itu ngomong kayak gitu. Rasanya telinga Delvin sudah seperti memanas.

“Lo ceramah sekali lagi, gue kirim juga ke Gontor sekalian. Biar jadi ustazah beneran!” ketusnya judes.

“Sekali-kali kamu itu harus dikasih siraman rohani, biar nggak marah-marah mulu.”

“Berisik!” maki Delvin dengan mendecakkan lidahnya.

Ya, seperti itulah Delvin. Dia tidak terlalu suka diberikan ceramah. Bukan masalah membenci ceramahnya. Tapi sadar gak sih, Shakila, kalau lo ngomong itu udah yang ke sepuluh?

*Bersambung....

Yang satu banyak omong, yang satu ngomongnya kalau perlu aja. Itu manusia kalau bersatu kayak apa, ya? Wkwkwk

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya