Bab 8

Delvin tercengang, kala Shakila menunjuki arah yang teramat asing baginya. Memasuki area kumuh, yang bahkan sepatu Delvin saja bisa-bisa alergi ketika ia menginjakkan kakinya di tempat ini. Aroma-aroma yang tidak sedap di hidung Delvin membuat pria itu sedikit mual.

“Lo, ngapain bawa gue ke tempat kayak gini?” protes Delvin sambil menutup hidungnya karena membuat indra penciumannya tidak nyaman.

“Udah turun aja, nanti kamu juga bakal terbiasa kok,” jelas Shakila santai. Ia seolah sudah kebal dengan bau-bauan yang berasal dari sampah yang mengambang di sungai keruh itu.

“Gue pulang aja!” ujarnya cepat.

Shakila menatap heran. Kok bisa ya, hidupnya bertemu orang seperti Delvin? Perasaan selama ini, semua teman-temannya tidak ada yang seperti itu.

“Janganlah, Vin. Nanggung, kan, udah di sini?! Kan tadi aku bilang, biar kamu—”

“Tahu dunia luar.” Delvin memotong cepat kalimat yang diucapkan Shakila. Ia tahu omongan itu lagi yang bakal dikatakan sang istri.

Delvin berdecak. Sesekali ia membuang nafasnya kasar. “Maksud lo apa? Gue gak biasa di tempat kayak gini. Sepatu gue mahal, bisa lecet entar.”

Shakila menyampirkan slingbag miliknya di bahu. Mengurut dadanya—harap bersabar. Kemudian ia berucap, “Vin, sekali-kali kamu ke tempat kayak gini, tidak akan melunturkan harga diri kamu, tidak akan membuatmu lecet-lecet juga. Jadi, berhentilah bersifat ke kanak-kanakan. Percaya deh, kamu bakal menemukan kebahagiaan yang berbeda di sini.”

Dengan seribu macam cara Shakila membujuk Delvin, akhirnya Delvin mau menapakkan kakinya juga di tempat yang menurutnya menjijikan itu. Laki-laki berkemeja putih tersebut tak pernah sekali pun mengenal tempat seperti ini. Rumput liar yang kentara sekali tak terurus, aroma bau yang apa lagi, belum serangga-serangga kecil yang sesekali hinggap di kulit Delvin, ditambah suara bising kendaraan bermotor yang ada di jalan raya sangatlah memekakkan telinga.

Kalau Delvin sedang mengikuti acara uji nyali, mungkin dirinya sudah kabur sedari tadi. Tapi sialnya, ia tak bisa. Celotehan Shakila yang lagi dan lagi membuat telinganya sakit. Netranya kini beralih menyusuri gang sempit yang dikelilingi rumah tak layak huni yang menjadi pemisah antara tempat ia memarkirkan mobil dengan lokasi yang dituju Shakila.

Beberapa pasang mata yang tak sengaja berpapasan dengan mereka, membuat siapa pun yang melihat Delvin seolah melihat idol Korea yang mendadak muncul di area perkampungan mereka. Namun, jangan bayangkan wajah Delvin seperti oppa-oppa. Karena, Shakila berpendapat kalau Delvin bukanlah titisan orang Korea. Meski matanya sedikit agak sipit, tapi gantengnya beda. Kata wanita itu ketika beradu argumen dengan kedua sahabatnya.

“Assalamu’alaikum, anak-anak …,” sapa Shakila dengan ceria. Delvin hanya mengekor di belakang istrinya seraya netranya menelisik ke setiap sudut area yang ia lihat.

Sebuah tikar yang cukup lebar menjadi alas anak-anak jalanan duduk di atasnya. Atapnya hanya terbuat dari tenda hitam yang dikaitkan pada tiang-tiang bambu. Pinggirannya terdapat rerumputan yang tumbuh liar dengan bebasnya. Langit cerah membuat terik matahari langsung menyambut kulit putih keduanya. Tak lupa, Delvin pun dengan jelasnya memandangi gedung-gedung pencakar langit yang terlihat dari posisinya berdiri. Jaraknya tak terlalu jauh, hanya terhalangi oleh beberapa rumah kardus yang berdiri di atas bantaran sungai yang airnya menghitam entah karena apa. Miris memang.

“Wa’alaikum salam, Kakak.” Anak-anak yang jumlahnya tak kurang dari dua puluh orang itu menyambut Shakila dengan suka cita. Sebuah papan tulis juga sudah tersedia di sana. Delvin mengira, jika Shakila akan menjadi guru dadakan mereka.

Benar saja, sesaat setelah Shakila menyimpan tasnya, wanita itu terlihat mengambil sebuah spidol hitam tepat berada di samping white board kecil yang siap digunakan untuk belajar mengajar.

Rona bahagia Shakila tertangkap jelas oleh Delvin saat wanita itu mulai mengajarkan anak-anak tentang baca tulis. Delvin yang memilih duduk di sebuah bangku panjang yang tak jauh dari radar Shakila. Namun, tubuhnya sama sekali tak ada pelindung. Hanya langit birulah yang menaunginya. Sorot sang surya pun tak pelak menembus kulitnya. Tapi, benar kata Shakila, ada suasana berbeda saat menatap anak-anak itu belajar dengan begitu antusias. Bahagia rasanya kurang pas untuk mendeskripsikan perasaan Delvin. Lebih ke arah puas, ketika mendengar anak-anak itu dapat tertawa bersama.

Entah ada aliran apa, hati Delvin lagi-lagi merasa tidak terkontrol menatap pesona Shakila saat menjadi guru dadakan. ‘Pantas, Mama tergila-gila sama Shakila. Dia baik,’ batinnya tanpa sengaja memuji.

Akan tetapi, jiwa yang satunya menolak keras. “Dia tetep aja dia, ratunya biang rusuh.” Kalau digambarkan, kedua sisi seorang Delvin sedang berperang. Satu pendapat ikut malaikat, yang satu pendapat lagi ikut musuhnya malaikat.

“Aduh, sayangnya aku kok keringetan.” Shakila menyeka buliran keringat yang muncul di kening pria yang mulai tersadar dari lamunannya. Entah berapa lama ia melamun. Tapi sepertinya cukup lama, karena anak-anak itu mulai bergegas membereskan peralatan belajarnya. Meski, hanya selembar buku lusuh dan satu buah pulpen hitam.

“Aduh, Kak Shakila kok romantis banget,” celetuk seorang anak laki-laki yang diiringi sorotan mata semua bocah yang ada di sana. Umur mereka kisaran sepuluh tahunan, tapi mereka sama sekali tak mengenal bangku sekolah dikarekan ketidakmampuan orang tua demi membayar biaya sekolah.

Sorak sorai serta riuh tawa memenuhi area tersebut. Shakila hanya nyengir dengan kedipan mata menggoda pada anak tadi. Lain halnya dengan Delvin, laki-laki itu merebut tisu yang dipegang Shakila. Ia malu.

“Kak … Kak, resep biar dapet suami kayak suami Kakak gimana?” Anak cewek ikut berkomentar. Mereka tahu jika Delvin suaminya Shakila, sebab dengan bangganya perempuan itu memperkenalkan pada mereka kalau Delvin adalah suami kesayangannya.

“Kamu mah, bikin bolu kali ah, pake resep.” Shakila tergelak. Ia kemudian menarik Delvin untuk duduk ke area yang lebih teduh.

“Udah, ya … pada pulang, yang langsung kerja pada hati-hati. Minggu depan kita belajar lagi,” tutup Shakila ketika anak-anak menyalaminya untuk berpamitan.

Ya, mungkin kerja yang dimaksud Shakila pada anak-anak itu adalah mengamen atau pun memulung. Karena, mau tidak mau, mereka harus ikut banting tulang demi sesuap nasi. Seharusnya, seumuran mereka itu lagi senang-senangnya bermain dan belajar. Tapi, nasib mereka berbeda. Tuhan mengatur mereka menjadi pribadi yang kuat. Sebab, selama Shakila mengenal anak-anak itu, tak pernah sedikit pun melihat mereka murung. Senyum anak-anak jalanan tersebut selalu terukir kapan pun itu.

“Vin, gimana? Seneng ya, bisa ada di tengah-tengah mereka. Kita jadi tersadar, jika kita harus lebih bersyukur dari pada mereka. Mereka dengan segala keterbatasannya saja tak pernah mengeluh, apalagi kita. Terkadang aku malu. Karena, hati aku belum selapang hati mereka.” Perempuan yang senangnya mengoceh tak jelas, kini kata-katanya sedikit bermakna.

“Tumben lo bener?” Delvin yang kini merasakan duduk di tempat anak-anak tadi, sedikit memutar tubuhnya. Menyesuaikan kenyamanan. Untungnya, posisi mereka itu berhadapan dengan bagian belakang rumah warga. Jadi, tidak terlalu bebas orang hilir mudik.

“Aku mah selalu benar kali ….” Shakila lagi-lagi, menyenderkan kepalanya. Sebuah pertanyaan yang menggelitik muncul begitu saja di benak Shakila ketika mengingat ucapan mama mertuanya tadi pagi.

“Vin, kalau kamu punya anak pengen berapa?”

Laki-laki yang terpaut tiga tahun dengan wanitanya itu, mengubah ekspresinya semakin datar. “Gue gak mau jawab.”

“Kenapa?”

“Gue gak mau bahas aja,” jawabnya asal-asalan.

“Hmm … jangan-jangan bener, ya, apa yang dikatakan mama?” Shakila sedikit mengangkat kepalanya. Beralih, kini dagunyalah yang bertopang di bahu pria yang menatap lurus ke depan. Aroma dari leher Delvin sukses membuat Shakila seakan mabuk. Wanginya itu loh, serasa gimana … gitu.

“Enak aja, lo ngomong.” Delvin menyentil hidung Shakila. Kemudian sedikit menarik ujung depan jilbabnya sehingga terlihat berantakan. “Perlu pembuktian?!” Senyum tipis terbit di bibir Delvin.

“Ah, apaan, sih? Kok aku jadi ngeri, ya?” Shakila yang tadi memundurkan kepalanya, kini kembali ke posisi semula. Bertopang dagu di bahunya Delvin.

“Vin ….”

“Hmm ….” Delvin menyahut dengan gumaman.

“Vin …,” panggil Shakila lagi.

“Apa?” Delvin berniat untuk memalingkan wajahnya ke arah Shakila. Bermaksud untuk menatapnya. Tapi, wanita itu malah lebih dulu menyentuh pipi Delvin dengan … bibirnya.

Shakila cekikian saat sukses dengan tindakannya. Untuk pertama, ia bisa mencium pipi Delvin tanpa lelaki itu menghardiknya. Kalau boleh, ia sekarang ingin berselebrasi bak pemain bola yang berhasil membobol gawang lawan.

Kemudian dengan gembiranya, Shakila berkata, “Satu … kosong ….”

*Bersambung….

Kok aku baper, yaa…. ada yang sama? Ck. :D

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya