Bab 9

“Mbak, cepet, ya. Soalnya Pak Delvin mau berangkat.” Shakila berteriak dari meja makan. Mulutnya dipenuhi nasi goreng yang bisa saja tak sanggup ia habiskan. Waktunya mepet, tak lebih dari dua puluh detik lagi sebelum Delvin berangkat ke kantor.

Hari ini, ia kembali terlambat bangun. Bukan karena bangun terlalu siang, tapi seusai sholat Subuh ia malah memilih kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Alhasil, ya seperti saat ini. Lima belas menit tersisa untuk berbagai macam. Dimulai dari mandi, merias wajah, sarapan, dan ... menyiapkan bekal. Semuanya ia lakukan secepat kilat, meski secara logika waktu sesempit itu mustahil dapat melakukan segalanya.

“Tiga detik lagi!” teriak Delvin diambang pintu. Pria dengan kemeja putih serta jas hitam yang tersampir di lengannya itu tengah menatap pasti jam di pergelangan tangannya. Lebih sedetik saja, Shakila siap-siap naik ojol lagi.

“Ayo berangkat!” ujar Shakila bersemangat. Kedua tangannya terbuka lebar, yang satu menjinjing paper bag berisi bekal dan tangan lainnya membenarkan handbag yang ia bawa.

Delvin mendesah lelah. “Kerudung lo?!” Pria itu mengedikkan dagunya seolah menunjuk jilbab segi empat Shakila yang belum tersemat peniti. Leher Shakila terekspos nyata di hadapan Delvin. Karena, wanita tersebut hanya sempat menyilangkan kedua ujung kerudungnya pada bahunya.

“Eh, lupa—“ Shakila menepuk jidat, ia menyodorkan kedua lengannya ke hadapan Delvin, lebih tepatnya menyodorkan barang-barang yang ia bawa. “Tolong, dong, bawain dulu. Mau benerin kerudung, nih,” pinta Shakila yang direspons tak acuh oleh Delvin. Laki-laki itu malah melengos dan berjalan menjauhi Shakila.

“Ogah ...!” Delvin menolak mentah-mentah.

Lagian, Shakila itu aneh. Namanya seorang laki-laki mana mau disuruh-suruh, apa lagi cuman barang-barang yang dianggapnya tak penting.

Perempuan berkerudung mocca itu tampak melepaskan deru nafasnya yang terasa sesak. “Sabar ...,” gumamnya pelan.

Detik kemudian, seseorang berteriak dari arah mobil Delvin. “Mau masuk gak, nih?!” Antara menyembulkan kepalanya saat Shakila berjalan dengan langkah gontai. Menurut Shakila, semua pria sama-sama menyebalkan.

“Mau, Pak Anta,” jawabnya kemudian. ‘Kenapa juga akhir-akhir ini jam tidurnya selalu saja merepotkan?’ rutuknya dalam hati.

Di dalam mobil, Shakila tampak tak banyak bicara. Ia malah sibuk mencari-cari peniti yang biasanya selalu ada di dalam tasnya. Ia selalu menyimpannya dalam kotak kecil sebagai cadangan jikalau ia butuh. Tapi, kok tidak ada. Perempuan itu mulai komat-kamit. Mengutuk dirinya sendiri. Ia sungguh kesal pagi ini. Apalagi, Delvin yang seperti diktator yang tak bisa toleran pada dirinya. Setiap pagi bagaikan dikejar-kejar anjing galak. Kalau tidak gerak cepat, semuanya pasti ambyar.

“Kenapa lo? Lo nyesel berangkat bareng gue?” Delvin yang sedari tadi duduk di sampingnya mulai berkomentar.

“Ih, bukan, Vin.” Shakila memutar bola matanya menemui Delvin. Raut wajah pria itu kembali seperti anjing galak. Sama-sama menakutkan.

“Peniti aku ilang, gak tahu di mana. Mungkin lupa naro.”

Delvin masih meneliti leher Shakila yang sekarang semakin jelas terlihat. Bagaimana tidak, duduk mereka berdempetan. Apalagi, hal yang seperti ini jarang dilihat Delvin. Leher putih nan mulus itu sukses membuat Delvin menelan salivanya. Padahal, sebelum Shakila berjilbab seperti sekarang, tak sedikit pun laki-laki itu tertarik dengan spesies yang satu ini.

“Antara, turunkan kaca spion!” titahnya tanpa ingin dibantah. Ternyata, Delvin memergoki Antara sedang mencuri pandang ke arah Shakila.

“Emang kenapa?” Antara pura-pura polos.

“Mata lo jelalatan, Anta!” tandas Delvin dengan suara datar.

‘Astaga! Hari aneh macam apa yang gue lewati. Dua hari gak ketemu Delvin, kenapa laki-laki ini ketularan gilanya kaya Shakila?’ racau batin Antara. Ia menurut, menurunkan kaca spion mobil dengan sebelah tangannya. Sedangkan tangan yang lain fokus memegang setir.

“Berhenti di butik!” perintah Delvin yang lagi-lagi mengagetkan Antara.

“Kan barusan butik udah kelewat, Bos?” protes Antara dengan nada kontradiktif.

“Gue bilang berhenti di butik!?”

Antara mendesah. “Putar balik, dong ...?”

“Gue rasa lo punya otak. Lo jangan males berpikir. Kalau gue ngejelasin, bisa-bisa abis waktu gue!” Penjelasan Delvin itu selalu saja membuat orang menohok. Kalau pun enggak, ya ... sedikit nyelekit.

Beralih pada makhluk yang satu ini, Shakila terlihat terkekeh, perempuan itu sempat berpikir, ‘Padahal tinggal jawab ‘Ya’ itu jauh lebih singkat ketimbang ngomong panjang kayak tadi.’

Tak ada angin atau pun badai, telinga Shakila seolah mendadak dilanda guntur di siang bolong. “Turun!”

“Siapa?” Shakila mengernyit tak paham.

“Ya lo-lah,” jawab Delvin singkat. Pria itu menarik lengan Shakila saat mobil sudah terparkir di depan sebuah butik ternama di kota tersebut.

“Udah ikut gue! Jangan banyak tanya!” Tubuh keduanya beringsut turun meninggalkan Antara yang dibuat melongo. Semenjak putar balik tadi, ia merasa ada yang sedang tidak baik-baik saja.

‘Oh, Tuhan. Jawablah pertanyaan hamba, apa Delvin terkena serangan geger otak?’

Antara masih merasa aneh dengan pagi ini. Apalagi, kala melihat Delvin menuntun Shakila masuk ke dalam butik.

Perempuan itu kini tengah berkutat dengan baju-baju mahal yang mungkin bisa saja satu potong baju setara dengan dua bulan gajinya.

“Lo pilih mana yang lo mau? Dan sepertinya pakaian lo juga kekecilan?!” tawar Delvin sekaligus mengoreksi penampilan Shakila.

Dikritisi, sontak netra wanita itu meneliti tubuhnya. Celana jeans ketat dengan bajunya yang masih longgar menutupi bagian bawah area sensitifnya. Kurang lebih setengah paha. Persis pakaian anak kuliah ketika akan pergi ke kampus. Tidak ada yang menonjol juga. Ya, memang pakaian Shakila tidak ada yang bermerek. Namun, selalu cocok saja dengan badannya.

“Apanya yang kecil? Semuanya masih cukup kok. Ini pakaian yang biasa aku pakai. Dan nyaman juga.”

“Lo itu berjilbab, tapi masih suka pakai celana jeans. Aneh.”

“Ya gak apa-apa, dong. Kan aku pakai yang sopan juga. Enggak nonjolin ini itu,” kilah Shakila.

Pegawai butik yang tadi menawarkan beberapa baju kepada Shakila dibuat heran dengan pasangan yang satu ini. Mendengar perdebatan mereka lebih seru ketimbang menonton serial drama India di televisi.

“Mbak! Urus dia!” Setelah adu argumen, Delvin menjentikkan jarinya kepada pegawai butik yang diangguki mengerti oleh wanita itu.

Alasan Shakila tak mempan menggoyahkan niatnya Delvin. Padahal, sayang sekali jika harus bayar mahal cuman buat satu setel pakaian plus dengan jilbabnya. Shakila terus saja menghitung.

“Pak Delvin itu selalu mempercayakan style-nya kepada kami. Jadi, Mbak jangan khawatir akan penampilan, Mbak. ” Ucapan pegawai butik membuat Shakila tersadar dari lamunannya.

Perempuan berbadan tinggi itu seolah sudah mengerti akan karakter Shakila. Sejenak menelisik penampilan apa yang cocok untuk istri dari atasannya itu.

Akhirnya, setelah hampir seperempat jam menunggu. Delvin dibuat pangling dengan gaya fashion Shakila. Wanita itu tampak anggun dengan rok bermodel plisket berwarna peach dipadu dengan atasan putih bermotif bunga di kedua bahunya. Kerudungnya pun sangat simpel plus cocok banget di tubuh Shakila.

“Kenapa, Vin? Aku cantik, ya?” Dengan bangganya ia tebar pesona di hadapan Delvin yang tengah duduk di sebuah sofa.

Delvin menutup lembaran majalah yang sempat ia baca. Pria itu kini tampak berdiri seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Kemudian berkata, “Biasa aja,” jawabnya berbohong. Jelas-jelas tadi, Delvin sempat berhenti nafas beberapa detik akibat pancaran pesona seorang Shakila. Tapi, ia tak mau mengakuinya.

“Dasar gengsi!” hardik Shakila kesal. Sepertinya, dalam kamus hidup Delvin tidak ada acara memuji-muji orang. Malah dia yang selalu ingin dapat pujian.

“Bukan gengsi, tapi harga diri!” sangkalnya lagi.

Memang, kalau orang kaya ngomongnya selalu saja masalah harga diri. Harga diri harga mati.

Shakila disibukkan dengan penampilan barunya, sampai tak sadar jam kantor sudah lewat beberapa saat lalu. Laki-laki yang menjadi suaminya kini menariknya dari ruangan tersebut. “Vin, kok gak bayar?” ingat Shakila saat Delvin menuntunnya kembali menuju ke luar butik.

“Ini butik milik gue, dan bisa jadi—bakal jadi milik lo juga!” jelasnya pelan.

Shakila menghentikan pijakan kakinya membuat Delvin menoleh seketika. Wanita itu berdehem sebentar, mengatur nafasnya. Kemudian berbicara, “Ciee ... serius, nih, mau dikasih ke aku?”

*Bersambung....

Ekhem... Siapa yang masih ngikutin cerita aku sampai chapter ini? Komen di bawah, ya....

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya