Bab [11]
Larut dalam pikiranku, tanpa sadar aku pun tertidur.
Kukira aku akan dihantui mimpi buruk, tapi ternyata aku bisa tidur nyenyak sepanjang malam.
Saat aku bangun, di atas nakas sudah ada setumpuk uang tunai, sebuah kartu nama, dan secarik kertas pesan: Hubungi aku jika ada apa-apa.
Tulisan tangan di kertas itu tampak tegas dan berkarakter, sama seperti Jindra Gunawan.
Sebenarnya, saat pemakaman orang tuaku, dia pernah memberiku kartu nama yang sama. Waktu itu Felix Fajar yang melihat kartu nama itu sempat menyindirku dengan nada cemburu, dan setelah itu kartu nama tersebut hilang entah ke mana.
Saat aku turun ke lantai bawah, kepala pelayan langsung menyambutku.
"Nona Laura, Tuan Muda sudah berangkat ke kantor. Pakaian ganti untuk Nona sudah disiapkan di lemari kamar, sudah dicuci dan dikeringkan. Barang-barang lainnya juga tadi pagi sudah diantarkan ke kamar Nona atas perintah Tuan Muda."
Aku yang masih mengenakan piyama memang berniat turun untuk menanyakan di mana pakaianku yang semalam. Tak kusangka, Jindra Gunawan sudah mengurus semuanya dengan begitu rapi. Ternyata, dia punya sisi yang sangat perhatian.
Sarapan yang tersaji pun adalah menu bernutrisi yang khusus dipesankan Jindra untukku.
Setelah berterima kasih pada kepala pelayan, aku meminjam telepon rumah di vila itu untuk menelepon sahabat karibku, Yessi Wijaya.
Sejak orang tuaku meninggal dan aku menikah dengan Felix Fajar, aku hamil tak lama kemudian dan hampir tidak punya kehidupan sosial. Karena itu, Yessi pernah memintaku menghafal nomor teleponnya, katanya akan berguna di saat darurat. Tak disangka, hari ini nomor itu benar-benar menjadi penyelamatku.
Di telepon, aku menceritakan semua yang kualami pada Yessi. Sebagai seorang pengacara, dia sudah sering menangani kasus perceraian di mana pasangan saling menjatuhkan dan menjadi musuh bebuyutan. Tapi tetap saja, setelah mendengar ceritaku, dia geram sampai mengertakkan gigi. Dia memaki Felix dari ujung rambut sampai ujung kaki, bahkan sampai menyumpahi tujuh turunan keluarganya, sebelum akhirnya bisa sedikit tenang dan mulai menganalisis situasinya untukku.
"Luna, cara terbaik untuk membalas dendam pada bajingan itu adalah dengan merebut apa yang paling dia hargai. Tapi Felix itu lulusan keuangan dan bisa mengambil alih Grup Laura dalam setahun, dia bukan orang sembarangan. Kita harus menyusun rencana jangka panjang dan mencari bukti transfer asetnya. Kalau tidak, meskipun kamu menang gugatan cerai, kamu hanya akan dapat perusahaan kosong. Bisa-bisa dia malah sengaja membuat utang atas namamu. Jadi untuk sekarang, kamu harus tahan rasa mualmu itu, jangan sampai Felix curiga. Pura-pura saja tidak tahu apa-apa."
Yessi bisa menjadi pengacara perceraian ternama seperti sekarang karena profesionalismenya yang tak diragukan. Semua sertifikasi yang diperlukan sudah dia kantongi. Setelah itu, dia mengasah kemampuannya di firma hukum ternama hingga akhirnya bisa menangani kasus secara mandiri. Begitu reputasinya terbangun, dia membuka firma hukumnya sendiri. Kasus yang dia tangani tidak pernah sekalipun kalah.
Karena itu, aku sepenuhnya mengikuti sarannya.
Lagi pula, Felix adalah lulusan universitas ternama, melanjutkan S2 dan S3, serta mengantongi banyak sertifikat. Setelah menyelesaikan doktoralnya, dia bisa mengambil alih Grup Laura dan menjalankannya dengan lancar. Dia jelas bukan orang bodoh. Untuk melawannya, aku memang butuh rencana dan persiapan yang matang.
"Aku tahu!"
Aku tidak akan membiarkan rencana licik Felix berhasil. Dia jangan harap bisa mendapatkan sepeser pun dari warisan orang tuaku.
"Sekarang, beraktinglah di depannya. Jadilah perempuan lemah yang sudah yatim piatu, tanpa sandaran, dan gampang dimanipulasi olehnya. Jadilah cupu untuk cinta yang tidak rela bercerai. Biarkan dia lengah, lalu sedikit demi sedikit kumpulkan bukti perselingkuhannya. Oh ya, bukankah kamu bilang dapat video provokasi dari si pelakor itu? Nanti kalau sudah pulang, pastikan video itu kamu simpan baik-baik."
"Baik!" jawabku patuh.
Yessi menghela napas, tak tega. "Luna, sekarang masalah ini sudah terjadi, kamu jangan takut, masih ada aku! Ayah dan Ibumu di surga pasti juga sedang melihat dan menjagamu. Kamu tidak sendirian."
Tenggorokanku terasa kering dan mataku mulai memanas. "Aku tahu. Hanya saja... aku sangat menyalahkan diriku sendiri. Dulu Ayah sudah mengingatkanku, tapi aku terlalu bodoh sampai tidak mengerti maksudnya."
"Ini bukan salahmu! Felix yang niatnya busuk dan moralnya bejat. Kalau Paman saja dulu bisa melihat gelagatnya, itu artinya kepalsuan tidak akan bisa bertahan selamanya. Secermat apa pun Felix, dia pasti akan meninggalkan jejak. Sekarang dia merasa akan berhasil, dia pasti akan besar kepala dan ceroboh. Saat itulah kamu bisa mendapatkan lebih banyak bukti."
Mendengar ayahnya disebut, hatiku kembali nyeri. Ayahku mampu membangun Grup Laura dari nol, tentu beliau sudah bertemu dengan berbagai macam orang. Pandangannya tajam. Dulu beliau pasti sudah melihat bahwa Felix tidak seperti kelihatannya, karena itulah beliau tidak setuju aku bersamanya.
Tapi apa yang telah kulakukan?
Bukannya menuruti orang tuaku, aku malah memberontak. Tak lama setelah mereka meninggal, aku justru menikah dengan orang yang tidak mereka setujui, dan sekarang orang itu berkomplot untuk merebut harta peninggalan mereka.
Aku benar-benar pantas mati.
"Yessi, untung ada kamu. Kalau tidak, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana," jawabku dengan suara tercekat menahan tangis.
Yessi menenangkanku dengan lembut, "Luna sayang, jangan menangis. Aku akan melindungimu. Dan lagi, kamu curiga anakmu meninggal karena diracuni oleh mereka, kan? Kita juga harus cari cara untuk membuktikannya. Kalau terbukti, itu sudah masuk kasus pidana. Dia dan ibunya yang jahat itu bisa sama-sama masuk penjara."
"Iya, iya!" Aku mengangguk-angguk di seberang telepon. "Aku mengerti maksudmu. Baik bukti soal anakku yang mereka racuni, bukti perselingkuhannya, maupun bukti transfer aset, semuanya akan aku kumpulkan. Lalu aku akan menjatuhkannya sekaligus. Aku sendiri yang akan melindungi warisan peninggalan orang tuaku."
Yessi memujiku dengan nada lega, "Luna memang yang paling kuat. Kamu juga harus hati-hati, ya. Nanti aku pesankan beberapa kamera tersembunyi dan alat perekam. Aku akan minta asistenku untuk memberikannya padamu. Pasang di semua tempat pribadi yang sering didatangi si bajingan itu, misalnya di rumah, di mobil, dan di kantornya. Dengan begitu, aku tidak percaya kita tidak bisa mendapatkan kesalahannya."
Aku sudah bisa berpikir selangkah lebih maju. "Kalau begitu, apa perlu kita sewa detektif swasta juga untuk menyelidiki dan mengikutinya diam-diam? Mereka kan profesional di bidang itu. Urusan profesional, serahkan pada ahlinya!"
"Pintar sekali, sudah bisa berpikir kreatif! Itu juga cara yang bagus! Dan kamu harus bergerak cepat. Si pria brengsek itu sudah tahu kalau kamu tahu perselingkuhannya. Dengan gayanya yang penuh perhitungan, dia pasti akan waspada. Jadi, kita harus menyerang lebih dulu." Yessi tak segan memujiku.
Berkat dukungannya, hatiku yang tadinya dipenuhi amarah dan kegelisahan kini menjadi jauh lebih tenang.
"Kalau begitu, aku akan pulang sekarang!" sahutku.
Karena sudah kuputuskan untuk menghadapinya dengan berani, aku harus segera bertindak.
Di akhir percakapan, Yessi berkata, "Jangan takut, tunggu aku pulang!"
Saat ini dia sedang berada di luar kota untuk menangani sebuah kasus. Tapi kalimat itu saja sudah memberiku kekuatan. Aku tidak lagi berjuang sendirian.
Mataku kini berkilat dengan kobaran kebencian dan semangat juang.
Felix Fajar, tunggu saja pembalasan dendamku yang paling kejam!
Setelah menutup telepon, aku bersiap untuk pulang. Namun, Jindra Gunawan sudah membantuku dengan sepenuh hati. Rasanya tidak pantas jika aku pergi begitu saja tanpa pamit.
Maka, kuambil kartu nama yang dia berikan, dan kuputuskan untuk meneleponnya langsung untuk mengucapkan selamat tinggal.
