Bab [4]
Pintu lift terbuka. Melihat ada orang di dalam, ketegangan yang mencengkeramku seketika sirna.
Aku hanya sempat berteriak minta tolong sebelum tubuhku lunglai dan ambruk.
Di dalam lift, ada sepasang lansia—kakek dan nenek—yang tinggal di lantai atas apartemen kami.
Melihat kakiku yang berlumuran darah dan wajahku yang pucat pasi menahan sakit di perut, mereka bergegas memapahku.
“Nak, kamu kenapa?” Si nenek pernah beberapa kali melihatku saat kami sama-sama jalan-jalan sore di sekitar kompleks.
Dengan napas yang hampir habis, aku memohon, “Nek, tolong saya. Ibu mertua saya tidak suka karena bayi yang saya kandung perempuan, dia tidak ingin saya melahirkannya. Dia bukan cuma merampas ponsel saya supaya saya tidak bisa menelepon 112, tapi juga memukuli perut saya! Tolong, Nek, bantu saya telepon 112, bawa saya ke rumah sakit, selamatkan anak saya!”
“Apa?!” Nenek itu terperangah mendengar cerita yang begitu mengerikan. “Bagaimana bisa ada orang seperti itu di dunia ini? Benar-benar keterlaluan! Nak, jangan takut, Nenek teleponkan ambulans sekarang juga.”
Mendengar itu, Lisa Santoso, sambil menahan sakit, mengejar keluar dari unit apartemen, mulutnya langsung menyemburkan racun.
“Jalang, jangan mengarang cerita di sini! Jelas-jelas kamu yang tidak sopan sama orang tua! Gue sudah susah payah siapkan sarapan, menyuruhmu bangun untuk makan, tapi kamu malah mengeluh kepagian dan memukul gue! Gue terpaksa membalas, siapa sangka kamu malah sengaja membenturkan perutmu sendiri untuk memfitnah gue, supaya anak gue mengusir gue pulang kampung! Sekarang kamu mau memutarbalikkan fakta? Tega sekali hatimu?!”
Dia bilang aku memutarbalikkan fakta? Dialah yang sedang melakukannya!
Aku nyaris muntah darah karena amarah mendengar ucapannya yang memutarbalikkan kebenaran. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. “Bukan begitu, dia bohong. Nek, tolong cepat telepon, perut saya sakit sekali….”
Nenek itu memandang Lisa Santoso, lalu beralih menatapku. Raut wajahnya tampak bimbang, tidak tahu harus memercayai siapa.
Namun, pada akhirnya, melihat kondisiku sebagai wanita hamil yang menyangkut nyawa, beliau memilih untuk membantuku menelepon.
Melihat itu, Lisa Santoso langsung menerjang hendak merebut ponsel si nenek.
“Mau apa kamu? Jangan telepon! Dia itu cuma pura-pura! Wanita mana yang tidak melahirkan? Kenapa giliran dia jadi begini, heboh panggil 112, teriak minta tolong. Manja sekali! Menghabiskan uang anakku memang tidak pernah tahu diri!”
Aku sudah tidak tahan lagi, lalu berteriak dengan suara lirih, “Modal awal Felix Fajar mendirikan perusahaan itu dari saya! Dia sudah berjanji akan memberikan saya saham pendiri! Uang yang saya pakai adalah uang saya sendiri!”
“Uangmu apanya? Dirimu saja milik anakku, tentu uangmu juga jadi milik anakku,” sahut Lisa Santoso dengan logika sesatnya.
Nenek itu sampai terkejut mendengar perkataannya. “Bagaimana cara bicaramu ini? Gadis ini hanya menikah dengan anakmu, bukan menjual diri padanya! Saya belum pernah melihat ada orang yang morotin menantu tapi begitu bangganya!”
“Siapa yang kamu bilang morotin?!” Lisa Santoso murka dan hendak menampar mulut si nenek.
Kakek, yang sejak tadi diam, langsung mendorongnya menjauh. “Memang benar kamu! Kalau tidak mau dibilang, jangan lakukan! Istriku, telepon saja! Hari ini ada aku di sini, aku mau lihat siapa yang berani mengganggumu dan gadis ini!”
Lisa Santoso terdorong hingga membentur dinding lift. Dia naik pitam dan hendak maju lagi.
Namun, saat melihat kakek itu menggenggam tongkatnya, siap mengayunkannya ke tubuhnya, nyalinya langsung ciut.
Dia hanya bisa menatapku dengan penuh kebencian, seolah ingin mengulitiku hidup-hidup.
Aku tidak memedulikannya. Dengan mata berkaca-kaca, aku mengucapkan terima kasih kepada kakek itu.
Setelah Ayah dan Ibu meninggal, Felix Fajar mencuci otakku, membuatku percaya bahwa kerabat yang mendekatiku sebenarnya hanya mengincar warisan besar yang ditinggalkan orang tuaku.
Maka, aku mengabaikan penolakan mereka dan bersikeras menikah dengan Felix. Aku bahkan memutuskan hubungan dengan semua orang, hingga akhirnya hidup sebatang kara.
Awalnya, Felix Fajar begitu memanjakanku, sangat lembut dan perhatian.
Saat Lisa Santoso baru pindah kemari, dia juga sangat merawatku. Setiap kali aku ingin melakukan pekerjaan rumah yang ringan, dia akan segera merebutnya.
Dia akan berkata dengan penuh perhatian, “Luna, Felix menikahi kamu itu untuk dimanjakan, bukan untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Apalagi sekarang kamu sedang hamil, bagaimana kalau kamu kelelahan? Sudah, anak baik, istirahat saja di sana. Kalau mau apa-apa, bilang saja sama Mama, biar Mama yang kerjakan!”
Saat itu, dimanja suami dan disayang mertua, aku benar-benar hidup seperti seorang putri kecil.
Bahkan teman-teman di kantor sangat iri padaku, karena kehidupan pernikahan mereka semua penuh dengan masalah.
Entah itu bertengkar dengan suami atau hubungan yang tegang dengan mertua. Semua orang iri karena aku menemukan pria yang begitu sempurna dan mertua yang pengertian serta rajin.
Aku pernah merasa sangat bersyukur karena tidak mendengarkan nasihat keluargaku dan memutuskan hubungan dengan mereka.
Menikah dengan Felix Fajar adalah keputusan paling tepat dalam hidupku.
Namun sekarang, saat dikhianati oleh Felix dan ditindas oleh Lisa Santoso, bahkan tidak ada satu orang pun yang bisa membelaku, aku sungguh menyesalinya.
Tapi penyesalan sudah tidak ada gunanya. Yang harus aku lakukan sekarang adalah berusaha menyelamatkan apa yang masih bisa diselamatkan!
Ambulans datang dengan cepat. Aku diangkat dengan hati-hati ke atas tandu oleh petugas medis. Saat petugas bertanya siapa keluarga yang akan mendampingi, Lisa Santoso dengan sigap naik ke dalam ambulans.
“Saya ibu mertuanya, saya ikut!” ucapnya sambil menatapku dengan tatapan dingin dan mengancam.
Firasatku mengatakan dia pasti akan membuat ulah lagi di rumah sakit.
Tapi perutku saat ini benar-benar sakit luar biasa. Aku hanya ingin segera sampai di rumah sakit untuk menyelamatkan bayiku.
Ambulans melaju. Dua puluh menit kemudian, aku dibawa masuk ke ruang bersalin.
Dokter memeriksaku. Aku mengalami pendarahan hebat dan berisiko tinggi.
Posisi bayiku juga sungsang, tidak memungkinkan untuk lahir normal. Dokter menyarankan untuk segera melakukan operasi caesar.
Namun, begitu mendengar kata ‘operasi caesar’, Lisa Santoso langsung membuat keributan.
“Jangan pikir saya tidak tahu! Kalian para dokter gadungan ini hanya ingin mencari uang lebih dari biaya operasi! Tidak bisa! Kami tidak mau operasi, biar dia lahir normal! Kalau tidak bisa lahir, biarkan saja dia mati di meja persalinan!”
Mendengar kata-kata yang begitu dingin dan kejam itu, aku sadar, Lisa Santoso benar-benar menginginkan kematianku.
Aku memaksakan diri untuk bangkit dari ranjang, lalu berkata dengan lemah, “Dokter, jangan dengarkan dia. Saya yang memutuskan, operasi saja! Saya sadar sepenuhnya, surat persetujuan operasi biar saya yang tanda tangan.”
Dokter pun terkejut dengan ucapan ngawur Lisa Santoso tadi. Jadi, ketika aku menawarkan diri untuk menandatangani, beliau tanpa ragu langsung menyodorkan formulir persetujuan operasi kepadaku.
Baru saja aku hendak mengambilnya, Lisa Santoso tiba-tiba menerjang, merebut formulir itu dan merobeknya hingga berkeping-keping.
Dia bahkan hendak memukulku. “Dasar jalang! Siapa yang melahirkan tidak berisiko? Kenapa cuma kamu yang sok istimewa? Tidak boleh caesar! Anak yang lahir caesar tidak sepintar yang lahir normal. Hari ini kamu harus melahirkan sendiri!”
Para perawat di sekitarnya segera menahannya. Dokter pun tampak sangat heran. “Ibu, tolong tenang. Kami ini dokter, tolong percayai penilaian profesional kami. Kondisi menantu perempuan Ibu memang sangat berbahaya. Jika tidak segera dioperasi, kemungkinan besar ibu dan bayinya tidak akan selamat!”
Dokter sudah menjelaskan konsekuensi terburuk di hadapannya, tetapi Lisa Santoso tetap saja mengamuk dan tidak mau mengerti.
