Bab [5]
"Pokoknya nggak! Kalau aku bilang nggak, ya nggak!" Lisa Santoso mulai mengamuk, menggunakan segala cara yang dia bisa. "Profesional apanya? Cuma sekelompok perawan yang bahkan belum menikah, kalian tahu apa tentang melahirkan? Aku ini sudah pernah melahirkan, jadi kalian semua harus dengar aku!"
Para petugas medis hanya bisa terdiam, tak tahu harus berbuat apa menghadapinya.
Kalau mereka mencoba menyeretnya, dia langsung merebahkan diri di lantai, bertingkah seperti preman pasar.
Lagi pula, dia adalah keluargaku. Para petugas medis juga khawatir, kalau sampai terjadi sesuatu, mertuaku ini pasti akan membuat perhitungan dengan mereka.
Di zaman sekarang, hubungan antara dokter dan pasien begitu tegang. Sedikit-sedikit ada keluhan, sedikit-sedikit ada laporan balas dendam. Sekalipun seorang dokter punya niat tulus untuk menolong, mereka tetap harus menimbang untung ruginya dengan sangat hati-hati.
Melihat para petugas medis yang tak berdaya, tatapanku bertemu dengan Lisa Santoso yang sedang berguling-guling di lantai.
Saat aku melihat dengan jelas kebencian dan niat jahat di matanya, semua emosi yang selama ini kupendam langsung meledak.
"Karena yang melahirkan itu aku, maka biar aku yang memutuskan. Tidak ada seorang pun yang berhak mengambil keputusan untukku!" Aku menatap dokter dengan mantap. "Dokter, saya mau operasi caesar. Tenang saja, kalaupun terjadi sesuatu, saya tidak akan pernah menyalahkan pihak rumah sakit!"
Lisa Santoso langsung melompat dari lantai, tangannya melayang dan menamparku dengan keras.
"Dasar perempuan jalang! Berani-beraninya kamu melawan! Kamu sudah menikah dengan anakku, kamu itu bagian dari keluarga Fajar, jadi kamu harus nurut sama aku!" bentaknya sambil menunjuk-nunjuk wajahku. "Di perutmu itu cuma ada anak perempuan nggak berharga, jangan harap kamu bisa menghambur-hamburkan uang yang seharusnya untuk cucu laki-lakiku nanti. Nggak akan pernah!"
Tamparan itu seketika meruntuhkan sisa-sisa tenaga yang susah payah kukumpulkan.
Bruk! Kepalaku terbentur meja di samping tempat tidur, dan pandanganku langsung gelap.
Sebelum benar-benar pingsan, aku mendengar teriakan dokter.
"Gawat, pasien pendarahan hebat! Cepat, bawa ke ruang operasi sekarang!"
Saat aku sadar dari pingsan, di luar sudah gelap.
Lampu kamar tidak dinyalakan, hanya ada sedikit cahaya dari koridor yang masuk, cukup untuk membuatku sadar kalau aku sedang berada di ruang rawat inap.
Kepalaku terasa pusing dan berat. Butuh waktu cukup lama sampai aku perlahan-lahan teringat apa yang terjadi sebelum aku pingsan. Seketika aku panik dan mencoba untuk duduk, ingin memeriksa keadaan bayiku.
Namun, baru sedikit bergerak, rasa sakit yang menyayat langsung terasa di perutku.
"Sayang, kamu sudah sadar!" Terdengar suara Felix Fajar dari samping. "Akhirnya kamu sadar juga. Kamu nggak tahu, aku hampir mati karena khawatir!"
Aku menoleh dan melihat Felix Fajar duduk di tepi ranjang, menatapku dengan cemas.
Dia bahkan menggenggam tanganku, yang seketika membuatku mual sampai rasanya ingin muntah.
Membayangkan tangan itu, yang belum lama ini menjelajahi tubuh wanita lain, aku merasa seolah-olah sedang disentuh sesuatu yang menjijikkan. Tanpa bisa kutahan, aku menyentakkan tanganku dengan kasar.
Felix Fajar tampak terkejut saat aku menepis tangannya.
Dia mungkin mengira, dalam keadaanku yang sekarang, aku seharusnya menangis tersedu-sedu di pelukannya.
"Sayang, kamu kenapa?" Dia mengerjapkan matanya, tampak bingung. "Apa karena baru melahirkan jadi masih belum terbiasa? Nggak apa-apa, aku ngerti kok. Hormon estrogen perempuan setelah melahirkan memang turun drastis, jadi wajar kalau..."
Aku tidak tertarik mendengar ocehannya yang penuh kepura-puraan. Aku menatapnya dengan dingin dan bertanya, "Di mana anakku?"
Aku sudah melihat ke sekeliling, tapi tidak ada tanda-tanda bayiku di kamar ini. Mengingat sikap Lisa Santoso, aku sangat khawatir mereka mengambil bayiku saat aku pingsan setelah operasi dan membuangnya.
Sikapku yang tiba-tiba menjadi dingin membuat Felix Fajar sedikit canggung. Dia mengerutkan kening, tapi suaranya tetap dibuat selembut mungkin.
"Sayang, tenang dulu. Anak kita baik-baik saja, cuma kondisinya agak lemah. Kata dokter, dia harus dirawat di inkubator selama beberapa hari untuk observasi."
Aku sama sekali tidak percaya padanya. Dengan emosi yang meluap, aku mendesaknya, "Felix Fajar, jujur sama aku, sebenarnya anakku kamu bawa ke mana?"
"Sayang, kamu kenapa sih?" Felix Fajar buru-buru menenangkanku, wajahnya penuh kekhawatiran palsu. "Tenang dulu, aku nggak bohong! Aku ini Ayah dari anak itu, kalau memang ada apa-apa, aku juga pasti khawatir."
Mendengar dia menyebut dirinya ayah dari anakku, perutku langsung bergejolak hebat. Rasa mual yang tak tertahankan membuatku langsung memalingkan wajah dan muntah.
Huek!
Karena aku sedang berbaring dan muntahnya sangat tiba-tiba, Felix Fajar sama sekali tidak sempat memberiku tempat sampah.
Semua isi perutku tumpah di samping bantalku, mengotori rambut dan sebagian bajuku.
Bau asam yang menyengat langsung menyebar di dalam ruangan. Aku refleks menoleh dan melihat dengan jelas ekspresi jijik di mata Felix Fajar yang tidak sempat dia sembunyikan.
Dia tidak menyangka aku akan menoleh tiba-tiba. Ekspresinya yang belum sempat ditutupi itu tertangkap basah olehku. Dia pun panik dan langsung membuang muka.
Tepat pada saat itu, dokter jaga datang untuk memeriksa.
Begitu membuka pintu dan mencium bau tak sedap itu, dia langsung bertanya, "Ada apa ini? Apa ibunya muntah?"
Felix Fajar kini sudah berhasil menata kembali ekspresinya, menampilkan raut khawatir yang pas. "Iya, Dokter. Ini kenapa ya? Kenapa istri saya tiba-tiba muntah?"
Dokter itu menjelaskan, "Sebelum operasi, dahi pasien sempat terbentur meja. Tidak menutup kemungkinan ada gegar otak ringan."
Mendengar itu, sebersit rasa bersalah melintas di wajah Felix Fajar.
Jelas, dia sudah tahu kenapa kepalaku bisa terbentur sebelum operasi.
"Apa kondisinya parah?" Felix Fajar saat ini benar-benar terlihat seperti seorang suami yang sangat mencemaskan istrinya.
Kalau saja bukan karena video dan telepon malam itu, mungkin aku sudah akan terharu!
Tapi karena aku sudah mendengar dan melihat sendiri semua perbuatannya yang hina, hatiku hanya dipenuhi rasa jijik.
"Usahakan tetap berbaring, jangan banyak bergerak. Istirahat saja beberapa hari, nanti juga akan membaik," kata dokter.
Felix Fajar mengangguk-angguk setuju. Perawat di sebelahnya mengingatkan, "Sebaiknya bersihkan dulu istrinya, Pak. Nanti sprei dan selimutnya saya minta petugas kebersihan untuk menggantinya."
"Baik, terima kasih banyak," sahut Felix Fajar, lalu segera mengambil baskom dan pergi ke kamar mandi untuk mengambil air.
Melihatnya pergi, aku langsung bertanya pada dokter, "Dokter, bagaimana keadaan anak saya? Berapa lama dia harus di inkubator?"
Dokter itu menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Baru saja dia akan bicara, tiba-tiba Felix Fajar kembali dengan tergesa-gesa. "Sayang, jangan pikirkan soal anak dulu. Yang paling penting sekarang adalah memulihkan kondisimu. Kalau tidak, nanti saat anak kita sudah keluar dari inkubator, tapi badanmu belum pulih, bagaimana kamu mau merawatnya? Soal anak, biar aku yang urus, kamu tenang saja."
Justru karena ada dia, aku jadi tidak tenang.
Aku menatap dokter dengan keras kepala, tapi dokter itu hanya memberiku jawaban yang mengambang. "Tugas utama Ibu sekarang adalah memulihkan diri. Masalah lain, kita bicarakan lagi nanti setelah kondisi Ibu sudah lebih baik."
Aku sangat yakin, dokter itu pasti ikut membantu Felix Fajar menyembunyikan sesuatu dariku.
Tapi tak ada satu pun dari mereka yang mau bicara. Tubuhku begitu lemah sampai tak bisa turun dari ranjang. Sekalipun hatiku cemas luar biasa, aku sama sekali tak berdaya.
Untuk saat ini, satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah fokus memulihkan diri.
