Bab [6]

Dua hari pertama masa pemulihan, Felix Fajar selalu menemaniku dengan penuh perhatian.

Memasuki hari ketiga, dia mulai jarang muncul di kamar rawat dengan alasan ada urusan kantor.

Dia bilang ibu mertuaku yang akan merawatku. Tapi, wanita yang paling suka bersikap sok suci padahal munafik itu justru melampiaskan amarahnya padaku. "Dasar perempuan jalang, manja sekali! Dulu kita semua juga melahirkan, tidak ada yang sepertimu. Sudah tidak menghasilkan uang, malah menghambur-hamburkan uang untuk rumah sakit. Sial sekali keluarga Fajar sampai anakku menikah dengan perempuan pembawa rugi sepertimu."

Makanan yang dia berikan untukku hanya bubur nasi putih tanpa gizi.

Atau lebih parahnya, dia menghilang entah ke mana, mungkin sedang berkeliling ke kamar pasien lain untuk menjelek-jelekkanku.

Para perawat yang merasa kasihan padaku akhirnya membawakan makanan pasien dari rumah sakit atas permintaanku, sehingga tubuhku tidak semakin lemah.

Setiap kali Felix Fajar muncul, ibu mertuaku juga tidak pernah menunjukkan wajah ramah padaku.

Felix selalu menatapku dengan tatapan bersalah. "Ibu sudah susah payah membesarkanku. Dia itu memang mulutnya kasar tapi hatinya baik. Aku tahu kamu berhati baik, pasti tidak akan ambil pusing dengannya."

Setiap kali dia seolah-olah membelaku, tapi ujung-ujungnya selalu memintaku untuk mengalah dan bersabar.

Demi anak kami, aku menahannya.

Aku sudah beberapa kali meminta untuk bertemu dengan anakku, tapi Felix selalu menolaknya dengan alasan bayinya lahir prematur dan masih di dalam inkubator, jadi belum bisa ditemui.

Aku hanya bisa diam-diam bertanya pada perawat tentang keadaan anakku. Setiap kali aku bertanya, tatapan mereka selalu penuh dengan rasa iba.

Firasat burukku semakin kuat.

Belum sempat aku menemukan anakku, aku justru menerima sebuah video lagi.

Begitu video itu kubuka, mataku langsung tertuju pada gaun malam merah menyala yang dikenakan oleh seorang wanita.

Mataku terbelalak tak percaya. Gaun tidur merah itu sama persis dengan gaun tidur yang kusimpan di dasar lemari.

Panjangnya sama, ukurannya sama, bahkan renda di tepiannya yang terlihat sopan namun seksi pun sama.

Satu-satunya perbedaan mungkin adalah dadanya yang terlihat lebih penuh dan seolah mau tumpah saat dia memakainya.

Dadanya menempel erat di tubuh pria dalam video itu, dengan genit dia menggesekkan tubuhnya ke dada telanjang si pria. "Sayang, gaun tidur ini lebih bagus dipakai istrimu di rumah, atau aku?"

Seketika, suara pria yang sangat kukenal terdengar. "Tentu saja kamu, Sayang. Lihat betapa seksinya kamu memakainya, bikin aku jadi nggak tahan lagi..."

Sambil berbicara, pria itu kembali menghentakkan tubuhnya dengan penuh gairah ke arah si wanita, terengah-engah sambil tersenyum mesra. "Lagipula, gaun ini kan kamu sendiri yang memilihkan untuk perempuan itu sesuai ukuranmu."

Pria yang berbicara itu adalah Felix Fajar.

Saat aku mendengar dia berkata bahwa hadiah ulang tahun pernikahan pertama kami adalah pilihan si pelakor...

Huek!

Perutku terasa mulas seperti terbakar.

Aku tidak pernah tahu Felix bisa sebegitu menjijikkannya.

Apalagi dia bisa berbuat sekeji ini padaku.

Gaun tidur itu bukan hanya hadiah ulang tahun pernikahan pertama kami, tapi juga saksi saat aku menyerahkan diriku untuk pertama kalinya.

Dulu, saat orang tuaku meninggal karena kecelakaan, dia menemaniku melewati masa-masa tersulit.

Dia bahkan bersumpah sambil berlutut di makam orang tuaku, berjanji akan menjagaku selamanya.

Hati kecilku tersentuh, dan tidak lama kemudian kami menikah.

Namun, aku ingin menjalani masa berkabung untuk orang tuaku selama setahun. Dia tidak menyalahkanku, malah mengerti dan mendukungku.

Selama setahun setelah menikah, dia benar-benar menepati janjinya dan merawatku dengan sangat baik. Karena itulah, di hari ulang tahun pernikahan kami yang pertama, dengan hati penuh suka cita, aku ingin menyerahkan diriku seutuhnya padanya.

Saat itu, dia menatapku yang mengenakan gaun tidur sopan namun seksi itu dengan tatapan liar seperti serigala.

Malam itu, kami bersatu dengan sempurna, malam pertama kami terasa begitu menyatu.

Dan saat itulah aku mengandung buah cinta kami.

Sekarang, semua itu terasa begitu ironis.

Ternyata saat itu Felix sudah berselingkuh dan mengkhianatiku.

Luka yang kukira mulai sembuh, kini terasa kembali perih.

Saat Felix Fajar datang menjengukku, dia melihat wajahku yang pucat dan seperti biasa, menunjukkan perhatiannya yang lembut. "Sayang, kamu kenapa? Ada yang nggak enak badan? Aku jadi khawatir sekali. Aku benci karena terlalu sibuk, nggak bisa menemanimu, dan nggak bisa ikut merasakan sakitmu!"

Dulu, kata-kata seperti itu terdengar begitu manis. Sekarang, rasanya begitu munafik.

Dia hendak memelukku, tapi aroma parfum murahan si pelakor yang menjijikkan masih menempel di tubuhnya.

Sambil menahan mual, aku sedikit menggeser tubuhku untuk menghindari sentuhannya.

Aku sempat menangkap kilatan suram di matanya, meski hanya sekejap.

Lalu dia kembali bersikap lembut. "Kenapa, Sayang? Apa karena aku sibuk dua hari ini nggak sempat menemanimu? Maaf ya, Sayang!"

Aku bertanya seolah tanpa maksud apa-apa, "Kamu masih ingat gaun tidur merah yang kamu berikan di hari ulang tahun pernikahan kita? Sepertinya setelah kupakai sekali, langsung kusimpan di lemari."

Kilatan rasa bersalah terlihat di mata Felix Fajar. Dia menatapku dengan curiga. "Kenapa tiba-tiba tanya soal gaun itu?"

Sebenarnya aku sudah tidak sabar ingin membongkar kebusukannya, tapi aku tahu ini belum saatnya.

Jadi, aku menjelaskan dengan santai, "Nggak apa-apa, mungkin karena habis melewati hidup dan mati, beberapa hari ini aku jadi suka mengenang masa lalu kita. Tiba-tiba teringat saja, jadi iseng bertanya."

Aku bisa merasakan Felix Fajar menarik napas lega.

Aku bertanya lagi, "Beberapa hari ini, kamu sibuk apa di kantor?"

Felix sepertinya tidak siap saat aku menanyakan soal gaun tidur tadi. Ketika aku bertanya lagi, rasa bersalahnya membuatnya semakin gugup.

Saat menjawab, nada bicaranya terdengar tidak sabar. "Urusan kantor kamu juga nggak ngerti. Kamu tenang saja pulihkan diri, nggak usah pikirkan hal-hal ini!"

Hatiku terasa sakit.

Benar saja, semua kebaikannya padaku hanya pura-pura.

Yang palsu tetaplah palsu.

Kalau begitu, apakah semua tentang anakku juga kebohongan?

Hatiku mencelos. Aku tidak bisa menahan diri dan bertanya dengan nada tinggi, "Menyuruhku tenang memulihkan diri? Boleh, tapi izinkan aku bertemu anakku!"

"Sayang, jangan bikin masalah, dong. Kan sudah kubilang, kondisi anak kita sedang tidak baik, belum bisa ditemui," ucap Felix Fajar pasrah.

Semakin dia menyembunyikannya dan tidak mengizinkanku bertemu, hatiku semakin gelisah.

"Tidak bisa ditemui, atau ada sesuatu tentang anak kita yang kamu sembunyikan dariku?" tanyaku tajam.

"Lihat apaan! Anak haram pembawa sial begitu. Kamu ini perempuan jalang! Anakku sudah sibuk kerja, memberimu makan enak dan tempat tinggal nyaman, begitu dia datang menjengukmu, kamu malah cari gara-gara. Mau mati, hah?!"

Ibu mertuaku tiba-tiba menyerobot masuk dan langsung menamparku hingga aku jatuh dari tempat tidur.

Keributan itu menarik perhatian orang-orang di sekitar.

Seluruh tubuhku sakit karena terbanting, wajahku langsung bengkak, tapi aku tidak peduli dengan rasa sakit itu. Aku mencengkeram kaki Felix Fajar dan berusaha berdiri. "Felix Fajar, apa maksud Ibu? Apa maksudnya anak haram pembawa sial? Itu anakmu juga! Kenapa kamu diam saja Ibumu menghina anak kita seperti itu?"

Felix Fajar menatapku, tampak ragu-ragu untuk berbicara.

Hatiku semakin tenggelam. Firasat burukku menjadi kenyataan.

"Jalang, si pelacur kecil, masih berani kamu bertanya! Semuanya lihat! Anakku tampan, sehat, keluarga Fajar juga turun-temurun keluarga baik-baik, tidak ada penyakit keturunan. Perempuan jalang ini melahirkan anak cacat, monster tanpa tangan dan kaki! Kalau bukan karena dia main dengan laki-laki liar dan menyelingkuhi anakku, apa lagi penyebabnya?!"

Sambil berbicara, ibu mertuaku kembali menendangku hingga aku tersungkur di lantai. Dia lalu menduduki tubuhku dan menghujaniku dengan pukulan dan tendangan. "Jalang! Perempuan murahan tidak tahu malu! Lihat saja, akan kubunuh kamu!"

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya