Bab 13
Mentari mengetuk-ngetukan ujung jarinya ke permukaan meja. Dia bingung harus memulai hari ini dengan aktivitas apa. Rasanya roh malas sedang gencar-gencarnya mengintai. Padahal, biasanya Mentari paling tidak suka bermalas-malasan.
"Kamu nggak masak?" Suara seseorang menyentak mentari dari khayalan kemalasan.
Mentari menatap bingung orang itu. "Nggak. Lagian percuma. Toh, yang makan aku doang."
"Khusus pagi ini, kalau kamu masak, aku makan. Janji."
"Heh!" Mentari memicing curiga. "Tumben si Arga waras. Apa barusan kepalanya habis kepentok, ya," pikirnya.
"Kok, kamu nengok aku kayak gitu? Kamu nggak percaya sama omongan aku barusan?"
Sekilas Mentari mengalih pandang pada ponsel di tangannya, lalu kembali pada Arga. "Tepatnya sangat-sangat nggak percaya."
"Sebenarnya kalau mengikuti hati, aku juga ogah. Tapi, setelah kupikir-pikir, keseringan makan di luar cukup menguras dompet. Udah gitu, aku nggak tahu ada kandungan apa di dalam makanannya. Jadi, dengan terpaksa akhirnya aku mutusin buat makan di rumah aja. Sayang, dong, aku punya pembantu tapi nggak dipakai."
"Aku bukan pembantumu," ucap Mentari geram seraya bangkit dari duduknya hendak beranjak meninggalkan Arga.
Sigap, Arga menarik tangan Mentari. "Jangan pergi, Tari. Kamu kayak anak kecil aja. Dikit-dikit marah, apa-apa marah."
"Emang. Aku emang terlalu kecil, aku belum bisa dewasa menghadapi semua omonganmu yang nyelekit. Dan semua orang yang punya hati juga perasaan, nggak akan kuat ngehadapin sikap senonoh dan ucapanmu yang tajam," sentak Mentari sedikit membusungkan dada. Hatinya terlalu menggebu. Dia harus mengeluarkan segala yang terselip di sana.
Arga menyungging. "Dasar cewek nggak tahu diri. Dikasih badan dikit, langsung mintanya ke jantung. Kalau emang kamu nggak mau masakin buat aku, ya udah nggak usah. Jangan sok ngalihin pembicaraan dengan sok mengungkit sikapku yang jelek di matamu."
Mentari mengempas tangan Arga dari lengannya. Barusan tangan itu mencengkramnya erat seiring dengan amukan sang empu. "Tolong jangan menyentuhku! Kulitku terlalu kotor untuk bersentuhan dengan kulitmu yang suci," amuk Mentari lalu meninggalkan Arga begitu saja.
Arga melirik nanar punggung Mentari. "Itu cewek emang nggak bisa dibaikin. Beda banget sama Mantha yang penuh kelembutan," ucapnya geleng-geleng. "Mantha! Di mana kamu, Sayang?" racau Arga seraya mengacak rambutnya.
Sementara di dalam kamar, Mentari tidak berhenti menggerutu. Dia terpaksa menghentikan aktivitas bermalas-malasnya. Dan sepertinya memulai hari dengan mandi adalah pilihan terbaik.
Sambil mengambil handuk dan peralatan mandi hingga sampai menuruni anak tangga, Mentari tidak berhenti merungut. Namun, kemudian dia sadar untuk apa melewati tangga sedangkan kamar mandi ada di kamar sebelah.
"Aduh, Tari bego. Ngapain juga capek-capek nurunin tangga. Kan, kamar mandinya di kamar sebelah," rutuk Mentari menepuk pelan dahinya. Akibat perdebatan barusan, Mentari pikun seketika. Dia segera berbalik badan dan kembali ke lantai atas.
Setibanya di kamar mandi, dengan sangat sengaja mentari membanting kuat pintu toilet. Berharap Arga di bawah sana terusik dan menyadari bahwa Mentari sedang kesal.
"Mentari ... jangan rusak pintu kamar mandiku!" Mentari menang. Arga berhasil terusik kemudian meneriaki Mentari.
Seakan baru menang undian, Mentari tertawa girang. Tawanya pun sengaja dibuat keras. Dan lagi-lagi hanya punya satu tujuan, yaitu memancing marah Arga. "Makanya. Jangan coba-coba banding-bandingin aku sama Mantha," gumamnya puas.
Mentari kembali ke kamar dengan handuk yang menggulung di kepalanya. Diedarkan pandang ke seluruh penjuru kamar, tidak ada Arga di sana. 'Apa dia masih bertapa di bawah,' pikir Mentari seraya mengedik cuek. Masa bodoh.
Tidak ada ubahnya dengan rutinitas sehabis mandi tahun lalu, kemarin lusa, dan pagi ini. Mentari selalu melakukan perawatan sederhana untuk kulitnya. Tidak berlebihan. Sebatas menyapu losion dan memakai krim wajah.
Kring ...!
Dering ponsel mengusik Mentari dari aktivitas bersoleknya. Segera dia menyambar ponsel menggunakan tangan kiri. Sebelum memutuskan menerima telepon, Mentari melirik sekilas pada monitor.
"Tumben Pak Anthony menghubungi di hari off," pikir Mentari. Tetapi, dia tidak ambil pusing. Diterima jua telepon Anthony. "Selamat pagi, Pak."
"Jangan terlalu formal. Kita nggak sedang di kantor."
"Benar, Pak. Namun, di mana pun kita, itu tidak mengubah siapa kita. Bapak atasan saya, dan saya bawahan Bapak," jelas Mentari tidak enak hati.
"Kamu juga jangan lupa. Ini perintah bosmu. Kalau bosmu memerintah untuk berhenti terlalu formal, maka kamu harus menyanggupi itu."
"Baik, Pak. Saya ikut yang baik menurut Bapak."
Di tengah perbincangan Mentari dan Anthony, mendadak Arga datang. Di tangan kanannya menggenggam sebuah gelas transparan yang dari sampingnya dapat dilihat isinya adalah susu.
"Tumben ini orang minum susu pagi-pagi," pikir Mentari mencuri lirik Arga.
"Jadi, sudah kamu jual?" Pertanyaan Anthony menyentak Mentari dari kebingungannya menatap Arga.
"Maaf, Pak. Barusan jaringan sedikit gangguan."
"Pantas suara kamu tiba-tiba hilang."
"Lantas, apa yang hendak Bapak tanyakan?"
"Aku nanya, apa cincin kemarin sudah kamu jual."
"Oh ... masalah cincin kemarin, Pak. Tidak, Pak. Saya tidak jadi menjualnya."
"Kenapa?"
"Setelah saya pikir-pikir akan lebih baik menyimpan cincin itu. Soalnya saya masih betah bekerja di kantor Bapak. Lagi pula, cincin itu bisa saya gunakan sebagai jaga-jaga krisis di kemudian hari."
Anthony tertawa kecil. "Saya nggak bisa menjamin kamu bisa kaya bekerja dengan saya. Dan menurut saya jawaban kamu sangat masuk akal."
"Ehem ..." Sengaja atau tidak, Arga tiba-tiba saja berdehem.
"Eh, itu suara siapa? Kenapa suara itu lebih mirip dengan suara laki-laki?" tanya Anthony mulai gusar.
"Ah, tidak, Pak. Itu suara kucing di televisi. Saya sendiri juga bingung, kenapa tiba-tiba kucing bisa bersuara menyerupai manusia. Anehnya lagi, suaranya terkesan menyebalkan membuat saya geram ingin menjewer telinganya," ucap Mentari sengaja menyindir Arga.
Lagi-lagi Anthony tertawa. "Makasih, Tari. Kamu membuat pagiku berwarna. Sepanjang aku mengenalmu, menurutku ini perubahan yang sangat luar biasa. Semoga masih banyak perubahan lain di hari-hari selanjutnya, sampai kamu mau membuka hatimu untukku."
"Kok, malah ngelantur. Padahal, kan, aku nggak ada niatan buat baperin Pak Anthony," batin Mentari menyesali perbuatannya. "Maaf, Pak. Kalau tidak ada apa-apa lagi. Bolehkah saya menutup telepon ini?" tanya Mentari hati-hati.
"Sebenarnya aku masih ingin lebih lama berbincang denganmu pagi ini. Tetapi, aku sadar aku siapa. Aku takut mengganggu waktumu yang berharga."
"Bukan begitu, Pak—"
"Nggak apa-apa. Tutup saja teleponnya."
"Eng—"
"Kamu saja yang matikan. Rasanya sangat nggak bagus kalau laki-laki yang memutuskan sambungan."
"Oke. Saya tutup teleponnya, Pak." Mentari meminta izin lagi sebelum kemudian benar-benar memutuskan sambungan.
"Ya, Tuhan. Aku terlambat mengenal Pak Anthony. Andai kisah ini terjadi jauh-jauh hari, mungkin tanpa perlu berpikir ribuan kali, aku langsung menerima ajakan baiknya. Tapi ... sudahlah. Cukupi kalimat andaian ini, Tari." Nelangsa batin Mentari.
"Siapa yang meneleponmu pagi-pagi begini?" kepo Arga segera begitu Mentari menaruh ponselnya.
"Whoever he is, none of your business."
"Kudengar kamu memanggilnya bos. Apa benar dia bosmu?" tanya Arga lagi tanpa mengindahkan kalimat sinis Mentari.
"Sudah kubilang. Itu bukan urusanmu."
"Ya, emang bukan urusanku. Cuma agak aneh aja. Bos mana yang merecoki bawahannya di hari libur. Kalau aku, sih, nggak tega. Secara hari libur itu merupakan hari emas setiap orang. Cukuplah merecoki mereka di hari kerja. Hari libur pantang bagiku."
Mentari tersenyum sinis. "Dirimu, dirimu. Jangan samakan dirimu dengan orang lain."
"Bukan maksud menyamakan. Sebab nggak akan ada orang yang sama denganku. Nggak akan ada orang yang mampu menyaingi kecerdasanku. Bahkan aturan yang kubuat sendiri, tidak akan mengusik pekerja di hari libur. Kayaknya besok-besok aku perlu membicarakan hal ini dengan bosmu."
"Up to you. Paling-paling Pak Anthony curiga dari mana kamu tahu kalau dia menghubungi sekretarisnya di hari libur. Itu pun, kalau kamu ingin rahasia pernikahan kita terbongkar."
Arga kehabisan kata-kata, jadi dia memutar otak mengalihkan pembicaraan pada hal lain. "Aku nggak nyangka kamu semurahan itu. Baru tadi malam berkencan dengan pacarmu. Pagi ini sudah berani menggoda atasanmu sendiri."
"Daripada semua itu, kamu jangan lupa. Cewek murahan ini adalah istrimu. Miris bukan, cowok seperfeksionis dan taat moral sepertimu justru mendapatkan istri murahan."
Arga mendengus seraya menyunggingkan bibir. "Ternyata kamu sadar perempuan murahan. Pantas nasibmu hanya sebagai pengantin pengganti."
"Kamu pun harus sadar, hanya cowok bodoh yang bersedia memperistrikan perempuan murahan. Hidup ini memang cukup-cukup adil."
