Bab 14
Mentari terlihat sibuk dengan berkas-berkas di hadapannya. Sedari tadi matanya tidak berhenti bolak-balik dari kertas ke laptop, dari laptop ke kertas. Begitu saja terus sampai lehernya terasa tegang, punggungnya nyaris patah, dan tulak rusuknya seakan lepas.
Minggu ini merupakan minggu tersibuk karena perusahaan sedang dalam perjalanan menuju tutup buku. Namun, ada yang lain hari ini. Tumben sejak tadi Anthony belum menunjukkan batang hidungnya. Jangankan terlihat lalu-lalang dari ruangannya ke ruangan Mentari seperti biasa. Mengabari Mentari saja tidak ada.
Berbohong kalau Mentari tidak khawatir. Bukan karena perasaan istimewa, hanya perasaan gusar karena Anthony tidak biasanya demikian. Dia pasti selalu mengabari Mentari walau hanya pulang sebentar ke rumah. Tetapi, ini sama sekali tidak menitip pesan atau kemarin memberi tanda bahwa dia tidak ke kantor hari ini.
"Tari, Pak Bos belum datang juga?" tanya Rere baru saja menyelonong masuk ke ruangan Mentari bersama beberapa map di pangkuannya.
Mentari mengangguk. "Tahu, nih. Pak Anthony juga nggak ada ngabarin aku mengenai ketidakhadirannya hari ini," jawab Mentari menoleh sekilas ke arah Rere kemudian kembali menatap monitor laptop.
"Aneh, sih. Atau jangan-jangan, Pak Anthony kenapa-kenapa lagi," tebak Rere sembarangan.
"Hus ... nggak baik mikir macem-macem, Re. Kali aja Pak Anthony emang ada urusan penting sampai nggak sempat ngabarin kita."
"Masuk akal, sih." Rere manggut-manggut. "Oh, iya. Nih, aku mau ngantarin laporan berisi mutasi akhir bulan dari kepala produksi."
Mentari mengambil alih map dari tangan Rere. "Punya bagian pemasaran kemarin, udah diperiksa?"
"Udah, Tari. Malahan udah ada di tangan Pak Anthony."
"Oh. Ya udah. Berarti aman, dong."
"Aman. Selagi Pak Anthony nggak komen. Tapi, begitu Pak Anthony komen, divisi pemasaran ada di ambang bahaya."
Mentari tertawa kecil. "Yakin, Re. Aman itu. Buktinya sampai detik ini Pak Anthony nggak ada komen apa-apa."
"Ya, semoga aja."
Mentari memeriksa sebentar isi map yang baru saja diserahkan Rere. Sekilas semuanya tampak sempurna. Tidak tahu nanti kalau diperiksa secara detail dan terperinci.
"Tari, habis ngantor kamu mau kemana?" tanya Rere seraya merogoh saku blazer kemudian mengeluarkan sebiji permen.
Mentari berpikir sebentar. "Kayaknya nggak ada, deh, Re. Emang kenapa?"
Rere memasukkan ke dalam mulut sebiji permen yang baru saja dia pisahkan dari bungkusnya. "Jalan-jalan, yuk! Aku bosan di rumah mulu."
"Kok, bosan. Bukannya setiap hari selain pusing mikirin kerjaan, kamu juga sibuk nyusun amunisi buat naklukin Pak Gerald?"
Rere terkikik sambil mengulum permen. "Aku mikirin keduanya. Tapi, masa iya setiap detik. Aku juga butuh refreshing, Tari."
Mentari tepekur sejenak. "Sama, Re. Aku juga butuh hiburan. Lagian, setelah kuingat-ingat, kayaknya kita udah lama nggak hang out."
"Tuh, kan, untung aku ajakin. Jadi, gimana, nanti sehabis ngantor kita jalan-jalan nggak?"
"Jalan-jalan, dong. Entar telepon aja. Biar aku langsung jemput kamu."
"Nggak usah, Tari. Biar aku aja yang jemput kamu. Masa setiap jalan-jalan selalu pakai mobilmu. Sekali-sekali pakai mobilku nggak apa-apa."
"Pakai mobilku aja, Re. Nggak apa-apa. Serius," sergah Mentari. Bahaya kalau sampai Rere yang datang menjemputnya. Bisa-bisa Rere curiga, kenapa Tari pindah rumah, dan dari mana Tari dapat uang untuk membeli rumah semewah rumah Arga. Bahaya.
"Ya udah. Aku ngalah daripada kita nggak jadi jalan-jalan."
Mentari mengembus napas lega. "Hampir aja," batinnya selamat.
Rere keluar dari ruangan Mentari. Bersamaan pula Anthony datang. Alhasil Rere dan Anthony berpapasan di ambang pintu. Bagai disambar petir dengan kekuatan kilat satu juta volt, bukan main kagetnya Rere. Jantungnya berdegup berlipat-lipat kali lebih cepat. Khawatir Anthony melihatnya berbincang dengan Mentari. Semua karyawan juga tahu kalau Anthony adalah bos yang sangat disiplin. Baginya bekerja, haruslah bekerja dengan baik. Jangan bekerja sambil memanfaatkannya dengan bergosip. Apalagi sedang berada di lingkungan kantor.
"Selamat pagi menjelang siang, Pak." Alih-alih meredam kemarahan Anthony, Rere justru menyapa.
"Selamat pagi, Rere. Kamu terlihat rajin pagi ini," balas Anthony sambil tersenyum.
"Terima kasih, Pak," balas Rere, lalu cepat-cepat mengacir sebelum Anthony benar-benar marah. Entah bemakna konotasi atau bemakna denotasi, ucapan Anthony barusan cukup berhasil menyindir Rere.
"Selamat pagi, Tari," sapa Anthony begitu berdiri di samping meja Mentari.
"Oh, Pak Anthony. Selamat pagi, Pak," sahut Tere hormat. Mata yang tadinya sibuk menatap laptop, seketika beralih melihat Anthony. Tangannya pun refleks berhenti menekan tuts keyboard.
"Maaf, ya, aku sedikit terlambat. Ban mobilku bermasalah. Jadi, aku antar ke bengkel dulu."
"Tidak apa-apa, Pak. Jangan meminta maaf kepada saya," tukas Mentari tidak enakan. Toh, tidak akan ada yang marah sekali pun Anthony tidak ke kantor selamanya.
"Tari, apa aku boleh minta tolong?" tanya Anthony dengan nada serius.
Deg!
Jantung Mentari berdetak dua kali lebih cepat. Tidak biasanya Anthony meminta tolong dengan nada serius. Dalam hati Mentari mencoba menerka, apa permintaan tolong ini ada hubungannya dengan perkataan di malam 'perayaan kecil kemenangan tender'?
"Ya, Pak. Tentu saja boleh," ucap Mentari sesantai mungkin.
"Nggak perlu tegang. Ini nggak ada hubungannya dengan permintaan sulitku semalam lusa. Aku minta tolong nanti pulang kantor nebeng ke mobilmu."
"Aduh, ini juga sulit," jerit batin Mentari.
"Bagaimana, boleh, kan?"
Mentari mengangguk lemah. "Boleh, Pak."
"Sebenarnya aku nggak enak hati nyusahin kamu. Tapi, ingin bagaimana lagi. Mobilku di bengkel, dan aku bingung harus pulang pakai apa," jelas Anthony memasang wajah sedih. Siapa pun teramat tahu ini hanyalah alasan yang tidak logis. Zaman sekarang begitu banyak transportasi online yang menawarkan kenyamanan tinggi untuk pelanggannya. Dan Anthony punya lebih dari cukup uang untuk membayar jasa mereka.
"Iya, Pak. Tidak masalah."
Jika ditanya seperti apa gusarnya hati Mentari, maka Mentari tidak akan mampu menjelaskan itu. Serabut bak benang kusut. Permintaan Anthony barusan memang sederhana, tetapi Mentari takut hal itu justru mendorong Anthony menjadi semakin gencar mendekatinya.
Mentari menyusun banyak tanya di benaknya. Kira-kira, akankah Anthony minta diantarkan hingga ke rumah? Atau malah ke bengkel saja?
"Bego." Mentari menepuk pelan sudut kepalanya. "Ngapain juga aku mikirin itu." Lalu menghirup udara dalam-dalam kemudian mengembusnya perlahan. "Ini lebay. Sangat lebay."
Jam kantor akhirnya berakhir, dan akhirnya pula Mentari mengantarkan Anthony pulang. Bukan ke rumah atau ke bengkel, melainkan ke suatu tempat. Tempat di mana anak yatim dan yatim piatu dipelihara dan dirawat oleh mereka yang dermawan berhati nan mulia.
Awalnya Mentari bingung untuk apa Anthony mengunjungi tempat seperti ini. Apa mungkin dia bermaksud mengadopsi salah satu dari anak-anak itu? Atau malah merupakan salah satu donatur pemasok dana di panti asuhan ini?
"Bapak, sering ke sini?" Daripada bertanya mengenai apa tujuan Anthony, Mentari lebih memilih bertanya tentang durasi kedatangan Anthony ke panti asuhan tersebut.
"Entahlah. Aku nggak bisa menyebutnya sering atau jarang. Karena aku ke sini nggak punya jadwal tetap. Aku hanya ke sini di waktu yang sengaja kuluangkan di tengah sibuknya rutinitas. Misalnya seperti sekarang. Aku sengaja mengajakmu ke sini. Pasti jenuh, kan, tiap hari ngurusin kerjaan mulu?" jelas Anthony diikuti pertanyaan balik.
Mentari tertarik. Jujur dia tersentuh untuk kemurahan hati Anthony. "Saya tidak menyangka Bapak sebaik itu."
Anthony tertawa renyah. "Mengunjungi saja. Apa sudah bisa dinamai sebagai orang baik?"
"Ya. Baik tidak selalu berbicara hal luar biasa. Sederhana pun bisa mengubah sudut pandang seseorang."
"Yuk! Daripada berbicara terus. Lebih baik kita langsung masuk. Benar nggak?"
Mentari mengangguk. "Benar sekali, Pak."
Mentari berjalan mengekori langkah Anthony. Sekonyong-konyong, Anthony berhenti. Dia menarik tangan Mentari, menyejajarkan tubuh Mentari dengan tubuhnya. "Jangan di belakang. Di sampingku lebih baik," ucapnya.
Mentari hanya bisa menunduk segan tanpa sedikit pun berniat menolak. 'Pak Anthony sangat murah hati,' batin Mentari.
"Ada Om ganteng," teriak anak-anak panti begitu melihat sosok Anthony memasuki area tempat tinggal mereka. Anak-anak itu berbondong-bondong berlari berhamburan memeluk Anthony. "Om ganteng ... kita kangen," adu mereka.
"Hai ... sama, nih. Om juga kangen," balas Anthony seraya membagi-bagikan bungkusan di tangannya.
"Eh, ada Nak Anthony," tegur seorang wanita paruh baya yang dari perawakannya Mentari yakini merupakan si penjaga atau pemilik panti. Sedetik kemudian bola matanya beralih pada Mentari. "Nona cantik ini pacarnya Nak Anthony?" tanyanya ramah.
