Bab 15
Mentari dan Anthony saling bertukar pandang, kemudian melihat kembali si wanita paruh baya. "Ah, enggak, Bu. Dia teman kantor saya," ucap Anthony akhirnya.
"Tepatnya, saya sekretarisnya Pak Anthony, Bu," timpal Mentari.
"Maaf, ya, Nak Anton, cah ayu. Ibu salah sangka. Ibu kira kalian sepasang kekasih," ucap si Ibu tidak enakan.
"Nggak apa-apa, Bu. Sudah banyak orang yang mengira begitu setiap saya dan Mentari jalan berdua," terang Anthony konotasi. Mana pernah benar ada orang yang menyangka demikian kecuali Ibu panti. Anthony jalan berdua dengan Mentari saja baru hari ini.
"Nama cah ayu ini Mentari?" tanya Ibu panti.
"Iya, Bu. Nama saya Mentari," jawab Mentari lekas mengulurkan tangan.
"Cantiknya, persis namanya. Mentari, matahari yang menyinari bumi, memberi kehidupan di bumi," puji si Ibu seraya membalas uluran tangan Mentari. "Nama Ibu Cahaya. Orang-orang biasa memanggil Ibu panti."
Mentari tertarik. "Oh ya? Ini seperti kebetulan yang direncanakan. Saya Mentari dan Ibu Cahaya. Mentari nggak akan berguna tanpa cahayanya. Betul tidak, Bu?" ucap Mentari mengakrabkan diri.
"Nak Mentari bisa saja," balas Bu panti seraya tersenyum. "Walau sekarang Nak Mentari dan Nak Anthony belum punya hubungan apa-apa, Ibu doakan semoga kalian berjodoh. Ibu melihat kalian sangat serasi. Satunya cantik, satunya tampan. Kalian berdua juga sama-sama baik," tukas Bu panti penuh harap.
Mentari hanya tersenyum saja menanggapi omongan si wanita paruh baya. Berbeda dengan Anthony yang tangkas mengaminkan. "Amin. Ibu doakan saja semoga perempuan cantik di sebelah saya memang diciptakan oleh-Nya untuk saya," tandas Anthony penuh harap.
Mengalihkan perhatian ke arah lain. Pandangan Mentari jatuh pada seorang bayi di tempat tidur. Badannya mungil dibedom kain putih bercorak kupu-kupu. Mentari tertarik.
"Bu, apa boleh saya menggendong bayi itu?" izin Mentari pada Bu panti.
"Tentu. Kelihatannya kamu sangat menyukai anak-anak."
Tidak ingin membuang-buang waktu, Mentari langsung menghampiri si bayi. Dengan sangat hati-hati Mentari membawa bayi itu ke pangkuannya. Diusap lembut pipi si bayi. Senyum merekah tak kian lepas dari bibir Mentari.
"Wah ... tampaknya Nak Mentari sudah cocok jadi Ibu," timpal Bu panti.
"Benarkah, Bu?" tanggap Mentari tersipu.
"Ya, Nak Mentari. Kamu sangat telaten menggendong Mira."
"Jadi, bayi cantik ini namanya Mira?" tanya Mentari menatapi lekat wajah si bayi.
"Iya, Nak Mentari. Kami menemukan Mira di pintu panti satu bulan yang lalu. Ketika itu hujan lebat, tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Ibu pula cepat-cepat menghampiri pintu bermaksud membukakannya untuk orang itu. Begitu pintu terbuka betapa terkejutnya Ibu menemukan bayi di luar. Ibu cari-cari ke kanan dan ke kiri nggak ada siapa-siapa. Sampai Ibu cariin ke samping rumah juga nggak ada orang. Mungkin orang itu sengaja datang untuk mengantarkan Mira," tutur Bu panti dengan raut sendu.
"Kasihan Mira, ya, Bu. Tapi, kita juga nggak boleh sepenuhnya nyalahin orang tuanya. Siapa tahu orang tuanya ngelakuin itu karena terpaksa. Zaman sekarang, Bu, sudah bukan rahasia lagi anak lahir di waktu yang nggak tepat bagi orang tuanya," kata Mentari.
Lagi-lagi Bu panti tersenyum menatap Mentari. "Kamu sangat baik, Nak Tari. Dari sekian banyak orang yang sudah mendengar kisah Mira. Baru kamu yang berpikiran positif mengenai orang tua Mira. Jika orang lain memilih menista bahkan mengumpat, Nak Mentari justru berbeda. Nak Mentari tidak mencela. Nak Mentari melihat dari segala sudut pandang."
Mentari terenyuh. "Mentari juga nggak sebaik itu, Bu. Mentari hanya belajar berpikir positif untuk banyak hal."
Berkunjung ke panti mengajarkan Mentari banyak hal. Kisah-kisah orang yang sebenarnya tidak beruntung, tetapi tetap mampu menjalani hidup dengan riang gembira. Mereka bahagia sekali pun tidak tahu dari mana asal-usulnya. Mereka mengikhlaskan takdir, terlahir sebagai anak yang mungkin tidak diingini orang tuanya.
Mentari mendengus haru. Begitu banyak hal yang tak terpikirkan di dunia ini. Setelah ditimbang-timbang, Mentari adalah salah satu dari ribuan bahkan miliaran orang yang beruntung. Satu yang kurang beruntung. Pernikahan yang tidak pernah terlintas di angan dan pikirannya. Tiba-tiba sekelumit tanya timbul di benak Mentari, kira-kira akan seperti apa ujung dari kisah pernikahannya?
Usai dari panti, Anthony minta diantarkan ke bengkel sebab dirasa mobilnya sudah selesai diperbaiki. Ketika itu pula, Mentari lega. Anthony tidak lagi mengungkit pembicaraan mereka di malam perayaan tender.
Begitu menginjakkan kaki di pelataran rumah, Mentari menepuk jidat. "Astagah! Gimana bisa aku lupa kalau tadi Rere mengajakku jalan-jalan," sungutnya merutuki dirinya.
Segera dia merogoh tas mengeluarkan ponsel dari sana. Cepat-cepat dicarinya kontak Rere.
"Re, sorry, ya. Aku lupa ngabarin kalau—"
"Santai aja, Tari. Aku nggak apa-apa," ucap Rere memotong perkataan Tari.
"Kamu nggak marah?" tanya Mentari heran.
"Nggak, dong. Asal kamu perginya bareng Pak bos. Aku no marah-marah klub. Yang penting kalian senang, terus nggak lama lagi jadian. Habis itu nikah dan jangan lupa undang aku," cerocos Rere.
"Kamu tahu?"
"Tahu, dong. Kan, tadi aku sempat lihat Pak bos masuk ke mobilmu."
Bukannya merasa lega, Mentari malah bertambah pusing. Iya, tidak masalah kalau hanya Rere yang melihat. Lain cerita kalau orang lain juga melihat Anthony masuk ke mobil dan pulang bersama Mentari. Besok, entah gosip apa yang akan beredar di kantor.
"Mati aku, Re. Gimana kalau besok ada gosip?" tukas Mentari gusar.
"Tenang, Re. Bilang aja kamu sama Pak Bos ada kepentingan ketemu klien. Kebetulan Pak Anthony nggak mau ribet. Makanya dia nebeng ke mobilmu."
"Kamu yakin orang kantor bakal terima kalau aku kasih alasan begitu?"
"Elah. Yakin, Tari. Mereka pasti percaya. Lagian kamu sekretarisnya Pak Anthony. Maklumlah Pak Anthony sering jalan bahkan semobil sama kamu."
"Iya, sih. Ya, semoga aja besok nggak ada gosip-gosip murahan."
"Berarti aku udah boleh kepo, dong."
"Nggak boleh. Ini urusan bos sama sekretarisnya. Karyawan lain nggak boleh ikut," ucap Mentari tangkas.
"Fine. Matiin, ya. Mau lanjut mandangin fotonya bebi Gerald."
"Kamu udah dapat fotonya?" tanya Mentari takjub.
"Hei ...! Ini Rere, oke?"
Mentari tergelak renyah. "Oke oke, kamu Rere. Dan semua orang harus tahu, apa, sih yang nggak boleh didapatin Rere. Kalau sebatas foto Pak Gerald gampanglah," tuturnya hiperbolis.
Selesai berbincang ria dengan Rere, Mentari beranjak meninggalkan garasi. Namun, sebelum itu, diliriknya ke sebelah. Mobil Arga sudah terparkir tampan di sana.
Mentari menaikkan alis. 'Tumben Arga pulang cepat,' pikirnya.
"Wow ... ada yang habis kencan kayaknya," tegur Arga begitu melihat penampakan Mentari di ambang pintu.
"Pastilah. Emang kamu bisanya cuma meratapi mantan calon istri yang kabur," balas Mentari sinis.
Arga memasang wajah cuek. Perhatiannya kembali ke televisi. Entah pura-pura atau tidak, jari-jemarinya juga turut sibuk menekan-nekan remote.
Setelah memastikan sepatunya rapi di rak, Mentari berlalu begitu saja meninggalkan Arga. Namun, sepertinya Arga juga tidak betah sendirian di ruang tamu. Dia mengekori Mentari.
"Tari, pacarmu nggak bosan ngajak kencan mulu?" kepo Arga basa-basi.
"Bisa nggak, nggak usah kepoin aku mulu. Kan, kamu yang bilang kalau kamu nggak akan peduli sekali pun aku punya ribuan cowok."
"Aku nggak ada niat kepo. Aku cuma pengin tahu aja. Siapa tahu gitu cara pacaran kalian bisa jadi referensi buat aku."
"Kamu berharap Samantha balik dan kalian kayak dulu lagi?"
"Enggak. Aku cuma ngerasa perlu belajar dari pacarmu. Kok, dia sanggup ngejalin hubungan sama cewek modelan kamu."
"Mungkin karena aku kelewat baik dan nggak ada niatan kabur dari dia. Ah ... andai nasibku nggak sengenes ini. Pasti sekarang aku udah bahagia dengannya. Sedih banget, kami nggak bisa nikah cuma gara-gara pernikahan nggak jelas kita." Mentari memasang raut wajah sedih kemudian mendadak berubah serius. "Arga, kapan kamu ceraiin aku?"
"Sampai Mantha balik ..." Arga pura-pura berpikir. "Atau bisa aja sampai maut yang misahin kita."
"Jangan bercanda, Arga. Aku serius sama pertanyaanku barusan."
"Kamu pikir, aku main-main. Aku nggak mau main-main sama sumpah yang udah aku ikrarin di hadapan penciptaku." Arga menatap Mentari sungguh-sungguh. "Aku nggak pernah berniat menikah dua kali. Bagiku cukup sekali seumur hidup."
"Jika hanya satu kali sampai akhir hayat. Lalu, bagaimana semisal Mantha tiba-tiba balik?"
