Bab 4

Mentari menatap nanar penampakan di depannya. Pagar bercat hitam tinggi berujung runcing. Taman kecil berisi bunga dengan tatanan yang sedikit tidak terawat, dan bangunan bertingkat tiga dengan warna krem yang mendominasi. Namun, itu hanya warna di penampakan luar saja. Karena begitu pintunya dibuka, mata Mentari mengedar ke penjurunya, dan yang menguasai tetaplah warna putih menyerupai susu.

Terlihat ruang tamu tertata sedemikian rupa. Sofa terhitung jari dibuat berhadap-hadapan mengelilingi sebuah meja di tengah-tengahnya, di dinding menempel beberapa figura yang hampir semuanya memamerkan potret diri Mantha. Mentari tidak heran dengan pemandangan itu. Sebab memang rumah ini dan pemilik rumah ini mempermaisurikan Mantha.

"Gimana, kamu nggak masalah dengan semua perkakas yang ada di sini?" tanya Arga menatap sekilas Mentari.

"Sekali pun aku nggak suka. Semuanya memang harusnya seperti ini. Karena sememangnya ini adalah rumah impianmu dan Mantha," balas Mentari santai. Namun, sebenarnya ucapan itu menyirat sindiran.

Arga tersenyum sungging. "Kupikir kamu lupa siapa kamu. Tapi, ternyata kamu yang selalu mengingatkanku akan siapa dirimu. Bagus, deh. Kamu masih punya kesadaran akan posisimu."

Mentari tak membalas. Omongan Arga benar-benar menyayat hati. Apa selamanya akan terus begini sampai pada akhirnya Mentari memutuskan untuk menyerah?

Mentari menggeleng kuat. "Nggak. Aku nggak mau menyerah. Ingat ucapan orang bijak, Tari, setumpul pisau bila terus-menerus diasah pasti tajam juga. Begitu juga dengan hati. Tidak mungkin selamanya begitu. Pasti dia punya waktu berbalik. Benci menjadi cinta, dan cinta semakin cinta. Ya, aku yakin itu." Mentari menyemangati dirinya.

Arga mengajak Mentari ke lantai dua. Bukan, tepatnya Arga yang berjalan lebih dulu, dan berkat insting lebih ingin tahu keadaan rumah ini Mentari mengekori Arga dari belakang. Sama sekali bukan dilandaskan kalimat ajakan.

Kriek!

Bunyi pintu sebuah ruangan dibuka. Ruangan ini terletak di jajaran paling sudut bersebelahan langsung dengan balkon. Dari kestrategisannya, Mentari tahu kalau ruangan ini merupakan kamar utama di rumah ini. Begitu pintu terbuka, terpampanglah pemandangan di dalamnya. Tempat tidur berukuran jumbo, nakas antik dengan bentuk dan corak sedemikian rupa, lemari kaca besar, dan perkakas lain yang melengkapi kamar itu.

"Kamu berencana ingin membeli tempat tidur baru, kan?" tanya Arga sambil mengempas tubuh di atas ranjang kebesarannya.

"Hm, ya. Aku nggak kuat tidur beralaskan terpal," jawab Mentari masih dengan posisi berdiri menghadap Arga. Matanya fokus memandang laki-laki yang ia sendiri bingung apakah benar suaminya.

"Setelah kupikir-pikir, aku nggak mengizinkan kamu menambah atau mengurangi barang apa pun di rumahku."

Alis Mentari tertaut. "Jadi, kamu melarang aku membelikan kasur untukku?"

"Bukan melarang. Lebih kepada aku nggak ingin ada barang yang bertambah di rumah ini kecuali pembelianku."

"Apa itu artinya kamu yang ingin membelikan kasur untukku?"

Arga menggeleng dan lagi-lagi diikuti senyum sungging. "Jangan bermimpi! Aku nggak sebaik itu pada istri pengganti."

"Oh ..." Mentari mengerti maksud Arga. Arga berniat menyiksa dirinya secara perlahan. Membiarkan tubuhnya ambruk sebab setiap malam tidur beralas terpal.

"Di rumah ini jumlah ranjang sudah lengkap. Jika kamu menambahkan ranjang lagi, otomatis orang tuaku pasti curiga. Lama-kelamaan mereka mengetahui bahwa kita tidur berasingan."

"Tanpa ranjang pun, kita sudah tidur berasingan. Tapi, nggak masalah jika semisal kamu keberatan aku tinggal di sini, aku bisa menginap setiap malam di kantorku. Kebetulan di sana pihak kantor menyediakan ruang privasi yang memang diperuntutkan untuk beristirahat. Lagi pula, setelah kutimbang lebih baik aku tinggal di sana. Selain bebas dari sikapmu yang memuakkan, aku nggak perlu repot-repot bangun pagi supaya nggak terjebak macet. Aku bisa bangun lima menit sebelum jam kantor dimulai."

Arga tertarik, dia lekas menukar posisi menjadi duduk. "Kantormu memiliki ruang privasi?"

"Ya. Bosku cukup memberi kemudahan pada bawahannya."

Mata Arga memicing. "Benarkah itu hanya tempat istirahat?"

"Apa maksudmu bertanya seperti itu?"

"Bukan tempatmu bermaksiat dengan bosmu, kan?"

Tangan Mentari terangkat ke udara, detik kemudian sebuah tamparan mendarat di pipi Arga. "Aku tidak semurah itu."

Arga menyungging senyum seraya mengusap pipi yang sakit bekas tamparan Mentari. "Tidak ada yang tahu harga dirimu. Bahkan tanpa berpikir panjang kamu rela merebut posisi Mantha."

"Daripada kamu sibuk mengukur harga diriku. Sebaiknya kamu lebih harus menyibukkan diri menilai hatimu. Hanya laki-laki bodoh yang masih mengharapkan mantan calon istrinya yang kabur di hari pernikahannya. Kamu mencintai Mantha, bukan? Maka itu, biarkan aku hidup bersama kebahagiaanku. Jangan pernah coba mengurus diriku sekali pun aku bermaksiat dengan atasanku."

"Kamu benar. Perempuan pengganti tidak punya rasa malu. Bahkan di hadapanku kamu terang-terangan mengakui kalau kamu punya hubungan istimewa dengan bosmu. Aku semakin kasihan dengan pacarmu yang masih bisa berpikir kalau pacarnya adalah perempuan baik-baik."

"Sayangnya, aku lebih kasihan padamu yang masih terus mengharapkan Mantha setelah apa yang diperbuatnya terhadapmu."

Mentari keluar dari kamar Arga. Tekadnya sudah bulat untuk tinggal dan bekerja di kantor. Lantaklah jika suatu hari mertuanya datang berkunjung, lalu bertanya di mana keberadaannya. Pandai-pandailah Arga menjawab orang tuanya.

Dengan hati yang teguh, Mentari menarik kopernya ke luar rumah. Namun, baru hendak menggapai gagang pintu, suara Arga bergaung, "Mentari ... mari berbincang sedikit lagi dengan kepala dingin!"

"Nggak perlu. Istri pengganti tidak memerlukan perbincangan apa pun," ucapnya tanpa berbalik.

Entah di detik kapan tangan Arga sudah ikut nangkring di kenop pintu menahan tangan Mentari. "Ayolah, Mentari. Kita sudah dewasa untuk semua ini. Jangan seperti anak-anak yang sedikit-sedikit merajuk."

"Aku nggak sedang merajuk. Aku sungguh-sungguh dengan ucapanku."

"Oke. Kalau benar kamu nggak merajuk, kenapa memilih minggat?"

"Aku nggak minggat. Rumah ini memnag bukan rumahku. Ini hanya rumahmu dan Mantha. Kalian yang memilihnya, merancang semua interiornya. Bahkan figura di rumah ini tidak bisa berbohong kalau ratu di rumah ini adalah Mantha."

"Oh ... gara-gara foto-foto itu." Arga mengedarkan pandang pada hiasan yang terpaku kokoh di dinding. "Anggaplah itu dirimu. Lihatlah! Paras Mantha dan kamu sedikit pun nggak ada bedanya."

"Mudah sekali kamu berkata begitu. Apa kamu mau ketika disamakan dengan kucing pengais makanan sisa di tong sampah?"

"Itu beda, Tari."

"Nggak beda. Kamu yang mengajarkanku menganggap gambar Mantha adalah gambarku. Maka aku akan menganggapmu nggak lebih baik dari kucing pengais makanan sisa di tempat pembuangan sampah."

Arga tidak bergeming, tetapi matanya tidak bisa menipu. Dia menyorot tajam Mentari. "Terserahlah! Ingin pergi atau nggak. Lagi pula aku senang kamu nggak ada di sini. Tapi ingat, ketika orang tuaku atau orang tuamu datang kemari dan bertanya di mana kamu, kamu yang harus bertanggung jawab pada mereka. Karena memang dasarnya aku nggak pernah mengusirmu dari rumah ini. Kamu pergi itu murni keinginanmu."

Sejenak Mentari tepekur. Omongan Arga ada benarnya. Dia tidak pernah melontarkan kalimat pengusiran. Tetapi caranya yang tidak memberikan Mentari tempat tidur cukup menjelaskan kalau dia tidak suka Mentari ada di rumahnya.

"Oke. Aku nggak akan pergi dari sini," tutur Mentari pasrah. "Tapi, apa aku masih tetap tidur di terpal?"

Arga tidak membalas. Dengan sangat santai dia melenggang kembali ke lantai dua.

"Hei ...! Pak Arga yang terhormat, tolong jawab pertanyaan saya," teriak Mentari.

"Pikirkan alas tidurmu sendiri. Bahkan kucing di tong sampah tahu di mana tempat tidur yang nyaman," ucap Arga congkak.

"Argh ... kenapa, sih, Mantha selalu ngebawa masalah buat aku. Coba kalau Mantha nggak kabur. Aku nggak mungkin hidup semengenaskan ini," racau Mentari sambil menendang pintu kasar.

"Kalau kamu sedang kesal, jangan lampiaskan pada pintu rumahku. Karena kalau sampai dia rusak, aku yakin kamu nggak akan punya cukup duit menggantinya. Kamu nggak lihat betapa antik dan berkelasnya perabotan di rumah ini. Bahkan kantor tempatmu bekerja nggak ada apa-apanya jika dibanding dengan harga rumah ini," teriak Arga dari lantai dua.

"Bodoh amat. Sekali pun pintu rumah ini rusak dan Anda meminta ganti rugi, aku nggak akan bersedia menggantinya," balas Mentari tak mau kalah.

"Kalau begitu, bersiaplah berhadapan dengan kuasa hukum saya."

"Orang kaya nggak akan ngelakuin hal selebay itu. Melaporkan seseorang hanya karena pintu rumahnya yang rusak."

"Aku bisa melaporkanmu karena percobaan pencurian itulah sebabnya pintu rumahku rusak."

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya