Bab 5
Malam menyapa lagi. Jika keadaan tak urung berubah, selamanya waktu seperti ini akan menjadi salah satu waktu yang sangat tidak diingini Mentari. Dia tidak diperbolehkan menyentuh apa pun milik Arga. Artinya dia tetap tidak diizinkan tidur di ranjang.
Mentari berusaha melawan kantuk yang kian hebat menyerang. Dia ingin berbaring, tetapi tidak dengan beralas terpal. Mentari dengan sengaja membuat ekspresi lesu supaya Arga iba padanya. Dan apa tanggapan Arga? Dia tetap tidak peduli. Sama sekali tidak. Justru menyakitkan, sesekali Arga terkikik kecil sambil menatap layar ponselnya. Entah ada sesuatu yang lucu yang sedang ditampilkan benda pipih persegi panjang itu, atau dia memang sengaja menertawai Mentari.
"Arga, aku ingin tidur." Mentari akhirnya buka suara.
"Memangnya siapa yang melarangmu tidur. Kalau ingin tidur, tinggal tidur saja. Atau kamu berharap kukeloni?" balas Arga cuek.
Mentari bergidik. "Amit-amit. Aku cuma memberitahu padamu kalau aku tidak mungkin tidur di terpal."
"Itu urusanmu. Bukan urusanku. Asal kamu tahu semua yang ada di rumah ini hanyalah milikku dan Mantha. Jadi, kamu nggak punya hak menjamahnya apalagi menguasainya."
Menyerah sudah. Tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau Mentari harus tetap berakhir terbaring di terpal. Mentari merasa sekarang dia tidak lebih baik dari seorang budak. Bayangkan Arga tidur di kasur empuk, sedangkan Mentari tidur di bawah ranjangnya. Tepatnya, di alas kaki Arga.
"Ini benar-benar tidak adil," gumam Mentari mencebik.
Dengan penuh susah payah Mentari mengajak kompromi mata dan tubuhnya agar segera terjun ke alam mimpi. Besok ada meeting dengan klien penting di kantor. Dan ya, usaha tidak mengkhianati hasil. Meski sulit, meski sempat kesusahan, akhirnya Mentari terlelap juga.
Hingga pagi bertemu, Mentari bangun dengan tubuh remuk dan tulang-tulang di badannya nyaris terlepas. Mentari yang biasanya tidur di atas kasur empuk ditemani boneka beruang kesayangannya, tadi malam harus tidur secara tragis beralas terpal.
Sungguh kejam Arga!
"Mau kemana kamu?" sergah Arga ketika mendapati Mentari sibuk mengemas.
"Aku harus cepat-cepat ke kantor," jawab Mentari.
"Sepagi ini?" tanya Arga setelah melirik jam dinding. Di sana menunjuk pukul lima subuh.
"Ya. Aku tidak ingin mengotori kamar mandimu. Jadi, aku berencana akan mandi, bersolek, bahkan sarapan di kantor saja. Aku juga takut merusak pemandangan matamu karena melihatku bersolek di kamarmu." Mentari menoleh ke arah meja rias. "Aku pun nggak pengin mengotori kursi antikmu," tambahnya ketika melihat sebuah kursi di depan meja rias.
"Pergilah! Setiap hari begini lebih baik. Kamu harus membiasakan dirimu tahu posisinya di tempat yang bukan milikmu," ucap Arga tidak pernah berubah; selalu kejam dan menohok.
Sungguh Mentari menyesal dengan ucapannya barusan. Dia sempat berkata demikian karena merasa Arga akan memberi sedikit iba atau berusaha menahan niatnya. Nyatanya, tidak. Justru Arga senang dengan langkah yang diambil Mentari hingga Arga merasa itu tepat.
"Dasar laki-laki tidak punya perasaan. Lihat aja, akan kubuat kamu jatuh cinta padaku. Dan bila saat itu tiba, segera juga pasti kutelantarkan dirimu," tekad Mentari dalam hati.
Mentari menenteng tasnya. Sebelum benar-benar pergi, dia menyempatkan diri menatap Arga dengan sorot mata yang tajam diiringi senyum sungging. Kemudian mengacir pergi dan menutup pintu dengan kasar.
"Jangan rusak pintu rumahku!" teriak Arga.
"This is just a cheap door," balas Mentari enteng.
Beruntung dia bijak membawa mobil miliknya untuk selalu ikut bersamanya. Kalau tidak, Mentari tidak tahu kendaraan apa yang dapat memudahkannya berangkat ke kantor sepagi ini. Memang zaman sekarang tidak sulit menemukan taksi online. Tetapi, Mentari berpikir kalau taksi online tidak beroperasi setiap saat.
"Huh ...! Aku membutuhkan lebih banyak kesabaran sebelum nanti benar-benar menelantarkan Arga," gumamnya di tengah kesibukan mengendalikan setir mobil.
Jangan tanya kenapa Mentari tidak lemah lembut seperti istri pengganti kebanyakan yang diceritakan di dalam novel. Karena itu memang tidak akan pernah terjadi. Mentari terlalu manusiawi, terlalu jahat untuk menjadi seorang malaikat. Dia sadar dia disakiti, dia sadar Arga tidak menganggapnya. Maka dengan cara licik dan sedikit halus pula, Mentari berusaha membalas perbuatan Arga.
"Pagi, Non," sapa Pak Samid si satpam cekatan.
"Pagi, Pak Samid. Kayaknya happy banget," balas Mentari.
"Non Mentari juga kelihatan senang. Siap ke kantor pakai baju tidur lagi."
Mentari sigap memeriksa tampilannya. Rambut cepol, pakaian tidur bergambar sepasang boneka botak dan sandal karet rumahan.
Menyadari keadaan dirinya yang jauh dari kata sempurna, Mentari cengengesan. Dia bahkan lupa kalau kantor tempatnya bekerja memiliki satpam siaga yang siap berjaga dua puluh empat jam.
"Iya, nih, Pak Samid. Pagi ini ada rapat direksi dengan klien penting. Berhubung saya takut terlambat, akhirnya saya mutusin buat siap-siap di kantor aja," jelas Mentari. Tidak mungkin dia menceritakan kalau dia sedang cekcok dengan Arga. Lagi pula tidak ada yang tahu Mentari sudah menikah.
"Oh gitu, Non. Yo wes, selamat siap-siap ketemu klien, Non. Saya mau lanjut berjaga."
"Yo, Pak. Makasih sudah bersedia jadi teman gibah di pagi buta," gurau Mentari.
"Ah, si Non bisa aja."
Setelah perbincangan singkat Mentari dan Pak Samid, dia melanjutkan langkah menuju ruangan tempat dia bekerja. Mujur atasannya baik hati. Menyediakan ruangan kerja VIP untuknya. Hingga Mentari tidak kesusahan kabur dari Arga.
Di ruangannya, Mentari tak langsung mandi. Masih ada sekitar kurang lebih dua jam sebelum jam kantor dimulai. Artinya selama itu Mentari masih punya kesempatan untuk istirahat, melanjutkan tidur yang tidak puas tadi malam. Sebelum benar-benar melanjutkan tidur cantiknya, Mentari menyetel alarm terlebih dahulu supaya tidak bablas.
"Selamat pagi, Mentari. Awal kamu masuk hari ini," sapa Anthony atasan Mentari.
"Iya, Pak. Saya ingat ada rapat direksi," balas Mentari segera mengalihkan fokus dari pekerjaannya kepada Anthony.
"Keloyalan kamu dalam bekerja memang tidak bisa diragukan. Semua pasti kamu lakukan dengan sangat sempurna," puji Anthony.
"Terima kasih, Pak."
"Tari, harus berapa kali lagi saya katakan. Jangan terlalu formal ketika kita hanya berdua saja. Cukup gunakan bahasa formalmu di hadapan pekerja lain."
"Maaf, Pak. Rasanya itu sangat tidak sopan."
"Aku tidak memerlukan kesopanan darimu. Kualitas kerjamu yang baik sudah cukup menjelaskan gambaran dari kesopananmu."
Alis Mentari tertaut. Rasanya sepanjang dia hidup, dia belum pernah mendengar kesopanan seseorang mutlak dinilai dari kualitas kerjanya. Karena memang itu adalah dua hal yang berbeda. Di mana yang satu membutuhkan usaha dan permainan otak, sedangkan yang lain berbicara tentang akhlak. Tetapi, ya sudahlah, jika memang itu pemahaman Anthony, Mentari tidak ambil pusing.
"Mentari, kamu tahu, kan, aku belum menikah," ucap Anthony.
"Itu dari status Bapak yang transparan. Dan saya tahunya begitu," jawab Mentari sedikit berani.
"Itu fakta, Mentari. Aku tidak menyembunyikan status apa pun dari siapa pun. Saya benar belum menikah."
"Sekarang, saya mempercayai perkataan Bapak."
Anthony tersenyum. "Bukan hanya saya. Kamu juga belum menikah."
Mentari tidak mengangguk atau menggeleng. Dia serba salah untuk keduanya. Jika mengangguk itu artinya dia menafikan status pernikahannya. Namun, jika menggeleng, Arga tidak ingin status mereka diketahui orang-orang. Seharusnya memang lebih baik tidak memberi tanggapan.
"Kamu belum ada keinginan untuk menikah?"
Mentari bingung harus memberi respons bagaimana. Untungnya dewa penyelamat datang tepat waktu. Seseorang di balik pintu mengetuk pintu ruangan Mentari.
"Masuk!" perintah Anthony pada orang itu.
"Ini proposal yang sudah saya siapkan untuk menambahi materi yang telah dibuat oleh Bu Mentari, Pak," tukas si dewa penyelamat seraya menyerahkan sebuah jilidan kertas pada Anthony.
"Baik. Terima kasih," ucap Anthony.
"Sama-sama, Pak," balas orang itu hendak berlalu.
"Bu Dewi," sergah Mentari.
Orang bernama Dewi itu langsung berbalik badan. "Ya, Bu Mentari?"
"Bagaimana kalau kita mempelajari lagi materi meeting ini. Maksud saya supaya kita berdua punya pemahaman yang sama. Hitung-hitung memantapkan proses presentasi nanti," ucap Mentari. Ini hanyalah sebuah trik supaya dia terbebas dari Anthony.
"Ide Bu Mentari sangat cemerlang. Kita memang harus mempelajari meteri ini secara bersama-sama supaya memiliki pemahaman yang sama," balas Dewi menyetujui.
Mentari memberi kode pada Anthony supaya dia keluar. Tetapi, entah mengerti atau tidak, Anthony malah menimbrungi, "Akan lebih baik jika kita mempelajarinya bertiga."
"Well, this is not too bad. It's much better than both," batin Mentari lega.
