Bab 6
Dalam lima belas menit lagi, rapat akan segera dimulai. Tari sudah duduk anteng dengan Anthony di sebelahnya. Begitu pula dengan beberapa dewan yang lain. Tinggal menunggu klien saja yang belum datang.
"Kita tunggu sebentar lagi. Sebab perjanjian rapat dimulai tepat pukul sembilan tiga puluh. Sepertinya klien kita sedang dalam perjalanan menuju kemari," ucap Anthony seraya melirik arloji yang melingkar tampan di tangannya.
"Baik, Pak," balas Mentari dan dewan komisaris serentak.
Sembari menunggu klien datang, Mentari melirik-lirik lagi pada materi rapat di hadapannya. Antisipasi saat presentasi ada materi yang terlewat atau supaya Mentari lebih menguasai materi rapat dan dapat tampil lebih baik saat presentasi.
Tap! Tap! Tap!
Suara hentakan kaki mengalihkan perhatian seluruh penghuni ruangan rapat. Masing-masing mereka lantas menoleh ke arah pintu seraya segera berdiri sebagai bentuk apresiasi menyambut si klien.
Bersamaan pula tak berapa lama tampak sesosok bersama dua orang di belakangnya. Bukan main terkejutnya Mentari begitu melihat siapa yang datang. Laki-laki berahang keras, tatapan mata menyorot terang seterang mata kucing, dan postur tubuh tegap.
Berbeda dengan orang di ambang pintu sana, dia tetap berjalan santai tanpa memedulikan siapa perempuan yang duduk di antara orang-orang yang sedang menghuni meja yang akan dia hampiri.
Begitu kaki si klien berhasil membawa dirinya hingga ke posisi meja, Anthony lekas mengulurkan tangan. "Selamat pagi, Pak Arga."
"Selamat pagi. Senang bertemu dengan Anda." Klien yang ternyata adalah Arga membalas uluran tangan Anthony.
"Perkenalkan, Pak. Ini Mentari sekretaris saya," ucap Anthony seraya memperkenalkan Mentari pada Arga.
"Arga," ucap Arga sambil mengulurkan tangan kepada Mentari.
"Mentari. Senang berkenalan dengan Anda." Mentari membalas jabatan tangan Arga seakan mereka adalah dua orang asing yang tidak pernah bertemu.
Selesai perkenalan singkat itu, tanpa basa-basi mereka langsung pada hal inti, yaitu rapat tender. Mentari memaparkan materi yang berisi program kerja dan strategi yang ditawarkan oleh perusahaan Anthony kepada Arga. Walau bercampur sedikit gugup, Mentari berusaha untuk tampil sempurna dan menepis rasa gugupnya.
Orang di samping Arga langsung bertepuk tangan begitu Mentari selesai dengan pemaparannya. Demikian juga dengan orang-orang di ruangan itu, kecuali Arga dan seorang perempuan di samping kanannya. Mentari berpikir bahwa perempuan itu tidak memberinya tepuk tangan karena takut pada Arga; si bosnya yang kejam. Maklum, sekretaris harus sangat bisa sejalan dengan bosnya sekali pun hatinya menolak.
"Strategi ini cukup baik. Sepertinya akan sangat berhasil ketika diwujudkan," komentar Arga yang langsung menggurat sinar binar di wajah Anthony. "Namun ..." Arga sengaja menggantungkan omongannya.
"Apa strategi yang kami tawarkan masih kurang memuaskan, Pak Arga?" tanya Anthony sedikit gusar.
"Tidak ada. Strategi ini sangat tepat sasaran. Kekurangannya ada pada sekretaris Anda," jawab Arga.
"Wah ... kurang asem ini si Arga," geram Mentari dalam hati.
"Dia terlalu menyeleneh saat pemaparan. Menyebabkan strategi yang luar biasa ini sedikit tidak meyakinkan," jelas Arga menjeda. "Beruntung saya cukup bijak dalam memahami maksud dari isi pemaparannya. Jadi, saya pikir saya memutuskan untuk menerima tawaran kerja sama dengan perusahaan Anda," tambah Arga.
Anthony langsung bernapas lega. Walau dia tidak melihat sedikit pun sikap menyeleneh dalam pemaparan Mentari. Namun, dia maklum. Perusahaan Arga merupakan satu-satunya perusahaan terbaik dari ribuan perusahaan di negara ini. Jadi, tidak mungkin Arga semudah saja menerima tawaran kerja sama. Pasti ada saja hal yang dirasa sedikit tidak pas. Tetapi daripada itu semua, Anthony tidak peduli. Yang penting Arga menyetujui rencana kerja sama mereka.
"Terima kasih, Pak. Semoga kerja sama ini membawa harapan baru untuk kejayaan kita bersama," ucap Anthony menjabat tangan Arga untuk kedua kali.
"Sama-sama, Pak," balas Arga.
"Terima kasih banyak, Pak. Maaf, tadi saya sedikit menyeleneh." Sekarang giliran Mentari. Dia memamerkan senyum yang sangat palsu. Andai ini bukan kantor tempatnya bekerja, Mentari sudah menggetok kepala Arga habis-habisan.
"Lain kali bekerjalah dengan sungguh-sungguh. Beruntung saya orang baik. Orang lain sudah menolak mentah-mentah kerja sama ini," ucap Arga penuh penekanan.
"Dia pikir aku bodoh. Mana ada orang yang mau menerima tawaran kerja sama yang tidak meyakinkan. Bilang saja ini cuma akal-akalan dia," rutuk Mentari dalam hati.
"Baik, Pak," balas Mentari juga.
Arga bergerak menghampiri pintu. Belum sempat kakinya memijak ambang, dia membalikkan badan. "Pak Anthony, bersediakah Anda memerintahkan sekretaris Anda mengantar saya hingga ke lobi?"
"What?" jerit Mentari dalam hati. Hampir saja bola matanya keluar. "Please, Pak Anthony. Kumohon jangan mau!" pekiknya dalam hati.
"Tentu," balas Anthony membuat Mentari lemas seketika. "Mentari, tolong antar Pak Arga sampai lobi sesuai keinginannya!" perintah Anthony pada Mentari.
Meski ingin sekali menolak, tidak ada pilihan lain Mentari menurut juga. "Baik, Pak."
Sepanjang jalan Mentari merungut dalam hati. Tangannya nyaris bergerak menjambak-jambak rambut Arga. Tetapi ditahan, ini tempat umum. Dan tidak ada yang boleh curiga dengan mereka.
"Erika, pulanglah lebih dulu ke kantor. Saya masih ada urusan setelah ini," perintah Arga pada sekretarisnya setelah mereka sampai di lobi.
"Bapak tidak ingin saya temani saja?" balas Erika membuat penawaran.
"Tidak perlu. Kantor lebih membutuhkanmu."
Walau tidak dijelaskan, sangat kentara raut kekecewaan tergurat di wajah Erika. "Baik, Pak. Saya pulang ke kantor."
Mentari mengekori tatap langkah Erika. Terlihat jelas perempuan itu berjalan lunglai dan tidak bersemangat. "Apa dia suka sama Arga?" pikir Mentari. "Menurutku hanya orang bodoh yang menyukai laki-laki seangkuh ini." Mentari memindahkan tatapan matanya pada Arga.
"Jadi, kamu bekerja di sini?" tanya Arga begitu mobil Erika sudah pergi.
"Kamu pikir ada orang yang rela meminta maaf ketika pekerjaannya dikomentari tanpa adanya sebuah imbalan. Pertanyaan kamu terlalu konyol, bukan?"
"Siapa tahu kamu bukan hanya bekerja. Siapa tahu Anthony justru bos yang merangkap sebagai pacar."
"Kalau iya. That is none of your business."
Mentari berbalik hendak kembali ke ruangannya, tetapi tidak jadi. Tangannya ditarik Arga.
"Arga, Lepasin! Nanti ada yang lihat," ucap Mentari meronta dilepaskan.
"Siapa yang melihat? Tidak ada orang di sini."
"Memang tidak ada. Tapi, jangan salah. CCTV itu cukup pandai mengintai dan merekam semua kelakuanmu. Sebenarnya, aku nggak masalah. Karena masalahnya hanya ada padamu. Orang yang melihat kejadian ini dari balik CCTV pasti berpikir kamu sedang berusaha membuat yang tidak sopan padaku. Nggak takut?" Mentari menaikkan sebelah alisnya.
Ancaman Mentari membuat nyali Arga ciut. Bagimanapun tidak ada yang boleh tahu tentang hubungan mereka. Barusan Arga refleks menarik tangan Mentari lantaran kesal dengan sikapnya yang berani. Sangat berbeda dengan ketika berada di rumah.
Mentari tidak berhenti merungut bahkan sampai ke ruangannya. Berulang kali dia menghentakkan kaki kuat-kuat untuk melampiaskan kekesalannya. Bukan perlakuan Arga di lobi yang membuatnya kesal. Melainkan cara Arga yang mengomentari pemaparannya. Tidak pernah dia dipermalukan di depan dewan komisaris. Bahkan oleh klien dari luar negri sekali pun.
"Aku dengar, klien baru kita mengomentari presentasimu," ucap Rere rekan kerja sekaligus sahabat Tari. Jabatannya sedikit di bawah Tari. Tetapi, tetap bagian dari pengurus kantor utama.
"Tahu, nih, bete banget. Bayangin, Re, dia nuduh presentasiku nggak serius," balas Mentari sebal.
"Sabar aja, Tari. Namanya orang pasti beda-beda. Yang bagus di mata seseorang belum tentu bagus di mata orang lain."
"Kesal aku. Nggak tahu, deh, setelah ini Pak Anthony bakal gibahin aku pakai bahasa yang gimana."
"Masalah Pak Anthony nggak usah cemaslah. Gimanapun kamu, kamu tetap sempurna di mata dia."
"Nggak nyambung banget, Re. Biar kata aku sekretarisnya, Pak Anthony tetap mau marahin aku. Lebih ekstrem malah. Yang ada semua kekesalan dia dilampiasin ke aku."
"Maklum, Tari. Marah-marah manja. Entar juga balik kayak biasa lagi."
"Sorry, ya. Aku nggak seistimewa itu buat Pak Anthony."
"Nggak usah ngeleslah. Semua orang di kantor ini juga tahu kalau Pak Anthony tergila-gila sama kamu. Kenapa nggak kamu embat aja, sih? Lumayan jadi pacarnya bos. Terus setelah itu jadi istri. Semua orang di sini pasti pada tunduk sama kamu."
"Dih, jauh. Pak Anthony levelnya bukan aku. Kalian aja salah kaprah. Dasarnya Pak Anthony baik ke semua orang."
"Baik, sih, Baik. Tapi, sama kamu istimewa," balas Rere tak mau kalah. "Nih, minum dulu. Aku pesan boba buat kamu." Rere menyerahkan se-cup minuman pada Mentari.
"Untung baik. Alhasil, omongan kamu barusan kuanggap angin lalu." Mentari menerima minuman dari Rere. "Makasih, Re. Kamu paling tahu aku nggak begitu suka kopi." Mentari segera menyeruput minumannya.
