Bab 7
"Mentari, terima kasih sudah menampilkan yang terbaik," ucap Anthony segera setelah memasuki ruangan Mentari.
Mentari yang mengerti arah pembicaraan bosnya, lekas mengangguk bercampur tidak enak hati. Dia sadar dia sangat tidak baik tadi. Buktinya Arga mengomentarinya nyeleneh.
"Maaf, Pak. Jika tadi saya terlihat main-main. Sungguh, saya tidak ada niat melakukan hal demikian," ucap Mentari meminta maaf.
"No, Mentari. Kamu melakukannya dengan sangat baik. Jika tadi itu tidak baik, tidak mungkin Arga mau bekerja sama dengan kita."
"Itu karena memang Pak Arganya saja yang bijak memahami materi yang saya paparkan. Tidak tahu kalau dengan perusahaan lain. Mungkin kita sudah ditolak mentah-mentah."
"Nggak boleh begitu, Mentari. Kamu nggak boleh berpikiran macam-macam. Apa pun komentar Arga, itu bukan urusan kita. Yang penting kerja sama kita sudah terjalin."
"Terima kasih, Pak," ucap Mentari kikuk.
Mentari sibuk bekerja dengan laptopnya sementara Anthony duduk di meja tepat sebelah laptop Mentari. Sungguh posisi yang tidak baik antara bos dan bawahan. Andai ada orang yang tiba-tiba datang dan melihat mereka dalam keadaan ini, maka orang itu akan sangat mudah memutuskan untuk percaya bahwa Mentari dan Anthony punya hubungan spesial yang lebih daripada bos dan sekretarisnya.
"Maaf, Pak. Saya ingin ke ruangan Bu Dewi. Saya bermaksud mencetak dokumen ini," ucap Mentari seraya menunjuk hasil pekerjaannya. Sebenarnya ini hanya alasan sebab dia risih dengan gaya duduk Anthony.
"Apa printer-mu rusak? Jika ya, kenapa tidak kirim via bluetooth saja ke komputer Dewi. Biar dia yang mencetaknya sendiri dan mengantarkannya kemari."
"Ah, tidak, Pak. Tidak ada yang rusak. Kebetulan saya ada hal penting yang ingin disampaikan pada Bu Dewi."
"Nggak bisa nanti aja?"
"Bukankah Bapak yang berkata bahwa segala sesuatu akan lebih baik jika dikerjakan lebih cepat?"
Anthony kehabisan kata-kata. "Oke. Kebetulan saya juga ada hal yang perlu diurus ke bagian divisi pemasaran. Mari kita keluar bersama."
Mentari lekas menolak. "Maaf, Pak. Sepertinya sangat tidak manis jika kita keluar secara bersamaan."
"Apanya yang nggak manis. Semua orang di gedung ini tahu kamu sekretarisku dan aku bosmu. Adalah hal wajar jika bos dan sekretarisnya kerap bersama."
Menyerah diikuti dengusan kecil. Mentari pasrah. "Baiklah, Pak. Segala yang terbaik menurut Bapak."
Mentari mengempas tubuhnya kasar ke sofa. Baginya hari ini terlalu serabut. Terlalu banyak drama yang terjadi. Klien yang tidak disangka adalah suaminya sendiri, komentar halus tetapi cukup pedas dari Arga, dan Anthony yang terus berusaha mendekatinya.
"Bisa gila aku begini," racau Mentari mengusap wajahnya kasar. Namun, tiba-tiba sebuah ide tidak masuk akal terlintas di benaknya. "Kayaknya aku harus nurutin saran Rere. Nggak ada salahnya memberi kesempatan pada Pak Anthony. Toh, Arga nggak akan peduli. Pernikahan ini juga nggak jelas arahnya," gumam Mentari.
Deheman seseorang dari ambang pintu berhasil menyentak Mentari dari ide gilanya. Siapa lagi orang itu jika bukan Arga. Dia memandang aneh ke arah Mentari. Pandangan yang tidak biasa. Seperti menyeleneh, namun tersirat interogasi.
"Kenapa kamu?" tanya Arga segera mengambil posisi duduk di sofa yang berlainan dengan Mentari.
"Aku bingung, Arga. Pacarku mengajakku jalan-jalan keluar kota," ucap Mentari dengan mimik wajah yang dibuat seserius mungkin.
"Lalu?"
"Ya, aku bingung. Kalau aku pergi, aku takut orang tuaku atau orang tuamu tiba-tiba kemari atau menyuruh kita ke rumah mereka."
"Intinya kamu takut ketahuan?"
"Iya. Takut banget. Tapi, aku nggak mungkin nolak ajakan pacarku. Jarang-jarang dia mengajakku jalan-jalan sampai keluar kota."
"Itu terserah padamu. Aku nggak peduli keputusanmu." Arga mengedikkan bahu.
"Kamu nggak punya niat bantuin aku? Minimal semisal orang tua kita datang kemari, kamu kasih jawaban aku keluar kota karena urusan pekerjaan."
"Urusanmu jangan libatkan padaku," tukas Arga kemudian berlalu.
Mentari menatap bingung punggung Arga. Apa begitu susah mengakui kalau dia tidak ingin jauh-jauh dari Mentari. Atau memang begini cara Arga menanggapi semua orang?
"Aku nggak boleh kepedean. Bahkan aku nggak nemu segurat cemburu pun di wajah Arga," gumam Mentari mencegah hatinya yang membuncah.
Mentari sibuk mengotak-atik remote TV. Mencari saluran yang cocok untuk menghiburnya. Namun, tak satu pun Mentari menemukan tontonan yang seturut seleranya. Menyerah, akhirnya Mentari memutuskan beranjak ke kamar.
Setibanya di kamar malah lebih membingungkan. Menatap terpal mengenaskan yang baru saja diinjak-injak Arga. Apa selamanya dia harus tidur di situ?
"Arga, aku benaran nggak kuat tidur beralas terpal setiap malam. Apa aku nggak bisa tidur dengan alas yang lebih layak? Minimal di atas kasur yang tipis," ucap Mentari.
"Ini rumahku. Semua harus seturut izinku."
"Kalau begitu, aku lebih baik kembali ke rumah orang tuaku."
Mentari mendengus sebal. Dengan terpaksa dia meraih bantal dan selimut dari meja kerja yang berasingan dengan meja kerja Arga. Saking kotornya dia di mata Arga, berbagi meja pun dia tidak rela.
Berbicara mengenai kejijikan Arga tentang dirinya, Mentari jadi teringat akan kejadian di kantor tadi. Arga menjabat tangannya dua kali. Di lobi Arga juga menarik tangannya tanpa memikirkan kalau tangan itu kotor. Setelah itu Arga tidak terlihat mencuci tangan atau melumuri tangannya dengan cairan penghilang bakteri. Mentari jadi bingung, sebenarnya Arga menganggapnya kotor hanya di rumah ini saja atau di segala tempat dan keadaan?
"Tadi di kantor Mama menghubungiku," tukas Arga.
Inginnya Mentari tidak tertarik akan penuturan Arga. Tetapi karena ini menyangkut orang tua, Mentari terpaksa menunda acara tidurnya. "Mama siapa?"
"Mama kita."
"Iya itu aku tahu. Masalahnya—"
"Mamaku. Beliau bilang sudah memesan tiket bulan madu."
"Katakan pada Mama. Kita nggak butuh bulan madu. Aku atau kamu sangat sibuk dan nggak dikasih cuti sama kantor."
Arga menautkan alis. "Kita? Sorry, aku bukan kamu yang menumpang hidup di usaha orang lain. I am a boss."
Mentari mengendus kesal. "Kalau begitu, aku yang nggak dikasih jatah cuti."
"Itu urusanmu. Jadi, cukup kamu yang memberi alasan itu pada Mama."
Saking geramnya tangan Mentari nyaris merayap ke kepala Arga. "Oke. Besok aku bicara dengan Mama."
Dirasa tak ada lagi yang perlu dibahas, Mentari kembali ke posisi semula. Membawa dirinya pulang menyelami alam mimpi. Meski memang tidak akan langsung terjun mengingat alas tidurnya yang sangat mengenaskan.
"Mentari," panggil Arga.
"Apalagi, sih, Arga. Aku hampir saja terlelap."
"Tarik tempat tidur di sebelahmu!"
"Kamu nggak lagi ngerjain aku, kan?"
"Kamu pikir aku segabut itu sampai-sampai berniat mengerjaimu. Tapi, ya sudah, kalau kamu emang betah tidur di situ, i don't care. Dasarnya kamu nggak suka dikasih enak."
Mentari melirik ke sebelahnya. Mengapa dia tidak sadar tempat tidur milik Arga adalah tempat tidur dengan model bertingkat. Mentari segera menarik anakan tempat tidur Arga.
"Oh, jadi kamu masih suka tidur di kasur. Aku pikir sudah nyaman di terpal. Atau emang sengaja pengin jual mahal biar aku perhatiin?"
"Maaf, Pak Arga. Saya nggak butuh perhatian Anda. Tadi aku berkata begitu karena mikir kamu sedang mengerjaiku. Aku nggak tahu kalau ternyata ada tempat tidur lain di sini."
Arga menyungging. "Alasan."
Mentari tidak peduli pendapat Arga tentang dirinya. Yang terpenting saat ini adalah tubuhnya terselamatkan dari penindasan dan penistaan terpal. Harapannya hanya satu, semoga Arga tidak berubah pikiran. Tidak menyuruhnya tidur ke tempat semula.
"Arga, makasih, ya. Aku nggak nyangka, judes-judes gini kamu masih punya hati," ucap Mentari dengan penuh semangat membaringkan tubuhnya di tempat tidur baru.
"Jangan senang dulu. Kamu nggak boleh lupa, posisimu tetaplah nggak lebih buruk dari seorang istri pengganti."
"Tenang saja, Arga. Tentang itu aku nggak mungkin lupa." Agak sakit memang, tetapi omongan Arga sepenuhnya benar.
Seketika Mentari teringat akan satu hal yang hampir dia lupakan belakangan ini. Meski kesal, meski bercampur benci, Mentari juga kepikiran di mana keberadaan Mantha sekarang.
"Apa Mantha baik-baik saja," bisik hati Mentari.
Sigap Mentari meraih ponsel, menghidupkan sambungan data. Lalu menelusuri semua aplikasi sosial. Mengecek keadaan akun Mantha. Sayang, tak satu pun meninggalkan jejak termasuk platform berwarna hijau bersimbol telepon. Walau begitu, Mentari tetap meninggalkan pesan di semua sosial media itu. Berharap saat Mantha menyempatkan waktu mengecek semua akun sosial medianya, dia membaca pesan dari Mentari dan semoga pula tidak keberatan untuk membalasnya.
