Bab 9
"Tari, apa jadwal saya hari ini?" Anthony tergesa masuk ke ruangan Mentari.
"Tidak banyak, Pak. Mengecek dan menandatangani laporan akhir bulan, audit langsung ke bagian produksi, meeting dengan Pak Willy kepala bidang bahan baku, dan bertemu klien di Kafe Rindu sore ini," jelas Mentari.
"Itu saja?"
"Benar, Pak."
"Apa masalah produk gagal kemarin sudah ditangani?"
"Sudah, Pak. Hanya saja kepala bagian produksi belum menemukan alternatif baru untuk mengatasi kegagalan produk tersebut."
"Maksudmu, Halim belum bisa membuat produk itu lagi menggunakan cara yang berbeda?"
"Benar, Pak."
"Baik. Kalau begitu, nanti saya akan suruh Halim belajar lebih keras bersama profesor Enstein."
"Baik, Pak." Mentari mengangguk.
Anthony mengetuk-ngetuk ujung jarinya pada permukaan meja. "Oh, satu lagi. Tolong batalkan meeting saya dengan klien di Kafe Rindu. Saya terlampau lelah untuk menghadiri meeting setiap hari."
"Tetapi, Pak. Ini meeting penting. Dan Bapak sudah membatalkannya dua kali."
"Saya tahu meeting itu penting. Bagaimana lagi, jika saya tidak sanggup, apa saya harus memaksanya?"
Nyali Mentari ciut. "Baik, Pak. Akan segera saya kabari pembatalannya."
"Bagus." Anthony mendudukkan pinggul di meja tepat di samping laptop Mentari. Matanya menyelisik jari-jemari Mentari baik-baik. "Aku nggak pernah nengok kamu pakai cincin ini. Kapan kamu membelinya?"
Mentari sigap memperhatikan jari-jemarinya. Hampir tangannya terangkat menepuk jidat. Bagaimana mungkin dia lupa melepaskan cincin pernikahan bahkan mulai dari hari pernikahannya. Beruntung Anthony baru menyadarinya sekarang, kalau sampai sejak kemarin-kemarin, habislah Mentari.
"Iya, Pak. Kemarin saya iseng jalan-jalan ke mall dan iseng-iseng juga melihat-lihat ke toko perhiasan. Entah kenapa saya tertarik dengan cincin ini. Itulah mengapa memutuskan untuk membelinya."
Tangan Anthony bergerak menggenggam tangan Mentari, mengangkatnya supaya lebih dekat dengan penglihatannya. "Seleramu sangat bagus. Cincin ini punya cita seni yang tinggi."
"Terima kasih, Pak."
"Setelah kuperhatikan, aku bisa menebak, harga cincin ini cukup fantastis."
Mentari segera menarik tangannya dari genggaman Anthony kemudian pura-pura meneliti cincin di jemarinya. "Ah, Bapak bisa saja. Saya membeli cincin ini tidak sampai setengah juta."
"Benarkah? Apa mungkin hanya replika. Tapi, kenapa aku nggak menemukan kepalsuan. Lagi pula, aku belum pernah melihat cincin bermodel seperti ini sebelumnya. Aku yakin model cincin seperti ini hanya ada satu di dunia. Cincin ini seperti sengaja dirancang untuk seseorang."
"Siapa yang merancangnya, Pak. Saya bahkan menemukan cincin ini di tempat umum. Kalau benar yang Bapak katakan, tidak mungkin penjualnya amnesia membandroli cincin ini dengan harga di luar nalar."
"Mungkin si penjual lupa kalau ternyata ini cincin pesanan khusus seseorang. Dia juga lupa harus mengistimewakan harganya."
"Kalau begitu, saya harus bersyukur karena mendapat cincin istimewa dengan harga yang sangat miring. Jika benar cincin ini memiliki harga yang fantastis, saya harus segera menjual kembali cincin ini sebelum pemiliknya mencari."
"Jangan jual, Tari."
Mentari mengerutkan dahi.
"Aku takut begitu kamu menjual cincinnya. Kamu kaya mendadak dan langsung melempar surat pengunduran diri dari kantor ini."
Mentari tertawa renyah. "Apa cincin itu sebegitu mahal sampai-sampai aku rela kehilangan pekerjaanku."
"Ya. Sepertinya memasuki hitungan M."
"Apa itu M, Pak?"
"Maybe miliar."
Mentari terbelalak. Yang benar saja Arga dan Mantha membeli cincin seharga sepuluh mobil. Padahal cincin ini hanya simbol yang dipajang di jari. "Oh ... tidak! Itu terlalu berlebihan," jerit hati Mentari.
Sehabis membahas masalah cincin dengan Mentari, Anthony kembali ke ruangannya. Tepatnya Anthony pergi karena mendapat panggilan dari komisaris Gerald. Jika tidak ada panggilan itu, maka mustahil Anthony angkat kaki dari ruangan Mentari.
"Tari, kamu habis kencan, ya, bareng Pak Anthony?" tanya Rere lekas datang begitu melihat Anthony keluar dari ruangan Mentari.
"Enak saja kencan. Kamu pikir ini di mana."
"Kantor. Tapi, kan, nggak ada yang melarang bos pacaran di kantor."
"Terserahlah. Aku dan Pak Anthony nggak punya hubungan apa-apa selain bos dan bawahan."
"Sekarang. Besok nggak ada yang tahu. Lagian, nih, Tari. Kenapa nggak kamu embat aja, sih. Secara Pak Anthony udah kasih lampu hijau. Tinggal kamunya aja nerobos masuk."
"Enak aja nyomblangin orang. Jangan-jangan kamu, tuh, suka sama Pak Anthony."
"Hei! Aku nggak pernah berubah. Cintaku cuma Pak Gerald. Ya, walau emang bertepuk sebelah tangan dan mustahil dibalas," ucap Rere lesu.
Rere memang tanpa malu terang-terangan mengaku naksir Gerald, komisaris keuangan. Namun, dia hanya mengakui itu pada Mentari. Pada orang lain dia tidak berani. Maklumlah, tidak semua orang bisa dipercaya. Berbeda dengan Mentari yang Rere yakini tidak bermulut ember dan bisa dipercaya menjaga rahasianya baik-baik.
Mentari tersenyum paham. "Kenapa kamu nggak ngomong langsung ke Pak Gerald? Pastinya kamu lebih lega. Tentang gimana balasan Pak Gerald, itu urusan belakang. Yang penting kamu udah jujur mengenai perasaan kamu ke dia."
"Hello, Mentari! Gini-gini aku masih punya harga diri. Aku punya gengsi buat menjaga harga diriku di depan laki-laki. Bayangin, semisal aku jujur tentang hatiku ke Pak Gerald, terus tanpa berpikir panjang dia menolakku mentah-mentah. Masih mending ditolaknya baik-baik. Gimana kalau Pak Gerald nolaknya pakai gestur ogah-ogahan. Mau ditaruh di mana mukaku? Malu tahu, Tari."
Mentari terkikik kecil. "Ya itu resiko. Lagian hatimu seleranya kelewat tinggi. Kesemsemnya langsung sama komisaris. Ke Pak Samid minimal. Kan, masuk akal."
Rere bergidik. "Dih, apaan Pak Samid. Jujur, nih. ya. Aku nggak pernah nengok jabatan. Tapi, kira-kira juga dong. Masa ke Pak Samid. Pak Samid udah punya anak cucu."
Jika barusan Tari hanya terkikik, sekarang tawanya naik satu oktaf. "Aku cuma ngasih saran aja. Biar kisah cintamu nggak terlalu mengenaskan."
"Kasih saran, kasih saran juga. Tapi, jangan Pak Samid-lah."
"Udah, ah, balik sana. Aku mau kerja."
"Cie ... sok ngalihin. Pakai malu-malu. Kamu benaran nggak ada perasaan ke Pak Anthony?"
Mentari menatap Rere malas. Ekspresi wajahnya dibuat sejengkel mungkin. "Sudah kubilang, aku dan Pak Anthony nggak lebih dari bos dan sekreraris."
"Iya, deh. Aku percaya." Rere mundur pelan-pelan. "Tapi bohong," sambungnya segera menutup pintu ruangan Mentari.
Mentari yang tidak diberi kesempatan untuk menyanggah, hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Rere. Sangat mengerti dengan sahabatnya itu. Rere memang paling suka menggoda Mentari dengan menjodohkannya dengan Anthony.
Tak berapa lama setelah kepergian Rere, ponsel Mentari berbunyi. Di screen tertera nama Anthony. Sejak Anthony yang kerap kali berusaha mendekati Mentari, membuatnya sedikit segan berurusan dengan Anthony. Namun, jika menghindar pun rasanya mustahil. Anthony adalah bosnya, sementara Mentari sekretarisnya yang sangat dapat dipastikan tidak mungkin tidak berkomunikasi minimal satu menit dalam sehari.
"Ya, Pak?"
"Apa kamu sudah membatalkan meeting saya sore ini di Kafe Rindu?"
Mentari menepuk dahinya. Dia lupa untuk segera membuat pembatalan meeting. "Gara-gara Rere, nih," gumam Mentari. "Ya, Pak, segera saya batalkan," ucap Mentari akhirnya.
"Jika sudah, segera hubungi saya."
"Baik, Pak."
Bersamaan balasan terakhir Mentari, Anthony memutuskan sambungan. Detik itu juga, Mentari langsung menghubungi klien dan mengutarakan maksud pembatalan meeting. Kemudian setelah itu, dia lekas menelepon Anthony untuk memberitahukan bahwa dia sudah membatalkan meeting-nya.
"Terima kasih, Mentari," ucap Anthony.
"Sama-sama, Pak," balas Mentari.
"Sebenarnya aku punya agenda lain di balik pembatalan meeting sore ini."
"Apa itu, Pak? Apa saya perlu memasukkannya ke dalam daftar agenda Bapak hari ini?"
"Nggak perlu. Ini terlalu pribadi jika dimasukkan ke dalam agenda."
"Baik, Pak."
"Justru agenda saya berhubungan denganmu."
Seketika jantung Mentari berdegup. Rasa khawatir atas ucapan Anthony. Tidak biasa Anthony menyangkut pautkan urusan pribadinya dengan Mentari. "Saya, Pak?"
"Ya. Setelah kupikir-pikir. Kita perlu membuat perayaan kecil. Perayaan untuk kemenangan tender kita. Bagaimanapun kemenangan ini hadir berkat kerja kerasmu."
"Maaf, Pak. Bukan maksud saya menolak. Sungguh, saya ikhlas melakukannya. Disetujuinya kerja sama dengan Wijaya Kusuma Group saja sudah sangat membuat saya senang."
"Malah aku yang pasti sangat nggak senang kalau kamu menolak ajakanku. Aku janji nggak akan lama. Hanya perayaan kecil sebagai tanda kemenangan kita."
"Berdua saja, Pak?"
"Terlanjur aku memesan kursi untuk dua orang. Apa kamu keberatan?"
Mentari berat menerima ajakan Anthony. Tetapi, dia juga tidak ingin menyia-nyiakan perjuangan bosnya. Dari kalimat memesan kursi, Mentari mengerti kalau Anthony mengeluarkan nominal uang untuk 'acara perayaan kecil' mereka.
"Baik, Pak. Saya sanggupi," ucap Mentari terpaksa.
