Bab 4
Rainbow Cafe
Papan penyambutan setiap tamu kafe tersebut seolah memanggil-manggil para manusia yang melihat untuk bertandang ke dalamnya.
Rangkaian huruf timbul dengan lampu yang bisa menyala di setiap sisi itu membuat Merzal tak ragu melangkah masuk ke dalam mencari seseorang.
Sesekali memperbaiki penampilannya sambil menyigar rambutnya dengan gaya khas, Merzal mengedarkan pandangan ke segala arah. Ia tak jua menemukan gadis yang dicarinya.
Alinka, namanya.
Ia menghempaskan tubuhnya di atas kursi empuk dengan bantal tipis di atasnya.
Nyaman.
Satu kata yang patut untuk ia keluarkan dari bibirnya. Namun, urung ia lakukan.
"Tuan, mau pesan apa?" tanya seorang pelayan wanita yang menyodorkan sebuah menu di mana di dalamnya terlihat rentetan harga dan gambar yang menggugah selera.
Tanpa melihat ke arah buku menu di depannya, Merzal mengangkat kepalanya dan berkata pada si pelayan, "Satu gelas Americano. Terima kasih!"
"Ada yang lain lagi, Tuan?"
Merzal mengibaskan tangannya.
"Baik. Silakan tunggu sebentar!"
Merzal mengangguk setuju.
Pelayan itu segera berlalu dari hadapan Merzal.
Pria itu merogoh saku celananya mengambil sesuatu. Tak lain dan tak bukan, benda pipih pintarnya telah berada di genggamannya.
"Pak, tolong temani aku di dalam!" titahnya begitu panggilan tersambung.
Ponselnya dimatikan dan ia letakkan di atas meja. Matanya terus berjalan-jalan memutari sekelilingnya mencari keberadaan seseorang.
Aha!
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Gadis itu terlihat tak jauh darinya.
Satu
Dua
Tiga
Cantik!
Gumam Merzal tak sadar.
"Tuan?" panggil pak Abdi yang sudah berada di samping Merzal membuat majikannya terkesiap.
"Bapak kok di sini?" tanya Merzal kikuk.
"Kan tadi Den Merzal yang nyuruh saya ke sini!" sanggahnya pada sang majikan dengan lugas mengingatkan.
"Oh iya, duduk, Pak! Pilih makanan atau minuman yang Bapak mau sepuasnya. Isi perut Bapak karena hari ini misi kita begitu banyak dan pastinya menguras tenaga!" titahnya konyol.
Misi?
Lelucon apa ini?
Pak Abdi hanya mengangguk menanggapi permintaan Merzal.
Belum sempat Merzal melambaikan tangan ke arah Alinka yang saat itu melintas. Seorang anak kecil menjatuhkan gelas berisi jus ke lantai dan hampir mengenai tubuh Alinka.
Bukan kesal, marah, atau mengerucutkan bibir karena melihat hal itu, Alinka justru dengan tanggap mengambil pengki dan alat-alat kebersihan.
Ia melakukan itu agar bisa segera menyingkirkan gelas yang telah terpecah belah hingga menjadi beling, benda yang siap mengenai permukaan kulit siapa pun di sana. Ia tak akan membiarkan ada korban yang terkena benda tajam tersebut.
Penuh kehati-hatian, Alinka mengambil satu per satu beling dengan cepat dan membersihkan jus yang tumpah di lantai.
"Sudah bersih!" ucapnya lega. "Adek nggak kenapa-napa, kan? Kaget, ya?" tanya Alinka penuh perhatian tatkala pandangannya bertemu dengan si kecil yang menjatuhkan gelas jus minumannya.
Si kecil itu baru saja dimarahi oleh ibunya dan terisak. Alinka tersenyum ramah.
"Nggak apa-apa, Bu. Biasa anak kecil memang suka begitu, yang penting pecahan beling tadi nggak mengenai si Adek!" jelasnya perhatian.
"Maaf, ya, Mbak! Dia ini emang nggak bisa anteng bentar aja, gerak terus!" keluhnya mengenai sang putra yang memang sedikit susah dikendalikan.
"Nggak apa-apa, Bu!" jawab Alinka ramah. "Lain kali, hati-hati ya, Dek!" ucapnya bergantian pada si tersangka kecil yang menundukkan wajahnya.
Si kecil pun mendongakkan kepala menatap dalam pada Alinka.
"Terima kasih, Kakak cantik!" pekik si kecil sambil menganggukkan kepalanya. Tampak menggemaskan di mata Alinka.
"Baik kalau begitu, saya permisi dulu, ya!" pamit Alinka pada sepasang ibu dan anak tersebut.
Dua pria berbeda generasi tengah mengamati ke arah Alinka dengan pikiran masing-masing.
Demi menjalankan pekerjaan selanjutnya, Alinka mengembalikan alat-alat yang baru saja ia pakai untuk membersihkan noda di lantai.
Ia menyandarkan tubuh lelahnya di dinding. Sejenak, ia meraup udara segar demi memenuhi rongga pernapasannya.
Lelah.
Ya, ia sangat lelah. Sepulang kuliah, ia harus bekerja demi membiayai tugas-tugas yang diberikan dosen padanya.
Selama ia kuliah, paman dan bibinya tak ada yang memberinya uang saku. Setidaknya saat ini ia dapat bernapas lega karena bisa mengumpulkan pundi-pundi uang dengan jerih payahnya.
"Al! Ngapain kamu di sini? Awas, kesambet!" celetuk Lulu yang membuyarkan lamunannya dengan menepuk bahu Alinka.
"Ah, apaan, sih! Aku lagi nyandar bentar, kenapa emangnya?" tanya Alinka yang kini fokus mengarahkan pandangannya ke wajah sang sahabat.
"Jangan melamun! Bahaya!" ledeknya asal menggoda Alinka.
"Siapa yang melamun?" kilahnya.
"Kamulah! Eh iya, aku mau ke toilet bentar! Kamu buruan makan siang dulu, nanti gantian sama aku! Mumpung kafe belum rame banget, buruan gih!" desak Lulu yang tahu bahwa Alinka belum memasukkan sebutir nasi pun sepulang dari kampusnya.
"Iya, iya!" sahut Alinka yang segera berjalan menuju ruangan istirahat.
"Al!" panggil seseorang padanya.
Alinka menoleh ke belakang. Dewi, pelayan senior memanggil namanya sambil melambaikan tangan.
Dewi mendekat. "Al, Mbak minta tolong, antar pesanan ini ke meja delapan belas. Mbak kebelet! Makasih, ya!" jelasnya dengan wajah yang merah karena menahan sesuatu. Tak lama kemudian ia berlari kencang menuju kamar kecil demi menuntaskan hajat terpendam.
Alinka terkekeh.
Sebuah nampan dengan secangkir Americano berada telah berpindah tangan. Sambil mengamati dalam-dalam, Alinka memutari pandangan ke segala arah mencari meja yang dimaksud.
Dapat!
Langkahnya cepat ke arah tujuan.
"Permisi, Pak. Ini pesanan anda. Silakan dinikmati!" ucap Alinka pada sang pemesan.
Pak Abdi memindai tubuh Alinka dari atas sampai bawah. Tubuh ramping dengan tinggi seratus enam puluh delapan itu begitu proporsional. Tak terlalu tinggi, tapi juga tidak bisa dibilang pendek. Begitu cocok dengan tinggi sang majikan mudanya. Jarak keduanya tak begitu jauh.
Mengerti dirinya diawasi oleh Merzal, pak Abdi membuang muka dan menatap ke dinding kaca sambil menahan tawa.
"Tunggu!" cegah Merzal. Ya, table yang baru saja didatangi Alinka adalah meja milik Merzal dan pak Abdi.
"Iya, Pak. Ada lagi yang mau dipesan? Cemilannya atau makanan berat, Pak?" tanya Alinka sebagai pelayan yang sudah begitu profesional. Ia harus melakukan cross selling demi mencari keuntungan sebanyak-banyaknya bagi kafe tempatnya mengadu nasib.
Merzal menggeleng cepat.
"Tolong berikan menu pada bapak yang ada di depan saya! Tolong bantu pilihkan makanan yang enak dan bergizi buat beliau!" titah Merzal pada Alinka.
Lampu pijar seolah menyala dalam otaknya. Ia siap memberikan menu yang hari ini menjadi best seller.
Gambar uang menari-nari dan berjatuhan di kepalanya membuat Alinka tanpa sadar tersenyum senang. Ia senang sekali jika harus memperlihatkan kebolehannya dalam menawarkan sesuatu.
"Baik, Pak. Tunggu sebentar, akan saya ambilkan buku menu!" jawabnya sopan.
Sepeninggal Alinka, Merzal merasa kesal.
"Den Merzal kenapa kok mukanya ditekuk seperti itu?" tanya pak Abdi penasaran.
"Kesel, Pak!" jawabnya singkat.
"Loh, ada apa, Den?"
"Masa aku dipanggil Pak? Apa aku terlihat setua itu?" gerutu Merzal konyol sambil menggebrak meja lumayan kencang hingga menampakkan buku-buku jari yang tertekuk erat.
"Hah? Gimana-gimana, Den?" tanya pak Abdi yang menajamkan indera pendengarannya takut salah menyimak.
