Bab 7
Iris hitam kecokelatan dengan bulu mata lentik yang tumbuh lebat di atasnya tampak meragu dan menampakkan kegelisahan kentara. Ia tidak tahu apa niatan orang asing yang kini berada tepat di sekelilingnya itu.
Alinka masih mencoba mencari celah, bagaimana bisa ada orang selain mereka padahal tempat ini sudah tutup sekitar setengah jam yang lalu?
Apakah orang ini memang sengaja menunggunya? Ah bercanda…
Alinka menepis pikiran yang tak berbobot itu.
"Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Nona!" tegasnya pada Alinka yang tampak berpikir keras dengan kerutan di kening memperjelas raut wajah penuh tanda tanya tersebut. "Anda benar Nona Alinka, bukan?" lanjutnya semakin mengundang tanya di benak Alinka.
Alinka mengangguk pelan meski meragu. Siapa pria ini? Tiba-tiba menawarkan bantuan, bukankah aneh?
"Iya benar, saya Alinka. Anda siapa? Bisakah anda menjelaskan pada kami? Karena ini sudah malam dan saya tidak bisa berlama-lama di tempat ini," tolaknya halus sesekali menundukkan wajahnya yang tampak kalut.
"Kalau tidak mau menjelaskan siapa anda sebenarnya, lebih baik kita segera pulang!" ancam Lulu. "Ayo, Al! Dia orang asing, kita nggak boleh dekat sama orang yang nggak jelas maksudnya apa. Gimana kalau dia mau nyulik kita? Mana ini udah malam, takut ah, yuk!" bisik Lulu di telinga Alinka.
Ternyata itu bukan sekedar bisikan, melainkan suara yang masih bisa menembus gendang telinga pria di dekat mereka. Mendengar tuduhan tersebut pria yang tak diketahui namanya itu tetap menyunggingkan senyum, tak marah sama sekali.
"Percayalah, niat saya baik, Nona! Lagipula untuk apa saya mau bertindak macam-macam pada Nona?" tegas pria matang tersebut.
Tak mau banyak berdebat, Alinka mengulas senyum tipis. "Baiklah! Apa yang anda inginkan jika benar-benar ingin membantu saya?" desak Alinka penuh ketegasan.
"Mari ikut saya, ada seseorang yang ingin bersua dengan anda!" jelasnya seraya memberikan akses jalan untuk Alinka agar mengikutinya.
"Tidak perlu seformal itu berbicara dengan saya, Tuan!" pinta Alinka sambil mengekor di belakang pria tersebut.
Tak jauh dari ketiganya berada saat ini, tampaklah sebuah mobil mewah berwarna hitam di mana seseorang tengah tersenyum memandang ke arah luar kaca jendela. Senyum yang sulit diartikan.
Klek
Pintu mobil bagian penumpang terbuka dan kini menampakkan dengan jelas siapa orang yang duduk di dalamnya.
Seorang pengusaha kaya tentunya. Jangan lupakan setelan jas mahal yang dipakai olehnya. Alinka menatap sampai tak berkedip.
Ada masalah apa yang membuat gadis sepertinya berurusan dengan pria di dalam mobil?
"Anda siapa?" tanya Alinka dengan menyipitkan mata. Ia mencoba mengingat kembali apakah ia pernah mengenal pria tersebut.
"Bisakah aku meminta waktumu sebentar, Alinka?" tanya balik pria tersebut. Oh ralat, pria paruh baya tersebut dengan raut wajah begitu ramah menyambut gadis cantik nan muda di hadapannya.
Alinka mengangguk paham lalu masuk ke dalam mobil bersama Lulu ke mobil pria tak dikenalnya dengan penuh kehati-hatian. Layaknya kerbau yang dicocok hidungnya dan entah suatu hal, ia merasa bahwa niat pria itu tidaklah jahat pada dirinya.
"Ma, Pa, kenapa anak sialan itu belum juga pulang? Apa jangan-jangan dia godain laki orang lagi, ya?" tuduh Greta pada sang ibu yang belum juga tidur dan masih menikmati acara di layar televisi di ruang tamu.
Moe mengalihkan perhatiannya barang sejenak dari tayangan kesukaannya pada sang putri yang tengah menggerutu malam ini.
"Sudahlah, biarkan aja! Lebih baik dia nggak usah pulang sekalian!" timpal Moe cepat, lalu kembali menatap ke benda kotak dengan layar besar tiga puluh dua inch di hadapannya.
Greta mencebik bibir dan mulai merajuk. Ia menghempaskan tubuhnya tepat di samping sang ibu berada. Ia menyandarkan kepalanya yang sedikit pusing di bahu Moe.
"Ma, sebenarnya ada satu pertanyaan dalam hidupku selama ini yang buat aku penasaran!" celetuk Greta tiba-tiba yang membuat Moe langsung menatap sang putri.
"Kenapa, Sayang? Kamu baik-baik aja, kan?" balas Moe dengan pertanyaan pula.
"Ma, ini sebenarnya rumah kita atau milik si anak sialan itu, sih? Terus sewaktu kecelakaan Om Richard, kenapa dia nggak ikut sekalian?" tanya Greta yang begitu menyorotkan kebencian mendalam tak berdasar.
Moe menggelengkan kepalanya merasa lucu dengan pertanyaan putrinya.
"Sebenarnya ini adalah rumahnya tapi Papamu sedang berusaha membuat rumah ini menjadi milik kita seutuhnya. Toh sebentar lagi dia akan menikah dan tinggal bersama mertuanya. Dia pasti akan segera kita tendang sejauh mungkin dari sini. Sekarang kamu sudah tahu, kan?" ungkap Moe sambil menautkan jemarinya di telapak tangan Greta dengan penuh kasih sayang.
"Terus kenapa Papa selalu bilang rumah ini milik kita dan dia hanya menumpang? Kupikir ini benar-benar rumah kita, Ma," ucap Greta bersungut-sungut.
"Akan menjadi rumah kita, Sayang. Udah deh nggak usah sedih begitu, tenang aja rumah ini akan segera benar-benar berganti pemilik! Anggap aja ini bayaran buat kita karena udah merawat anak nggak diuntung itu dan nggak membuangnya ke jalanan!" sambung Moe begitu bahagia membayangkan hal itu akan terjadi.
"Kenapa dia nggak ikut mati sekalian sama orang tuanya, sih? Jadi, kita nggak perlu ngurusin dia!" keluh Greta sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Udah, udah, toh sekarang dia akan segera menikah sama perjaka lapuk itu! Dia bakal pergi dari sini dan meninggalkan seluruh harta kekayaannya sama kita. Papamu akan berusaha memaksa dia menandatangani semua pengalihan kekuasaan. Makanya Papamu cepat-cepat nendang dia dari rumah ini! Hahahaha," jelas Moe bak artis antagonis di tayangan yang selalu dilihatnya di layar kaca.
Greta menatap sang ibu dengan tatapan tak percaya tapi melihat keceriaan dan keyakinan di wajah sang ibu seketika menghilangkan keraguan yang menelusup di dalam diri. Senyum mengembang dengan penuh kebahagiaan tampak terulas dari kedua sudut bibir Greta lalu memeluk sang ibu.
Alinka mendengar hal itu tepat saat ia membuka pintu utama dan pasangan ibu anak yang sedang terlibat pembicaraan serius tersebut tak mengetahui kedatangannya.
Bulir air mata berjatuhan di pipi mulusnya. Alinka dengan cepat menyekanya lalu matanya memutari keadaan sekitar di ruang utama. Tempat ini sudah tak menampakkan satu gambar pun foto keluarganya. Papa, Mama, serta dirinya tak memiliki andil potret satu pun di dinding seluruh ruangan di dalam rumah besar tersebut.
Bagaimana bisa mereka melakukannya setelah apa yang baru saja Alinka dengar? Ternyata inilah alasannya. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya hingga tampaklah buku-buku jari yang menekuk erat.
Sakit. Seluruh ruang di dalam dirinya sakit. Darahnya berdesir cepat. Jantungnya terpompa kencang bak pelari marathon.
Bagaimana bisa mereka yang benalu memposisikan diri mereka jauh lebih tinggi dari pemilik rumah tersebut? Sungguh demikian tinggi, besar, dan tak tahu malu.
Alinka tersenyum getir.
"Aku akan merebut kembali apa yang mereka ambil selama ini! Harus!" yakin Alinka pada dirinya sendiri.
Semua ucapan pria asing itu terus bergema di benaknya. Kepalanya sedikit pening memikirkan hal itu.
Alinka mendongakkan kepalanya seraya mengatupkan sepuluh jemarinya dan berdoa pada sang pemilik kehidupan.
"Ya Tuhan, bantu aku hadapi semua ini! Apa yang harus aku lakukan? Semoga apa pun yang kupilih nanti adalah yang terbaik dari segalanya."
Setiap ucapan dari banyak pihak berperang hebat di dalam pikirannya. Ia menutup matanya selama beberapa saat.
"Aku udah mutusin. Aku akan lakukan itu, maafin aku semuanya…"
