Bab 8

"Kamu mau ke mana, Zal?" tanya Henry yang melihat sang putra menyudahi sarapan paginya dengan begitu cepat atau bisa dibilang kilat.

Merzal yang baru saja akan beranjak dari tempat duduknya pun menatap sang ayah yang tersenyum begitu aneh ke arahnya. Mau tak mau pria tampan itu balik mengulas senyum pada Henry.

Aneh! Apakah sang ayah sedang berusaha menginterogasi dirinya?

"Aku mau ke kantor lebih awal, Pa. Kenapa? Tumben Papa nanyain aku!" sahut Merzal menjawab pertanyaan sang ayah sambil memperbaiki ikatan dasi yang dipakainya untuk membelit kemeja berwarna maroon di dalam setelan jasnya. Tampak maskulin dan tampan terbalut jas berwarna hitam yang membungkus penampilan luarnya.

Tampan.

Lelaki titisan Henry dan mendiang Diana memang sangat tampan. Tak dapat diganggu gugat. Perpaduan yang begitu sempurna seolah Tuhan telah memilihkan bibit terbaik dari para dewa-dewi di nirwana pada tubuh Merzal. Sayangnya, tak diikuti oleh kelakuan anak tunggal tersebut.

Sejenak, Henry sebagai sang ayah terpesona karena ia dapat melihat senyum sang istri saat putranya menaikkan kedua sudut bibirnya.

"Papa kenapa, kok lihatin aku serius banget mana pakai senyam-senyum lagi?" tanya Merzal penuh selidik dan mendekati sang ayah untuk bersalaman.

"Kamu yakin mau ke kantor sepagi ini? Bukannya mau nerusin penyelidikan kamu tentang gadis cantik itu?" tanya Henry sambil memiringkan senyumnya.

Merzal tersenyum smirk. Ia mengurungkan niat untuk menjabat tangan Henry dan menatap tak suka pada sang ayah.

"Wah cepat sekali ya mata-mata Papa melaporkan semuanya! Nggak ada dua puluh empat jam. Keren!" sindir Merzal.

Henry menopang dagu di atas kedua telapak tangannya sambil mengamati sang putra yang tampak menahan kesal.

"Jangan sekali-kali kamu menggunakan kekuasaanmu untuk mengancam dia! Papa paling tidak suka seorang pria melakukan hal seperti itu. Paham?"

"Apa menurut Papa, anakmu ini akan bertindak kasar pada seorang gadis kecil sepertinya? Bukankah memastikan itu lebih baik? Papa pernah dengar pepatah lama yang berbunyi jangan membeli kucing di dalam karung, bukan?"

"Oh, begitu rupanya. Jadi, kamu sedang melakukan pengintaian untuk melihat wajah asli calon jodohmu?"

"Papa! Sudah kutegaskan wanita atau jodoh yang ingin kunikahi adalah Diva. Bukan yang lainnya!" tegas Merzal.

"Baiklah kalau begitu. Silakan angkat kaki dari rumah dan perusahaan! Buatlah CV untuk melamar pekerjaan menjadi office boy di kantor Papa lalu ajaklah Diva menikah, Papa akan merestui kalian!" putus Henry seraya tersenyum smirk. Pria paruh baya itu meneguk cairan berwarna coklat bening beraroma melati dan meletakkannya kembali ke tempatnya.

Henry bersiap kembali ke kamarnya. Langkahnya terhenti mendengar panggilan sang putra.

"Baiklah kalau itu keputusan Papa. Aku akan memilih mengembalikan semua fasilitas Papa. Aku tidak membutuhkannya karena aku yakin Diva bisa menerimaku apa adanya. Aku pergi!" hardik Merzal.

Pria muda itu geram lalu meninggalkan Henry setelah meluapkan kekesalannya.

"Mari kita lihat, anak manja sepertimu akan diterima oleh Diva atau tidak? Wanita itu.. Ah, biarkan saja.."

Henry tersenyum penuh misteri. Ia memilih kembali ke kamar secepatnya karena ada sesuatu hal yang harus ia lakukan saat ini.


Tak sampai setengah jam, Merzal sudah berada di depan pintu apartemen Diva. Belum juga ia dibukakan oleh pemiliknya. Sengaja ia tak meminta kode akses masuk karena ia membiarkan wanita itu memiliki privasi untuk dirinya.

Beberapa saat kemudian.

"Merzal! Kenapa kamu ada di sini pagi-pagi begini?" tanya Diva yang terkejut melihat kedatangan sang kekasih. Manik matanya tertuju pada benda yang melingkar di pergelangan tangannya, baru pukul 07.00.

"Boleh aku masuk dulu?" tanya Merzal tanpa basa-basi.

Diva tersenyum lantas menepuk keningnya refleks. "Yuk, masuk!" ajak Diva sambil menggelayut manja di lengan kekar Merzal yang pagi ini memakai kaos santai.

Merzal menghempaskan tubuh lelahnya di atas sofa di ruang tamu. Diva mendekap tubuh tegap prianya yang sangat menawan.

"Kok nggak ke kamar aja?" tanya Diva yang lebih terdengar sebagai penawaran daripada sebuah pertanyaan.

"Kamu lagi godain aku?" tanya balik Merzal yang ditanggapi senyuman oleh Diva.

"Nggak kok. Mana ada? Kalau godain kamu, nanti yang ada aku harus mandi lagi!" rajuknya manja. "Sambil tiduran 'kan enak ngobrolnya!" lanjutnya seraya tersenyum manis. Jemari lentiknya bermain-main di dada bidang Merzal sambil menyandarkan kepalanya di bahu sang kekasih.

Merzal tersenyum melihat Diva yang bersandar di bahunya dan tampak sesekali mengulas senyum manis ke arahnya. Tiba-tiba, wajah cantik Diva berganti menjadi wajah polos dengan kecantikan alami milik Alinka spontan membuat Merzal terkejut. Ia menggeser tubuhnya sedikit lebih jauh hingga menyisakan jarak beberapa jengkal.

"Zal, kamu kenapa?" tanya Diva penuh keheranan usai menatap raut wajah Merzal yang aneh.

"Aku boleh tanya sesuatu sama kamu?"

"Tanya kenapa pakai ijin segala, sih? Ngomong aja lagi!" timpal Diva seraya terkekeh geli.

"Kalau aku jadi office boy, kamu masih mau jadi pacar aku?" tanya Merzal serius dan tak mau buang waktu.

Senyum Diva perlahan memudar. Ia mendengar hal itu sebagai pertanyaan konyol selama ia menjalin kasih dengan Merzal dua tahun terakhir ini. Lelucon apa ini?

"Nggak mungkin bangetlah aku mau sama kamu kalau itu pekerjaanmu! Kamu itu emang tampan, tampan banget malah. Tapi kalau kamu nggak punya apa-apa, perlu seribu kali aku mikir hal ini. Kalau kamu bukan pewaris RR Grup dan anak tunggal pria tua bangka itu nggak mungkin aku mau sama cowok posesif kayak kamu! Konyol dan bodoh banget kalau aku mau hidup susah lagi!" teriak Diva tentunya di dalam hati.

Senyum manis terulas dari kedua sudut bibir Diva, sesaat ia memalingkan muka ke arah lain sebelum bersilang pandang dengan Merzal.

"Kamu ngomong apaan, sih? Nggak mungkinlah pacar aku yang keren begini jadi office boy. Geli, ah!" ledeknya.

Merzal tersenyum kecut.

"Oh iya, Zal. Aku lupa bilang sesuatu sama kamu mengenai…" ucapnya terhenti.

"Mengenai apa?" desak Merzal tak sabar.

"Sini dong, deketan!" pinta Diva pada sang kekasih yang agak berjauhan dengannya.

Merzal menggeser tubuhnya kembali berdekatan dengan Diva. Kini tubuh keduanya tak menyisakan jarak berarti.

"Ada apa?" tanya Merzal serius.

"Aku.. Aku mau minta ijin sama kamu. Ya sebenarnya bukan ijin juga sih, lebih tepatnya pamit."

"Maksudmu apa?"

"Lusa, aku dan tim management mau ke America. Aku diminta untuk sekolah akting dan didanai langsung oleh pemilik PH aku yang baru. Ini kesempatan yang langka dan aku nggak mau menyia-nyiakan tawaran terbaik ini. Kamu bisa mengerti, kan?" tanya Diva sambil menggoda Merzal dengan jemarinya yang membelai lembut pipi dan sesekali mengecup wajah pria tersebut.

Merzal yang baru saja berganti pakaian dan kini memakai kaos santai tahu benar apa yang dilakukan Diva padanya. Apalagi kalau bukan merayu agar keinginannya dipenuhi dengan menawarkan tubuhnya secara cuma-cuma.

Merzal meraup wajahnya kasar. Bukan mendapatkan solusi, ia malah semakin frustasi. Rangsangan dari wanita itu pun tak berhasil meredakan amarahnya.

Pria itu beranjak dari posisinya. "Silakan kejar impian kamu! Aku ikut seneng dengernya. Jangan lupa jaga diri kamu baik-baik di sana! Aku balik dulu!" pamit Merzal.

"Zal! Kamu nggak mau salam perpisahan sama aku? Aku pergi nggak sebentar, loh! Mungkin sekitar setahun. Kamu mau, kan? Aku siap loh bikin kamu tambah semangat lagi, sebagai penawar rindu kamu selama beberapa saat! Kasihan junior, nanti dia pasti kangen sama maminya! Gimana kalau kita nyenengin Junior di kamar?" tawar Diva dan kini memeluk tubuh tegap prianya. Ia menunggu Merzal berinisiatif menggiring tubuhnya ke atas peraduan cinta di kamarnya.

"Div! Aku…"


Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya