Bab 9

Merzal mendadak bingung, hasratnya menguar dan telah hilang bercampur udara yang berhembus kuat. Ia tak minat lagi pada kemolekan tubuh sang kekasih di dekatnya. Ia malah ingin segera keluar dari apartemen ini sebisa dan secepat mungkin.

Diva mengerutkan kening.

"Kenapa, Zal? Kok kamu tiba-tiba diam? Nggak pengen?" tanya Diva penuh keheranan.

"Maaf, Div! Aku baru ingat, aku ada janji sama Papa. Kamu jaga kesehatan ya selama jauh di sana. Bye!" pamit Merzal sembari mengecup kening sang kekasih.

Diva hanya memandangi kepergian Merzal dari jangkauan kedua matanya hingga pria itu benar-benar pergi.

"Aneh!" gumam Diva sepeninggal Merzal.


"Den Merzal, kita mau ke mana sekarang?" tanya pak Abdi yang bertugas sebagai sopir pribadi pemuda tampan di belakangnya.

Merzal masih terdiam. Pria itu menatap pemandangan di luar kaca jendela mobil sembari menopang dagu.

Sesaat kemudian, ia mengingat sesuatu.

"Pak, antar aku ke kafe yang kemarin!" titah Merzal.

"Ini masih pagi, Den Merzal. Apa sudah buka?" tanya balik pak Abdi yang memaksa Merzal segera memeriksa angka di benda melingkar tepat di pergelangan tangannya.

'Benar juga, baru jam segini!'

"Terus bagaimana, Den?" tanya pak Abdi menunggu perintah selanjutnya.

"Bapak udah tahu rumah cewek yang kemarin?" tanya Merzal tampak sungkan.

"Cewek yang mana?" tanya pak Abdi seraya mengerutkan keningnya.

"Itu yang di kafe, Pak. Yang bakal dijodohin sama aku. Pak Abdi sengaja nih, godain aku, ya?" sahut Merzal cepat seraya menyipitkan mata.

"Bukan gitu, Den. Kan saya hanya memastikan. Baik, Den, saya masih ingat rumahnya. Mau sekarang kita ke sana?"

"Hem!" tegas Merzal tanpa basa-basi.

Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang menuju tempat tujuan. Pikiran Merzal kembali menerawang jauh. Banyak hal yang berputar di otaknya, terutama pertemuan dengan gadis cantik nan muda tersebut.


"Sebelum berangkat, cuci dulu piring kotornya! Jangan ninggalin pekerjaan rumah!" teriak Moe pada Alinka yang baru saja menyudahi sarapan paginya bersama dua asisten rumah tangga di kamar belakang. Kamar yang biasa dipakai dua asisten rumah tangganya untuk sarapan, makan siang dan makan malam.

Alinka hampir saja tersedak saat memasukkan butiran nasi terakhir karena teriakan sang bibi pemarahnya. Mbok Yus mengelus punggung gadis ayu tersebut dengan penuh kelembutan. Seperti seorang nenek yang sangat menyayangi cucunya.

Wanita enam puluh tahun itu adalah pengasuh Alinka sejak kecil dan tahu bagaimana sejarah gadis tersebut hingga kini. Melihat Alinka membuatnya mengenang mendiang majikannya yang telah tiada. Richard dan Renata adalah majikan terbaik yang pernah ia temui sepanjang hidupnya. Sayang seribu sayang, usia mereka tidaklah panjang.

"Non, buruan berangkat ke kampus! Nanti terlambat kalau harus cuci piring segala. Biar Mbok yang jelasin sama nyonya Moe. Non Alinka hati-hati, ya!" pinta mbok Yus dengan memaksa Alinka agar segera berangkat kuliah.

"Ta-tapi, Mbok.." ragu Alinka.

"Sudah Non, nggak apa-apa. Biar Mbok sama Sumi yang ngerjain. Non buruan berangkat. Kan Non Alinka pengen jadi anak yang pintar dan membanggakan, masa ada anak pintar kerjaannya terlambat terus!" goda mbok Yus.

Alinka mengangguk mantap dengan tempo cepat lalu berkata, "Baik Mbok, Alinka berangkat dulu, ya!"

Mbok Yus dan Sumi mengangguk menyemangati Alinka.

Setelah Alinka benar-benar keluar dari ruangan itu, Sumi dan mbok Yus kompak menggelengkan kepalanya. Mereka berdua merasa kasihan dan iba pada nasib malang Alinka.

"Semoga Non Alinka bisa keluar dari masalah pelik ini!" harap mbok Yus diamini Sumi. " Kasihan dia, punya keluarga kok gila harta semua!" lanjutnya mengomentari nasib sang anak majikan.


"Ngapain kamu masih di sini? Buruan sana berangkat! Ngotorin mata aja jadinya!" usir Greta pada adik sepupunya.

Moe tersenyum sinis.

"Mau ngapain kamu kelamaan di rumah? Minta diantar sama kakakmu? Jangan harap! Kami mau jalan-jalan siapin perhiasan buat dipakai nanti. Kamu jangan harap minta dibeliin. Ingat, sadar diri! Dasar benalu!" hina Moe pada Alinka.

Wanita paruh baya yang seharusnya dapat mengayomi dan memberikan kasih sayang pada gadis yatim piatu seperti Alinka justru bersikap di luar nalar. Ia hanya mementingkan kesenangan diri sendiri dan anaknya saja.

Alinka hanya tersenyum getir mengingat setiap perlakuan tak adil yang ia terima.

"Alinka mau pamit berangkat kuliah, Bi, Kak! Alinka berangkat dulu. Assalamualaikum!" pamit Alinka pada kedua wanita berbeda generasi tersebut.

Tanpa balasan, Alinka segera membuka pintu dan keluar dari kediaman Maheswara.

Sesaat ia merasa ada yang kurang, di mana sang paman? Tak tampak batang hidungnya pagi ini. Pandangannya mengarah ke segala arah, namun tak ia temukan. Beberapa saat kemudian, seseorang memekik lumayan nyaring.

"Hey tunggu!" teriak Gretadi ambang pintu utama, sambil berkacak pinggang wanita itu menatap sinis pada Alinka.

"Iya, Kak. Ada apa?" tanya Alinka penasaran usai membalikkan badannya dan menatap balik sang kakak.

"Ingat, nanti malam kamu harus sudah ada di rumah. Hari ini kamu libur kerjanya, ingat apa yang aku bilang kemarin!" jelas Greta.

"Iya, Kak. Alinka ingat kok! Alinka berangkat dulu!" sahut Alinka cepat. Ia segera putar haluan dan membuka pintu gerbang.

Grengg

Pintu gerbang kembali tertutup rapat. Alinka berhenti tepat di depan pintu besar tersebut. Ia menatap benda tersebut dan terngiang memori lama.

"Papa, Mama, aku udah nggak punya hak lagi tinggal di rumah ini! Maafkan Alinka nggak bisa jaga rumah ini lagi buat kalian. Mereka akan tetap berusaha mengusir Alinka dari sini. Apa yang harus Alinka lakukan sekarang, Papa, Mama?" tanya Alinka sembari membayangkan kedua orang tuanya.

Bulir air mata berjatuhan, Alinka segera menyeka cairan bening itu dengan cepat menggunakan telapak tangan. Alinka mulai sedikit tenang, tapi tetap saja air matanya masih menetes membasahi pipinya.

Ia kembali melanjutkan langkah hingga sebuah suara mengejutkannya. Alinka menoleh ke belakang tanpa membalikkan badan. Seseorang turun dari motor sport miliknya dan mendekati Alinka.

Alinka tampak menggeser tubuhnya. Ia tak mau berdekatan dengan orang ini. Pemuda di hadapannya memang tampan dan berkharisma, tentu saja dia adalah anak orang kaya. Senyumnya terbit begitu melihat Alinka.

"Berangkat kuliahnya bareng aku, yuk!" ajak pemuda tersebut. Ia mengulurkan tangan hendak meraih jemari lentik Alinka agar mau pergi bersamanya.

Belum sempat menolak, seruan seseorang tampak mengganggu ketenangan mereka berdua.

Alinka melirik pergelangan tangannya, di mana kurang lebih setengah jam lagi mata kuliahnya akan segera dimulai.

Langkah kaki orang asing tersebut berhenti tepat di hadapan mereka berdua. Pandangannya tertuju pada Alinka seorang.

Aroma tubuh maskulin pria tersebut menggelitik di indera penciuman Alinka. Alinka mendongakkan kepala menatap ke arah pria matang tersebut.

"Anda siapa?" tanya Alinka penuh selidik. Ia merasa tak asing dengan wajah pria ini.


Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya